Oleh Akmal Nasery Basral
1/
SALAM damai, Kawan. Seharusnya saya memanggilmu dengan panggilan takzim ‘Yang Mulia Anggota Dewan’, karena memang itu status formalmu sekarang. Tanpa bermaksud mengabaikan fakta itu, izinkan saya tetap memanggilmu dengan nama depan saja seperti dulu: Putra, kadang lebih singkat lagi cukup dengan ‘Put’ saja.
Entah mungkin kamu masih ingat atau tidak, kita pernah sama-sama menjalani tes masuk kerja di sebuah biro psikologi terkemuka di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada awal tahun 90-an. Sebelum tes dimulai, kita berbincang ringan. Saling memperkenalkan diri dan asal pendidikan. Saya alumnus sebuah PTN Indonesia, kamu lulusan kampus Negeri Paman Sam. Nama margamu mengingatkan saya pada seorang politisi terkenal. “Beliau ayahku,” jawabmu dengan senyum lebar.
Hasil tes menempatkan kita bekerja di dua majalah berita berbeda. Kita pun beberapa kali berpapasan saat liputan di lapangan. Biasanya hanya sekadar saling melempar sapa tanpa menyelami percakapan akibat ritme kerja yang selalu bergegas di tengah waktu terbatas. Setelah itu kau eksodus ke media elektronik yang membuat pamor dan wajahmu kian dikenal publik.
Sedikit pengantar ini adalah cara lain saya untuk mengatakan bahwa kita (pernah menjadi) kawan lama, yang terhubung melalui profesi kerja. Dalam spirit merawat perkawanan itu saya menuliskan pesan terbuka ini dengan hati tulus, Put.
2/
Pada rapat kerja Komisi X DPR—tempatmu berkhidmat—dengan Kemenpora dan PSSI di awal Juni terkait permohonan naturalisasi Calvin Verdonk dan Jens Raven, kau katakan dengan lantang agar komposisi Tim Nasional Indonesia diisi 60% pemain nasional dan 40% pemain naturalisasi.
Saat kau mengatakan itu, Put, saya menyaksikan melalui live streaming dari akun YouTube DPR RI. Bukan dari berita media massa sesudahnya. Saya mengerenyitkan kening. Tak menyangka kutak-katik statistik beraroma pseudo-nasionalistik ini akan meluncur dari lisanmu, seorang lelaki kosmopolit yang sudah menyinggahi pusat-pusat dunia.
Saya duga kamu bukan seorang chauvinis atau ultra-nasionalis, Put, tetapi saya tak bisa pastikan. Maka sebagai respon spontan, saya langsung menulis “Pesan Terbuka”, meski setelah selesai bagian pengantar di atas, saya putuskan menunda menyelesaikannya.
Sebab, masih ada dua pertandingan sisa yang harus dijalani timnas Indonesia ketika itu. Melawan timnas Irak (6/6/2024) dan timnas Filipina (11/6/2024).
Jadi, bisa saja pendapatmu yang benar bahwa banyaknya pemain hasil naturalisasi di timnas Indonesia ternyata tak mampu mendongkrak prestasi selain mempersempit peluang pemain Liga 1 bermain sebagai punggawa.
Tetapi–sebagaimana kita ketahui bersama–setelah Singa-singa Mesopotamia mengoyak sayap-sayap garuda dengan 2-0 tanpa balas yang menyakitkan, Asnawi Mangkualam dkk mampu bangkit dan melibas Azkals, anjing-anjing jalanan Filipina, semalam.
Dengan skor serupa: 2-0. Cukup untuk membuat Indonesia melaju ke Babak 3 Kualifikasi Piala Dunia 2026. Sebuah prestasi baru yang belum pernah dialami timnas sebelumnya. Prestasi lainnya: Indonesia satu-satunya negara ASEAN yang melaju sejauh ini. Bukan Vietnam, Thailand, Malaysia, atau Filipina, yang selama ini–sampai akhir tahun lalu–ranking FIFA mereka berada di atas Indonesia yang selalu dipandang sebelah mata.
Maka, “Pesan Terbuka” yang sempat saya tunda itu, saya lanjutkan hingga tuntas dalam beberapa catatan ini.
3/
Catatan pertama adalah akun IG milikmu yang sempat digembok setelah kau menyampaikan kalimat kontroversial di DPR itu. Padahal posting-postingmu yang lain selalu kau biarkan terbuka untuk dikomentari siapa saja. Kenapa kali ini kau kunci, Put? (Meski beberapa hari kemudian kau buka lagi setelah suasana reda).
Kamu seorang politisi nasional, dengan akun centang biru. Bersikaplah seperti ucapan Voltaire, “Aku berbeda pendapat denganmu, tetapi aku jaga hakmu untuk menyampaikan pendapat.”
Netizen bukan musuhmu, Put. Mereka adalah mitra diskusi, baik yang mendukung atau yang kontra dengan komentarmu.
Catatan kedua menyangkut pemaknaan tentang “naturalisasi” yang kau posisikan dan perlawankan dengan “nasional”, sehingga dalam kosmologi cara pandangmu ada “pemain naturalisasi” dan ada “pemain nasional”. Ini kesalahan fatal, Put.
“Naturalisasi” adalah proses alih warga negara para pemain diaspora yang memiliki darah Indonesia, entah dari ayah, ibu, atau kakek-nenek mereka. Betapa pun kecilnya kadar darah keindonesiaan mereka. Sebuah proses pewarganegaraan. Begitu syarat-syarat untuk menjalani proses naturalisasi terpenuhi dan mereka ucapkan sumpah setia sebagai WNI, maka mereka adalah PEMAIN NASIONAL.
Naturalisasi hannyalah salah satu dari sejumlah cara untuk menjaring pemain yang kompeten bukan untuk menakar kadar darah tulen. Sesederhana itu.
Sementara para pemain Liga 1 memiliki cara lain agar bisa terpilih sebagai pemain nasional. Faktor penentu utama tetaplah kualitas dan ketrampilan tinggi di lapangan dan kohesivitas kerjasama kelompok.
Catatan ketiga, gencarnya proses naturalisasi pascapandemi tak bisa dilihat secara episodik dan fragmental, Put.
Sebelum era Coach Shin Tae-yong, penjaringan pemain timnas lewat jalur naturalisasi juga sudah berjalan meski tidak semasif sekarang.
Coba tarik mundur sampai 25 tahun ke belakang, sejak awal Era Reformasi. Atau lebih awal lagi sejak PSSI berdiri. Beragam cara sudah dicoba PSSI, di bawah kendali sejumlah Ketua Umum yang silih berganti, untuk menaikkan pamor dan kualitas timnas sebagai tim yang bernas. Adakah tingkat ketertarikan masyarakat Indonesia terhadap timnas mereka pernah setinggi hari-hari belakangan ini? Silakan gunakan data statistik dan survei jika dibutuhkan, Put.
Catatan keempat, pemihakanmu pada pemain tim Liga 1 sangat bisa dipahami, Put. Kita pun mendambakan lebih banyak jumlah mereka yang mempunyai kualifikasi tinggi, seperti Rizki Ridho, Witan Sulaeman, Yakob Sayuri, Pratama Arhan, atau Ricky Kambuaya, di timnas.
Tetapi jangan jadikan angka rasio subyektif 60: 40 yang tanpa dasar sebagai patokan, Put. Carilah justifikasi objektif yang membuat pemain Liga 1 semakin berikhtiar lebih keras untuk menjadi bagian pemain timnas yang prestius. Ini contohnya.
Sehari setelah final BRI Liga 1 antara Madura United vs Persib Bandung di akhir bulan Mei yang dimenangkan Maung Bandung, Coach Shin merekrut seorang pemain baru sebagai pemain timnas. Dia adalah Malik Risaldi, gelandang Madura United yang gemilang sepanjang musim. Ini cara menjaga marwah Liga 1 sekaligus pamor timnas sekaligus. Yang bisa menembus jajaran timnas haruslah para pemain berkualitas primus inter pares. Terunggul dari yang terbaik.
Catatan kelima, dengan berhasilnya timnas Indonesia menorehkan sejarah baru memasuki Babak 3 Kualifikasi Piala Dunia yang akan dimulai September nanti– hanya tiga bulan ke depan–semoga tak ada lagi komentarmu yang mempertentangkan “pemain naturalisasi” vs “pemain nasional” berbasis batasan kuota dan “persentase ideal” karena ini bukan menyangkut sertifikasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) yang mutlak untuk sektor industri.
Bisa dipastikan arus naturalisasi pemain diaspora (berdarah) Indonesia tak berhenti pada Calvin Verdonk dan Jens Raven, melainkan masih akan terus berlanjut. Sebab, timnas Indonesia bukan hanya butuh 11 pemain terbaik di lapangan, melainkan punya 2 x 11 pemain berkualitas prima dengan kemampuan setara antara pemain starter dan pemain cadangan. Ini aksioma baku dalam dunia sepak bola modern yang dipraktikkan oleh timnas mana pun yang selalu jadi tim unggulan.
Karena itu, Put, sebagai anggota DPR tugasmu untuk mengedukasi publik lebih serius bahwa kita hidup dengan paradigma nasionalisme baru. Paradigma bahwa “meski hanya 1% persen darah Indonesia mengalir pada tubuh seseorang, sejatinya dia adalah orang Indonesia”. Mereka, pemain sepak bola hasil naturalisasi ini bukanlah orang asing. Mereka adalah anak-cucu masyarakat Indonesia yang kembali untuk mengharumkan nama Ibu Pertiwi di bidang yang mereka tekuni dan perjuangkan hidup mati.
4/
Sebagai penutup, Put, pernahkah kau dengar nama Waseem?
Saya tidak tahu nama belakangnya. Namun dari penampilannya jika berada di antara pemain timnas Irak, akan terlihat sebagai orang Irak juga. Tubuhnya tinggi, tegap, bercambang lebat, dengan ketampanan khas Jazirah Arab atau warga negeri-negeri Levant.
Tetapi Waseem warga negara Inggris, tinggal di London. Semalam dia berada di antara puluhan ribu penonton yang menyesaki GBK. Ikut bernyanyi bersama para Ultras Garuda. Waseem terbang dari Inggris selama 19 jam agar bisa ikut merayakan kegembiraan bersama.
Apakah Waseem berdarah Indonesia? Tidak, Put. Namun entah mengapa, sejak 2 tahun terakhir dia begitu total menjadi pendukung timnas yang disebutnya “tim sepak bola terbaik di Asia”. Dia selalu hadir setiap kali timnas Indonesia berlaga di GBK meski harus menempuh penerbangan jarak jauh. Bahkan, Waseem pun hadir dalam Piala Asia di Qatar beberapa bulan lalu, khusus untuk memberikan dukungan kepada timnas Indonesia.
Apa yang menyebabkan Waseem menjadi begitu militan sebagai pendukung timnas? Saya tak ingin membocorkan jawabannya pada tulisan ini. Silakan tonton saja vlog Waseem’s Way miliknya di YouTube yang sudah dilanggani hampir 200 ribu orang Indonesia di seluruh dunia. Ini jumlah yang masih sedikit.
Anda dan masyarakat Indonesia lainnya harus melanggani ( subscribe) akun fans seperti Waseem agar bisa tahu mengapa menurutnya fans timnas Indonesia adalah ‘fans terhebat di dunia’ dan berada di GBK adalah ‘pengalaman hebat saya karena merasa seperti di tengah keluarga’.
Semakin melonjaknya ‘fans terhebat di dunia’ itu tak lepas dari semakin banyaknya pemain hasil naturalisasi yang memberikan kontribusi signifikan bagi kebangkitan timnas, Put. Itu korelasinya. Bukan simsalabim para pesulap.
Tulisan ini saya tutup dengan satu saran. Jika tetap ingin mengkritik, kritiklah kualitas rumput GBK yang buruk dan bikin malu Indonesia itu, Put.
Setiap kali selepas GBK dijadikan ajang konser grup musik mancanegara, kualitas rumput hancur berantakan dan tak prima saat harus digunakan untuk pertandingan sepak bola.
DPR harus berani bersikap tegas kepada Manajemen GBK, kalau perlu ganti mereka yang hanya selalu tebar janji dari bulan ke bulan.
Akan menjadi konyol jika timnas sudah berlaga di Babak 3 Kualifikasi Piada Dunia, September depan, kualitas rumput GBK masih bopeng, coreng-moreng, seperti semalam, bukan? Sementara mata dunia menyaksikan!
Ditunggu gebrakanmu untukmu soal ini, Kawan Putra Nababan. Masyarakat pecinta sepak bola Indonesia pasti mendukungmu. Percayalah.
Cibubur, 12 Juni 2024
Penulis mantan wartawan majalah Gatra dan Tempo, penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Budayawan/Sastrawan Nasional