MENJELANG usia 60 tahun, rasanya sudah bukan masanya lagi untuk menjadi traveller seperti anak-anak muda sekarang yang bilang, ‘kalau nggak traveling nggak FOMO’ (FOMO = Fear Of Missing Out alias ketinggalan jaman). Maka, jadilah sekarang tren traveling baik domestik maupun internasional, baik ikut grup travel, solo travel, bahkan back-packeran.
Bagaimana pengalaman Akbar mencapai target mengunjungi 70 negara sebelum usia 60 tahun itu? Berikut catatan perbincangan wartawan Majalah Siber Indonesia J5NEWSROOM.COM Alia Safira dengan Akbar.
Memang, kebetulan ada pertemuan terkait pekerjaan di Dubai tanggal 5 Juni 2024, dan pertemuan lain seminggu kemudian, yaitu tanggal 12 Juni 2024 di Warsawa, Polandia. Karena pertemuan di Dubai sudah yang ke beberapa kalinya.
Sedangkan di Warsawa juga sudah pernah di bulan Januari, 5 bulan lalu. Maka dua negara ini tentunya tidak menambah perbendaharaan negara yang pernah dikunjungi, yang total sudah 55 negara. Dan untungnya klien Warsawa tidak keberatan bila pertemuan dipindah ke Bukarest Rumania, asal waktunya dimundurkan.
Setelah menimbang, mengingat dan sebagainya, dan untuk tidak berlama-lama di Dubai dan Abu Dhabi, dan berbekal visa Schengen yang berlaku 3 bulan dari Kedutaan Perancis di Jakarta, tanpa pikir panjang, usai pertemuan langsung beli tiket ke Paris, supaya memenuhi syarat kunjungan sesuai perolehan visa Shengen.
Di Paris pun karena sudah ke tiga kalinya berkunjung, maka setelah menginap semalam di pusat kota, malam kedua menginap di kota kecil utara Paris, yaitu Beauvais yang jaraknya 1,5 jam dengan taxi charter €150. Karena dari bandara kota tersebutlah perjalanan berlanjut dengan pesawat Whizz Air ke Tirana, Albania.
BACA JUGA: Mampir ke Bulgaria dan Yunani Melalui Edirne, Kota Paling Barat Turki
Karena setelah pernah ke beberapa negara Barat dan Timur, rasanya negara-negara Balkan yang awalnya adalah bagian dari Yugoslavia, tentunya menjadi tujuan menarik. Apalagi visa Schengen juga bisa digunakan di negara-negara Balkan non Schengen tersebut.
WhizzAir tidak menyediakan business class, tapi ternyata dengan membeli seat dan bagasi, diperlakukan sebagai penumpang kelas bisnis juga, masuk tanpa antri dan tanpa beban koper di tangan.
Albania, Negara dengan 175.000 Bunker
Setelah terbang seama 2,5 jam menempuh jarak hampir 2.000 Km, pesawat landing di Mother Theresa Airport Tirana. Ternyata, pemenang nobel tersebut adalah warga kebanggaan Albania, sehingga namanya digunakan sebagai nama bandara.
Rupanya taxi menuju hotel di pusat kota tidak menggunakan argo. Setelah sekitar 30 menit dengan tarif €25 sampai hotel jam 6 sore. Seperti di benua Eropa pada umumnya, sampai jam 9 malam pun suasana masih terang seperti siang hari. Gelap mulai merayap saat jam digital menampilkan angka jam 9 malam.
Sehingga masih sempat ke Skandenber Square, lapangan utama, dan makan malam di Gedung Opera. Walaupun ternyata steak seharga €30 yang diorder tidak sesuai harapan, lebih mirip semur daging tebal yang agak keras, maklum, Albania memang baru membuka diri ke dunia luar dan pariwisata.
Dengan menyewa mobil per hari €100, cukuplah dua hari berkeliling Tirana dan sekitarnya. Albania memang sarat dengan peninggalan arkeologi dan wisata alam yang indah, seperti pantai dan gunung-gunung. Tetapi tentu saja tujuan itu rasanya kurang menarik untuk usia seperti ini.
Karena terkenal sebagai negara dengan 175.000 bunker yang dibangun selama era 20 tahun perang dingin, maka mengunjungi bunker rasanya pilihan lebih menarik.
Maka, di hari pertama Bunk’Art 1 yang di luar kota, bunker yang dibuat dengan dengan melubangi bukit batu cadas, tapi tidak terlalu banyak dikunjungi wisatawan, memberi kesan tersendiri. Apapun itu, bunker-bungker tersebut membuktikan kecintaan pemerintah Albania kepada rakyatnya yang hampir 4 juta jiwa.
Untuk mengantisipasi bilamana terjadi perang dunia ketiga, akan banyak rakyat terselamatkan dengan adanya bunker yang isinya lengkap untuk ribuan orang dengan segala fasilitasnya. Diantaranya, pengatur udara dan suhu ruang, toilet, kamar, dapur, rumah sakit bahkan penjara.
BACA JUGA: Catatan Perjalanan Akbar dari 50 Negara Jadi 60, Target Mei 2024 70 Negara
Di perjalanan saat lewat desa-desa tampak banyak bungker yang selalu diberi tanda tugu kecil, dan akses bungker yang seragam seperti mangkuk beton yang telungkup.
Hari kedua, Bank’Art 2 adalah bungker di pusat kota yang kini memang digunakan untuk kunjungan pariwisata. Di sini, antrian pengunjung terlihat di pintu masuk tempat pembelian tiket. Di dalam bunker pun sudah dilengkapi dengan dekorasi dan diorama yang memberi gambaran bila terjadi perang, serta segala perlengkapan penyelamat seperti masker gas, senjata dan lain-lain.
Makedonia Utara, Mewarisi Masjid Arsitektur Turki
Dari Albania, perjalanan berlajut ke Ibukota Makedonia Utara, Skopje, yang jaraknya 287 km, seperti Jakarta-Brebes yang 288 km. Maklum biasa touring, cuma karena setir kiri, maka tanpa co-pilot tentunya beresiko. Perjalanan ditempuh dalam 4 jam plus 30 menit proses imigrasi dan bea cukai darat di perbatasan.
Sebenarnya Makedonia yang ada di Utara Yunani, merupakan negara asal Aleksander yang Agung, ada 4 Wilayah, Utara, Tengah, Timur dan Barat. Dan karena hanya yang Utara memisahkan diri dan menjadi negara sendiri. Sedangkan yang lain bergabung dengan Yunani, maka untuk membedakan, nama semula Makedonia sejak lepas dari Yugoslavia tahun 1991, saja diganti menjadi Makedonia Utara tahun 2018.
Di negara-negara Balkan yang merupakan pecahan dari Yugoslavia yang bubar tahun 1991, mata uang Euro leluasa digunakan meskipun masing-masing punya mata uang sendiri. Paling mudah mengkonversi Euro ke mata uang Lek Albania, yaitu 1 Euro adalah 1/100 Lek, jadi kalau 1 Euro adalah Rp 17.500, maka dalam uang Lek adalah Rp. 175.
Pada umumnya negara-negara Balkan dulunya adalah di bawah kekuasaan Turki, sehingga peninggalan Turki terutama dalam bentuk masjid, terlihat di mana-mana. Apalagi saat masuk wilayah Makedonia, hampir di setiap desa maupun kota kecil terdapat masjid bergaya Turki. Sampai kini pun mata uang Makedonia adalah Denar Makedonia, yaitu 1 Denar setara dengan Rp 283.
Karena Makedonia adalah asal dari Alexander Agung yang sangat terkenal, maka di Ibukota Skopje yang dikenal sebagai “kota seribu patung” di mana pun berada di pusat kota kita akan temui patung dengan berbagai ukuran, dan tentu saja patung utamanya adalah patung Alexander The Great yang sedang menunggang kuda.
Untung saja tempat tinggal di hotel yang di pusat kota, karena taxi juga menjadi masalah utama. Karena mereka juga tidak menggunakan argo, tinggal pandai-pandai menawar agar dapat harga yang murah yang terkadang membingungkan bila membayar dengan Euro dan kembalian dalam Denar Makedonia.
Harga kamar hotel mau pun makanan di sini boleh dibilang relatif murah. Mungkin karena minimnya turis manca negara, sementara menurut warga ataupun sopir taxi setempat, mereka merasakan bahwa ekonomi negaranya sedang sulit.
BACA JUGA: Catatan Perjalanan Dua Minggu Menikmati Winter Eropa Barat, dari Roma ke Amsterdam Sejauh 2.500 Km
Memang sayang sekali bahwa negara-negara Balkan belum menjadi tujuan utama turis mancanegara, karena sebenarnya banyak sekali yang menarik di sana, dan warganya pun boleh dibilang cukup ramah kepada pendatang. Apalagi saat berjalan ke old town tempat penjualan souvenir dan deretan rumah makan, barulah terlihat beberapa turis mancanegara yang menimati suasana dan keramaian di sana.
Karena hanya 93 km dari Skopje terdapat Phristina, ibukota Kosovo, maka setelah puas menikmati suasana Skopje, dengan menyewa taxi 200 Euro, bisa bolak balik ke Kosovo dan berkeliling di kota tersebut sekitar 1 sampai 2 jam, karena kota yang penduduknya tidak sampai 200.000 tersebut memang terasa sepi, dan tidak banyak yang dapat dinikmati di sana.
Memang negeri-negeri Balkan memiliki tempat wisata yang indah akan tetapi lokasinya jauh di luar ibu kota, sehinggaa bila waktu sangat terbatas, tentunya hanya dapat menikmati apa yang ada di ibukota saja.
Setelah mencari beberapa informasi, untuk melanjutkan perjalan ke Sofia, seorang staf di Meriott hotel Skopje menyarankan untuk mencoba flix bus agar memperoleh sensasi baru menempuh perjalanan 174 km, selain nyaman dan murah. Karena tiket hanya Euro 29, bisa membeli tiket tambahan agar bangku sebelah kosong, seharga Euro 15.
Sehingga dengan Euro 44 kita bisa duduk di dua kursi untuk perjalanan selama 4 jam plus proses imigrasi dan bea cukai.
Dan ternyata saran tersebut memang benar, menikmati perjalan darat antar dua negara dengan bis yang nyaman memberi pengalaman tersendiri. Apalagi setelah 2 jam perjalanan berhenti di sebuah rumah makan sebelum perbatasan.
Dan ternyata memang sesuai jadwal yang tercantum di tiket, flix bus sampai tepat waktu, dan saat para sopir taxi menawarkan jasanya untuk ke hotel tanpa pikir panjang setuju saja dengan Euro 30 sampai tujuan yang kata si sopir agak jauh. Tapi ternyata, belum sampai 10 menit sudah sampai tujuan. Ha ha…
Bulgaria, ‘Triangle of Religious Tolerance’
Bulan Maret 2023 saya pernah ke Bulgaria dengan mobil sewaan dari Istanbul, karena ditemani anak sendiri, Nisya, yang kebetulan sedang libur dari pekerjaannya di Brisbane Australia, sebagai co pilot. Jadi kalau lupa karena posisi setir kiri, dia akan mengingatkan, selain mengarahkan tujuan melalui GPS.
Akan tetapi karena mobil harus dikembalikan ke Bandara Istanbul, maka kami tidak berani terlalu jauh masuk ke Bulgaria, hanya sampai kota perbatasan, Kapiten Andreevo. Sedangkan tempat bermalam tetap di Turki, yaitu Hilton Edirne. Jadi baru kali ini memang masuk ke ibukota Sofia.
Ibukota yang penduduknya sekitar 1,3 juta ini ternyata mempunyai sejarah sangat panjang. Sejak tahun 46 SM (Sebelum Masehi), wilayah ini masuk dalam administrasi Romawi. Tidak jauh dari hotel, kami memasuki musium arkeologi yang merupakan sisa-sisa kota Romawi kuno yang tetap terjaga dengan baik.
Di tempat itu kita bisa merasakan bagaimana berjalan di jalan-jalan Romawi kuno, yang dibedakan antara jalan untuk para kaisar dan pejabat yang terbuat dari marmer halus. Sedangkan, jalan untuk rakyat dan jalan untuk kereta kuda terdiri dari batu-batu bergelombang.
BACA JUGA: Menikmati Sensasi Malam Tahun Baru 2023 di Singapura, Sebelum Terbang ke Istanbul
Karena sejak abad 14 dikuasai oleh dinasti Ottoman Turki, maka sisa-sisa peninggalan Turki pun banyak di sana terutama dalam bentuk-bentuk masjid ala Turki. Toleransi di Sofia tampak jelas dengan berdekatannya mesjid, gereja dan synagogue, yang disebut sebagao “triangle of religious tolerance.” Pemerintahan Bulgaria asli mulai kembali tahun 1878 dan kini menjadi kota terbesar ke-14 di masyarakat Eropa.
Walaupun luas kotanya sekitar 500 km2, namun pusat kota cukup dikelilingi dengan jalan kaki setengah hari sudah selesai. Kesibukan kota ini terlihat dengan banyaknya tram listrik dan bus-bus yang lalu lalang tak henti-henti.
Iseng-iseng masuk ke musium ilusi yang termasuk disarankan di paket-paket wisata, yang ternyata memang tidak terlalu banyak yang aneh alias biasa-biasa saja.
Di penghujung jadwal, tentunya pertemuan di Bukares adalah prioritas, dan jarak Sofia Bukarest yang 388 km, yang semua mau dicoba dengan pesawat. Ternyata menggunakan pesawat malah tidak efisien. Karena saat itu tidak saya temukan direct flight. Turkish Air yang transit di Istanbul dulu, Lufthansa transit Munich dulu atau pun Air Serbia yang transit Beograd dulu.
Tentunya, semuanya memakan waktu yang relatif lama. Akhirnya pilihan pun kembali ke flix bus dengan avoid neighbors lagi, dekat kursi kosong lagi. Sehingga bisa duduk dengan nyaman di dua kursi. Dan lagi, perlakuan para sopir kepada penumpang dengan double seat ternyata lebih ramah dibanding ke penumpang lain. Jadi tidak heran bila sopir marah luar biasa ke penumpang yang bawa makanan ke bus karena sejak awal sudah diinfo dilarang makan di bus.
Di Bulgaria, juga cukup mudah menggunakan Euro atau uang lokalnya Leva atau BGN. Karena 1 Leva adalah setengah Euro, atau Rp 8.750 bila 1 Euro Rp 17.500. Akan tetapi begitu sampai di Bucharest Romania, di mana mata uangnya adalah Leu atau Ron, yang 1 Ron adalah Rp 3.500. Nah pengalaman kurang menyenangkan pun terjadi ketika sopir taxi menawarkan jasanya untuk ke hotel.
Bukares, Jejak Vlad Drakula
Kali ini sopir taxi minta dibayar dengan Ron, sementara yang ada di kantong hanya Euro dan belum mempelajari kurs, dan sopir bilang pakai argo. Pada awalnya argo berjalan normal dengan Ron 10 atau 35.000 saat duduk, akan tetapi saat mobil mulai melaju, argo pun melaju begitu cepatnya sampai Ron 200. Sekitar 30 menit sampailah tujuan dengan Rom 400 atau Rp 1.700.000. Sambil menerima pembayaran, si sopir santai bilang, “Bucharest memang luas, jadi taxi memang mahal.”
Sejak itu, jadi harus terbiasa dengan taxi minimal Ron 300-400 ke satu tujuan, dan saya coba dengan taxi-taxi lain pun ternyata argo taxi di sana memang seperti itu. Bahkan, kadang kala mereka tidak mau bila diajak ke tujuan yang jauh. Kalaupun ada, setelah Ron 500, argo dimatikan dan dihidupkan lagi, saya pun segera menukar Euro ke Ron agar tidak bingung menghitung kurs saat membayar.
Penduduk Bukares sekitar 2 juta dan merupakan kota ke-8 terbesar di Eropa. Sejarah kelam Bukares adalah karena didirikan tahun 1459 olah Vlad Drakula, pemimpin yang karena kejamnya, maka namanya sampai sekarang digunakan sebagai nama drakula yang menyeramkan. Sayang karena keterbatasan waktu tidak sempat lagi untuk berkunjung ke istana Vlad Dracula yang relatif jauh dari ibukota.
Bukares sarat dengan bangunan-bangunan kuno berarsitektur indah, terutama gedung parlemennya. Cuma hati-hatindan teliti sebelum membeli souvenir dan kaos dan jangan kaget kalau harga kaos dibandrol seharga Ron 350 atau sekitar 1 juta per kaos oblong. Jadi selama di Bukares agak bingung juga mencari referensi harga mulai taxi, souvenir, makanan dll, padahal sebagai pengusaha kuliner biasanya kita bisa mengira-ngira harga makanan di resto manapun.
Saat Uni Soviet pecah dan negara-negara komunis bubar, tinggal Rumania yang bertahan di bawah kepemimpinan diktator Nikolai Ceaucescu, yang akhirnya dibunuh juga dalam revolusi rakyat tahun 1989.
Perjalanan berakhir di Romania dan kembali ke Jakarta dengan Turkish Airline, yang transit di Istanbul di saat sunset. Dan tentu saja saat transit harus dilewatkan dengan baik terutama mencicipi menu-menu Turki yang tentunya halal dan sesuai dengan lidah Indonesia.
Bersyukur, alhamdulillah, saat tiba di tanah air Indonesia. Target mengunjungi 70 negara sebelum menginjak usia 60 tahun telah tercapai dengan baik.
Semoga pembaca pun mempunyai target masing-masing dalam hidup, dan dapat mencapainya dengan baik.
Semoga!
Editor: Saibansah