Pernikahan LGBT Itu Tidak Pancasilais dan Melanggar UUD 1945

Oleh Abd Rahman Syahputra

BARU-BARU Majelis Tinggi Senat Thailand telah mengesahkan Pernikahan Sesama Jenis di Thailand dan mereka mencatat sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Respon beberapa media corong pendukung LGBT memberikan reaksi berlebihan bahagianya, bahkan ada media yang membandingkan dengan Qanun di Provinsi Aceh dan respon umat Islam di Indonesia tentang eksistensi pernikahan sesama jenis.

Organisasi Masyarakat tertua di Indonesia seperti Muhammadiyah sudah tegas dan terang memberikan fatwa haram terhadap perilaku LGBT. Pernyataan ini termaktub dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid IV disebutkan bahwa homoseksual hukumnya haram. Demikian pula dengan lesbian.

Homo dalam Al-Qur’an disebut liwaath. Sedang lesbi dalam kitab fikih disebut sihaaq. Zina dilarang antara lain tersebut pada QS. Isra’ ayat 32. Dalam ayat itu zina dinyatakan perbuatan keji (fakhisyah). Demikian pula liwaath (homoseks) yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth juga dikategorikan dalam perbuatan yang keji (faakhisyah), seperti tersebut pada QS. Al Araaf ayat 80 dan 81:

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) yang selama ini konsen dengan isu LGBT, Hidayat Nur Wahid berpendapat agar semua pihak waspada dengan aturan baru di negara Thailand.

“Seluruh pemangku kepentingan di Indonesia, baik pemerintah, DPR, ormas-ormas keagamaan, dan masyarakat luas harus waspada agar penyimpangan laku seksual dengan pernikahan sejenis semacam ini tidak dijadikan dalih untuk diperbolehkannya nikah sejenis di Indonesia yang menjadi pintu penyebaran penyimpangan LGBT secara lebih luas lagi,” tegas Hidayat Nur Wahid pada 20 Juni 2024.

Politikus senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan bahwa Indonesia memiliki ajaran dan dasar nilai-nilai yang sangat kuat untuk mencegah penyebaran penyimpangan LGBT itu, yakni Pancasila, Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28J Ayat (2) maupun Pasal 28 B Ayat (1) UUD 1945, UU Perkawinan yang mengatur keabsahan pernikahan. Tak hanya itu ada juga Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) yang melarang pencatatan pernikahan beda agama. Apalagi dengan fakta adanya nilai-nilai keagamaan yang sudah mengakar di masyarakat bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka yang tidak membolehkan nikah sejenis.

Bagaimana dengan Kepulauan Riau?

Pada 2016, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Kepulauan Riau mencatat bahwa perilaku LGBT di Kepri berkomunikasi lewat sosial media. KPAP Kepri menemukan bahwa gay di Kepri ada yang berperan sebagai pelacur, pelanggannya berasal dari pria lokal maupun wisatawan dari berbagai negara. Jumlah gay di Kota Batam sebanyak 800 orang, Kabupaten Karimun sebanyak 300 orang dan Kota Tanjungpinang sebanyak 600 orang

Sementara itu, hasil kajian Dewan Dakwah Kota Tanjung Pinang selama 2 tahun (2015 – 2017) jumlah LGBT di Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan ada sekitar 1.000 orang yang berasal dari 24 komunitas. Dewan Dakwah juga menemukan bahwa jika ada salah seorang LGBT ingin berubah atau ingin keluar dari komunitasnya, mereka akan diancam dengan kekerasan oleh kelompok mereka sendiri.

Pada tahun 2022, Dinas Kesehatan Kabupaten Karimun menyampaikan bahwa kasus HIV di Karimun paling banyak ditularkan oleh kaum gay. Rachmadi Kadis Kesehatan Karimun mencatat jumlah terbanyak kasus penularan HIV berasal dari kelompok LSL (gay) dengan 12 kasus, Pelanggan WPS (wanita pekerja seks) ada 8 kasus dan ada juga ibu hamil sebanyak 4 kasus

Pada tahun 2023, Dinas Kesehatan Provinsi Kepri menjelaskan bahwa jumlah LGBT di Kepri yang terserang HIV/AIDS sebanyak 200 orang.

Bagaimana kita bersikap terhadap pernikahan sesama jenis?

Berdasarkan data di atas dapat kita simpulkan bahwa bahwa kaum LGBT lebih berisiko terkena penyakit menular seksual. Jika ditinjau dari sisi aturan yang berlaku di Indonesia maka pernikahan LGBT tidak akan diakui karena sudah jelas melanggar UU Perkawinan pasal 1, yang dimaksud perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sebagai Yurisprudensi Hukum pada tahun 2021 Pengadilan Militer Pengadilan Militer III-16 Makassar menjatuhkan hukuman ke Prada RIF dengan pidana penjara 8 bulan 28 hari dan memecat dari militer. Majelis hakim menyatakan Prada RIF terbukti melakukan hubungan sesama jenis/homoseks.

Kemudian, masih di tahun 2021, Pengadilan Agama Bantul Nomor 72/Pdt.G/2021/PA.Btl membatalkan pernikahan pasangan suami istri. Penggugat (istri) menyampaikan kepada hakim bahwa 25 hari setelah pernikahan suaminya mengaku kepada istrinya bahwa dia memiliki disorientasi seksual sejak sekolah dasar dan menutupinya selama ini. Atas dasar itu, penggugat meminta pengadilan membatalkan pernikahan karena merasa ditipu oleh Termohon (suami)

Kajian akademik dalam bentuk jurnal, skripsi, tesis dan disertasi banyak membahas pernikahan sesama jenis (LGBT- Lesbian Gay Biseksual Transgender) dalam perspektif hukum, sosial dan keagamaan, kesemuanya menyimpulkan bahwa pernikahan sesama jenis melanggar aturan yang berlaku di Indonesia, dan ada ancaman hukuman pidana.

DPR RI sudah mengesahkan Rancangan UU KUHP, setelah diundangkan menjadi UU No 1 tahun 2023 Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Pada Pasal 406 dan 414 telah mengatur tentang pidana terhadap pencabulan baik kepada yang berlainan jenis kelamin ataupun yang sama. Sementara jika memalsukan dokumen identitas diri, KUHP sudah mengaturnya pada pasal 394 tentang keterangan palsu dalam akta autentik

Terakhir, Prof Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah di website resmi muhammadiyah.or.id menyatakan bahwa sikap Muhammadiyah sudah jelas tentang LGBT, sudah ada sikap dan pandangan jelas dari Majelis Tarjih soal perilakunya jelas itu bertentangan dengan moral agama. Tapi soal manusianya berbeda lagi, karena sebagai manusia tentu kita tetap harus menerima mereka sebagai bagian dari masyarakat kita.

Bagi penulis, langkah kaum LGBT untuk melangsungkan pernikahan sesama jenis jelas melanggar Undang Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila sebagai 2 pilar kebangsaan Indonesia.*

Penulis adalah Dosen STIT Internasional Muhammadiyah Batam