Oleh Tony Rosyid
KALAU mau menang, ya usung Anies. Kira-kira itu gambaran elektabilitas pilgub DKJ saat ini. “Elektabilias Anis amat sangat mendominasi dalam semua survei”, kata Surya Paloh. “Anies rangking 1, capek juga orang hadapi Anies di Jakarta”, lanjut ketum Nasdem ini.
Pilihan realistis bagi semua partai, khususnya PKS, Nasdem, PKB dan juga PDIP adalah mengusung Anies. Pada prinsipnya, partai-partai itu ingin mengusung yang menang. Indikator kemenangan paling mendasar adalah hasil survei.
Berdasarkan hasil survei, suara Anies sekitar 40 persen. Disusul Ahok sekitar 17 persen. Ridwan Kamil ada di posisi ketiga yaitu 15 persen. Nama-nama lain dapat di bawah 5 persen. Termasuk Sandiaga Uno, Heru Budi Hartono, Sohibul Iman dan Sa’roni. Elektabilitas mereka di bawah lima persen.
Mengapa PKS memajukan Sohibul Iman untuk menjadi cagub DKJ, sementara dari sisi elektabilitas masih sangat rendah?
Selama ini, nama Sohibul Iman belum muncul. Baru kali ini, PKS coba test the water. Ketika nama Sohibul Iman dimunculkan, PKS akan melihat pasar. Bagaimana respon publik kepada Sohibul Iman: diterima atau ditolak. Kalau elektabilitasnya naik signifikan pasca deklarasi, maka Sohibul Iman bisa terus didorong. Tapi, jika respon pasar rendah, maka PKS akan bersikap realistis. PKS akan menurunkan posisi tawar Sohibul Iman menjadi cawagub. Ini hal yang biasa dilakukan oleh setiap parpol.
PKS adalah partai pemenang pemilu di DKJ. PKS mendapatkan 18 kursi. Wajar kalau kemudian PKS mengajukan kadernya untuk maju sebagai cagub. Hanya butuh tambahan empat kursi, PKS bisa majukan kadernya.
Partai-partai lain akan memantau elektabilitas Sohibul Iman pasca deklarasi. Jika respon pasar bagus dan elektabiltas Sohibul Iman naik signifikan, maka akan banyak partai yang merapat, jalin komunikasi dan bahkan ikut bergabung. Bersama PKS mengusung Sohibul Iman sebagai cagub. Partai-partai yang bergabung akan berebut cawagub. Sebaliknya, jika respon pasar sepi dan elektabilitas Sohibul Iman tetap rendah, maka tidak akan ada parpol yang tertarik.
Kecuali jika istana membuat keputusan untuk mengambil posisi cawagub yang akan mendampingi Sohibul Iman. Seandainya istana berpikir yang penting bagaimana menyingkirkan Anies dari PKS, lalu mendukung cagub dari PKS, maka, ini akan menjadi dinamika tersendiri. Apalagi yang ditawarkan jadi cawagub itu Kaesang. Seandainya ini benar-benar terjadi, apakah PKS akan terima tawaran istana itu? Tidak otomatis juga. Lagi-lagi, PKS akan membuat kalkulasi dengan memasukkan aspirasi konstituen sebagai bagian dari variable dan pertimbangan penting.
Jelang pendaftaran pigub 27 Agustus, ada waktu sekitar dua bulan bagi Sohibul Iman dan PKS untuk menguji pasar. Melakukan branding dan memasarkan Sohibul Iman. Dari hasil survei ini akan jadi keputusan PKS untuk menentukan apakah akan terus dorong Sohibul Iman nyagub, atau hanya mengambil posisi cawagub.
PKS sudah mendapat tawaran jadi cawagub Ridwan Kamil dengan dukungan Golkar, Gerindra, PAN dan Demokrat, plus dua istana. Dari sisi ini, PKS aman. Aman tiket dan aman logistik. Plus tawaran-tawaran lain, tentu saja.
Tapi, PKS selalu melihat respon dan mendengar aspirasi konstituen. Ok, jalan. Gak ok, tahan. Nampaknya, konstituen PKS lebih merekomendasikan PKS mendukung dan mengusung Anies Baswedan. Track record Anies lima tahun di Jakarta dianggap sukses dan positif di mata konstituen PKS. Selain tentu saja, peluang menang Anies sangat besar.
Sangat realistis jika PKS kemudian mengajukan cawagub, dalam hal ini adalah Sohibul Iman untuk mendampingi Anies. Dengan catatan, elektabilitas Sohibul Iman tidak bisa naik secara signifikan.
Partai-partai yang bakal calonkan Anies mesti bisa melihat bahwa PKS adalah partai pemenang dan telah mendapatkan tawaran dari koalisi istana untuk menjadi cawagub. Dengan menerima PKS sebagai cawagub Anies, peluang menang pasangan Anies-Sohibul Iman sangat besar dibanding ketika Anies disandingkan dengan yang lain. Kenapa? Karena Anies punya irisan pemilih dengan PKS. Selain PKS partai pemenang dan punya mesin politik yang bisa bekerja dengan sangat baik.*
Jakarta, 25 Juni 2024
Penulis Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa