Avatar AI Nyaleg di Inggris: Apa Iya Bisa Jadi Politisi?

Steve Endacott, seorang kandidat independen dalam pemilihan Brighton Pavilion, berpose dengan avatar AI-nya di luar dermaga Brighton di Inggris selatan, 17 Juni 2024.

J5NEWSROOM.COM, London – Apakah Anda khawatir teknologi kecerdasan buatan (AI) akan merebut pekerjaan Anda? Orang-orang di Inggris bisa mengeluhkannya kepada wakil mereka di parlemen, yang bisa jadi juga sebuah AI.

Pengusaha Steve Endacott, yang berusia 59 tahun, adalah satu dari ratusan kandidat calon anggota legislatif yang bersaing pada pemilihan umum nasional Inggris 4 Juli mendatang untuk menjadi anggota parlemen (MP).

Yang menarik, bukannya memasang foto wajahnya sendiri di brosur kampanye, ia justru memasang gambar avatar dirinya yang dibuat oleh AI.

Jika terpilih, maka dunia akan memiliki legislator AI pertamanya.

Sambil berdiri di samping papan bergambar “Steve versi AI” seukuran manusia di daerah pelabuhan Brighton, Steve menyodorkan telepon genggam kepada para pejalan kaki yang penasaran agar mencoba berinteraksi dengan teknologi itu.

Steve versi AI lantas berinteraksi dengan orang-orang di sana untuk membahas berbagai topik, dari hak-hak LGBTQ, perumahan, hingga urusan pengumpulan sampah dan keimigrasian. Steve versi AI kemudian menjabarkan gagasan-gagasan kebijakannya sebelum meminta saran kepada lawan bicaranya.

Pekerja amal Eona Johnston, yang berusia 23 tahun asal Brighton, terbuka pada kehadiran Steve versi AI. Akan tetapi, ia meminta bukti efektivitas mesin itu, serta apakah ia dapat dipercaya.

“Kita menggunakan AI di begitu banyak bidang, di tempat kerja, dalam interaksi sosial. Apa salahnya [kita gunakan] juga di bidang politik? Yang jadi pertanyaan, bagaimana caranya. Kita sebaiknya terbuka pada gagasan itu,” ungkapnya.

Endacott, yang memanfaatkan perusahaannya, Neural Voice, untuk menghidupkan Steve versi AI, mengungkapkan bahwa rasa frustrasinya terhadap “politik standar” yang ada saat ini mendorongnya mengambil keputusan untuk mencalonkan diri menjadi caleg independen di parlemen Brighton Pavilion, yang diperkirakan akan tetap dikuasai oleh Partai Hijau.\

Tujuannya untuk menunjukkan bahwa teknologi itu mampu memberikan akses yang lebih besar kepada para pemilih untuk berinteraksi dengan perwakilan mereka di parlemen.

“Kita ingin reformasi demokrasi, kita ingin agar orang-orang terhubung dengan perwakilan mereka, karena sistem yang ada saat ini rusak dan tidak berfungsi.”

Dalam percobaan keduanya di dunia politik, setelah pada 2022 lalu kalah dalam pemilihan anggota dewan kota lokal, Steve mengatakan bahwa versi AI dirinya akan berbicara kepada para pemilih nonstop sambil merumuskan kebijakan, yang kemudian akan diajukan ke hadapan 500 validator untuk diperiksa.

“Bahkan ketika suatu kebijakan dibuat, kebijakan itu harus lolos penilaian para validator… TIdak ada yang bisa dengan mudah meretas para validator,” ungkapnya kepada Reuters.

Ketika ditanya mengenai Steve versi AI, Komisi Pemilihan Umum setempat menyatakan bahwa anggota yang masuk parlemen adalah caleg yang terpilih, bukan “versi AI yang mereka gunakan.”

Sebagian besar warga tampak masih enggan memilih kandidat AI, tapi menganggap upaya Steve menggunakan teknologi kecerdasan buatan di dunia politik sebagai sebuah topik yang harus didiskusikan lebih lanjut.

Meskipun AI sudah digunakan selama puluhan tahun, pertumbuhan pesat ChatGPT sejak diluncurkan tahun 2022 telah mendorong teknologi tersebut ke arus utama, serta memicu banyak tokoh penting dunia, dari Paus Fransiskus hingga Elon Musk, untuk memperjuangkan pengawasan yang lebih ketat terhadap teknologi tersebut.

Masyarakat Inggris sendiri sangat terbelah sejak menjelang hingga sesudah terjadinya Brexit, di mana kepercayaan publik terhadap pemerintah berada pada tingkat terendahnya saat ini, sementara pemerintah Konservatif Inggris kemungkinan menghadapi “kepunahan elektoral”.

Sementara itu, tidak semua orang terbuka pada pemanfaatan AI di dunia politik.

Jim Cheek, akuntan berusia 37 tahun asal Brighton, mengatakan bahwa seorang anggota parlemen harus mahir berbicara di hadapan publik, karena mereka harus bisa membela kepentingan konstituen mereka di parlemen – sesuatu yang tidak bisa dilakukan anggota legislatif yang terbuat dari AI, ungkapnya.

“Menurut saya AI hanya sebagian kecil dari faktor yang membuat seorang anggota parlemen berkualitas baik atau buruk, dalam hal ini saya rasa ini hanya sebuah gimik,” lanjutnya.

Sementara warga lainnya, Andy Clawson, yang berusia 42 tahun, mengatakan, “AI dan politisi punya satu kesamaan… mereka tidak bisa dipercaya.” 

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah