Catatan Ahmadie Thaha
DUKA mendalam merasuk hati saat mendengar kabar kepergian rekan dan sahabat dekat saya, Ismed Hasan Putro. Dia yang belakangan selalu berbaju koko dan berpeci putih wafat pada Senin 24 Juni 2024 petang di tengah keluarganya di Lembang, Bandung, Jawa Barat. Innalillahi wa inna ilayhi rajiun. Yang kekal itu hanya Allah al-Baqi. Yaa baqii antal Baaqii.
Begitu lama kami tidak berkomunikasi, terpisah oleh jarak dan kesibukan. Ismed menetap di Bandung, rupanya mengabdikan diri di pesantren yang didirikannya. Sementara saya tinggal di Jakarta, sibuk dalam kegiatan di MUI, PUI, serta bolak-balik ke sejumlah pondok pesantren yang saya kembangkan.
Berita wafatnya Ismed Hasan Putro menyebar cepat di grup-grup WhatsApp, termasuk IPHI, HMI. Status WhatsApp milik almarhum turut mengabarkan berita duka tersebut: “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah, kaka tersayang dan uwa tercinta kami Alm Ismed Hasan Putro.” Begitulah pesan keluarga.
Tak terelakkan, kabar duka ini menyelimuti banyak pihak, terutama keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI). Sang Ketua Umum IPHI, Ismed Hasan Putro, telah wafat untuk selama-lamanya.
Kenangan saya akan Ismed begitu dalam. Sebagai sesama aktivis kala masih mahasiswa, kami sering berjuang bersama. Yang paling berkesan, kami bertiga — saya Ahmadie Thaha, Mukhlishin Saad, dan Ismed Hasan Putro — bersama-sama menggerakkan sebuah kelompok studi bernama Lingkaran Studi Indonesia (LSI) di Ciputat. Begitu terkenalnya nama LSI pada masanya, hingga singkatan nama ini belakangan dipakai dua perusahaan survei terkemuka secara bersamaan.
Kami mengenal Ismed sebagai sosok pekerja keras sejak di kampus. Tak aneh jika setelah kehidupan kampus ia kemudian mengembangkan bisnis properti, bahkan tanpa saya ketahui mendirikan pesantren di Lembang, Bandung.
Dia juga aktif di ormas perhajian hingga wafatnya. Pada bulan Agustus 2018, dia diangkat sebagai ketua umum PP IPHI, dan memenangkan gugatan saat jabatannya dipersoalkan hingga pengadilan. Dia juga pernah duduk di jabatan publik sebagai Direktur Utama RNI selama tiga tahun lebih.
Kesehariannya dipenuhi kerja keras, sering bermalam di kantor setelah rapat panjang hingga tengah malam, dan kembali bekerja di pagi harinya. Kehidupan di Palembang dan Surabaya membentuk etos kerjanya yang luar biasa. Di sela kesibukannya, dia juga menyempatkan diri berolahraga dengan berlari di treadmill.
Saat jadi mahasiswa, Ismed dan saya tinggal di petak-petak rumah di Gang Semanggi, dekat kampus IAIN (kini UIN) Ciputat. Meski saya tahu dia tidak pernah benar-benar kuliah di IAIN Ciputat, atau di kampus kampus lain, namun semangatnya sebagai aktivis pergerakan kemahasiswaan tidak pernah pudar.
Saya masih ingat, Ismed yang pendek dan lincah, selalu memakai kemeja lengan pendek dan tersenyum pada siapa saja yang ditemuinya. Dia juga sering lebih suka menjadi pendengar yang baik. Namun ketika berbicara di depan forum, ia mampu memukau dengan gaya bicara yang meyakinkan.
Pada akhir tahun 1980-an, kami bertiga (Ahmadie Thaha, Ismed, dan Mukhlisin Saad) bersama-sama mendirikan Lingkaran Studi Indonesia (LSI) di kampus IAIN Ciputat. Saat itu, kondisi kampus tertekan oleh kebijakan NKK/BKK yang memberangus aktivitas politik mahasiswa. Kelompok-kelompok studi bermunculan sebagai respons, dan LSI mengadakan diskusi-diskusi akademis untuk membangkitkan semangat intelektual.
Ismed, dengan kemampuan komunikasinya, berhasil menjalin hubungan baik dengan tokoh-tokoh penting, termasuk Sekjen Golkar Sarwono Kusumaatmaja dan dengan pimpinan Kompas, Jacob Oetama. Hasil diskusi-diskusi LSI sering muncul di headline Kompas, berkat tema-tema pembangunan yang kami angkat dan pembicara berkaliber yang kami hadirkan.
Di kampus IAIN Ciputat, Ismed tidak menonjol dalam bidang keagamaan, namun latar belakang keluarganya yang kuat dalam Islam membuatnya tetap taat. Dengan harta yang dimilikinya, dia beberapa kali pergi umrah dan haji. Akhirnya, Ismed bergabung dengan IPHI dan terpilih menjadi ketua umum, mengembangkan organisasi ini dengan baik.
Setelah lulus dari IAIN dan bekerja di Majalah Tempo, saya tak tahu lagi kegiatan Ismed. Jalan hidup membawa kami berpisah. Ismed kemudian saya dengar bergabung sebagai peneliti di Kompas, dan berlanjut ke Jawa Pos Group di bawah bimbingan Dahlan Iskan. Selama sembilan tahun di sana, Ismed tampaknya belajar jurnalistik sekaligus berusaha menjadi pebisnis.
Hanya saja, mimpi besarnya untuk membangun jalan tol di Surabaya tidak terwujud. Namun dia tidak menyerah. Dia terus mencoba peruntungannya dalam bisnis, mulai dari perkebunan jati hingga bisnis gula. Entah mengapa, kerjasamanya dengan berbagai pihak banyak yang gagal.
Akhirnya, Ismed memilih jalan sebagai pengusaha independen, sampai dia memiliki bisnis properti di Bandung, dan Lombok, serta perkebunan sawit di Riau. Saya pernah bertemu dengannya suatu kali di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, dan saya masih ingat senyumnya. Dia waktu itu mengaku sedang dalam perjalanan bisnis.
Ismed juga menapaki karir di sektor publik, bergabung dengan Kementerian BUMN sebagai anggota Kebijakan Publik dan kemudian menjadi Komisaris PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Pada 2012, dia diangkat menjadi Direktur Utama RNI, dan memberlakukan berbagai kebijakan penghematan yang signifikan.
Kepergian Ismed meninggalkan luka mendalam bagi kami semua. Ia adalah sahabat, rekan, dan teladan yang penuh energi. Semoga segala kebaikan yang telah ia lakukan menjadi amal jariyah yang terus mengalir, dan semoga Allah SWT menempatkannya di tempat terbaik di sisi-Nya. Amin.
Selamat jalan, sobat Ismed Hasan Putro. Kami semua pasti juga pada saatnya akan seperti kamu, kembali kepada-Nya.*
Penulis adalah Pengasuh Ma’had Tadabbur al-Qur’an