Pilkada 2024: Kaderisasi Masih Jadi PR Partai Politik

Oleh Putra Batubara

PENDAFTARAN Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 sekitar 2 bulan lagi dan beberapa calon kepala daerah (cakada) tingkat Gubernur, Walikota dan Bupati sudah mulai mengerucut. Mengerucut karena beberapa faktor, ada yang hanya sekedar coba-coba, ada pula karena hasil survei yang tidak bagus atau karena kesulitan mendapatkan akses ke elit-elit partai politik di Jakarta.

Idealnya memang cakada ini dilahirkan dari rahim kaderisasi partai politik, bukan karena faktor ketokohan dan finansial saja, akhirnya parpol jadi terjebak pada situasi sulit seperti ini, misal Pilkada di Sumatera Utara, Bobby Nasution sudah ber KTA Partai PDI Perjuangan karena dinamika yang ada akhirnya lompat ke Partai Gerindra dan diberi KTA Partai Gerindra. Begitu juga dengan Anies Baswedan, dicalonkan oleh PKS di Pilkada Jakarta, Anies sendiri bukan kader PKS, justru mantan Presiden PKS, Sohibul Iman dicalonkan sebagai Wakil Gubernur Jakarta berpasangan sama Anies.

Dilema kader dan bukan kader selalu berulang di tiap pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu kepala daerah, termasuk pemilu presiden juga kita baca demikian, padahal negara sudah menyediakan dana untuk membiayai kegiatan pendidikan politik  partai politik, jika dananya kurang tentu parpol punya “power” untuk mengubahnya, toh yang di DPR dan di Istana juga kader – kader parpol juga.

Ada beberapa faktor Cakada kader parpol yang tidak jadi maju pada Pilkada 2024, diantaranya aturan harus mundur dari anggota legislatif, biaya kampanye yang besar dan kerumitan mencari kekurangan tiket Pilkada 2024.

Pilkada 2024 tentu sudah tidak ideal lagi mendesak parpol untuk mendorong kader-kadernya untuk maju cakada, tapi masukan kepada parpol tetap harus disampaikan agar terus mengadakan perbaikan-perbaikan kedepannya

Paradigma dan Ideologi Kader Partai

Sebelum orang perorang memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) Partai, idealnya orang tersebut mengikuti perkaderan dasar partai agar paham visi, misi, maksud dan tujuan partai tersebut, meskipun yang selalu terjadi sebaliknya, orang sudah punya KTA partai terlebih dahulu karena harus melengkapi salah satu syarat pencalonan pileg bahwa yang bersangkutan harus ber KTA partai tersebut.

Biasanya pada perkaderan level dasar akan disampaikan paradigma, ideologi dan historis parpol tersebut. Nah, di sini parpol akan menjelaskan nilai perjuangannya bahwa menjadi pemimpin itu memang panggilan dan pengabdian.

Harta, tenaga dan pikiran akan terkuras untuk memikirkan jalan keluar dari penderitaan rakyat. Media formal untuk melahirkan calon pemimpin adalah partai politik. Jadi, orang-orang yang menerima KTA parpol harus paham bahwa tugas mereka memang untuk memperjuangkan kepentingan rakyat bukan diri sendiri, keluarga ataupun golongan tertentu.

Penerapan Nilai – Nilai Demokrasi 100 Persen

26 Tahun pasca Reformasi 1998, semangat demokrasi 100% parpol sudah mulai kendor, demokrasi internal parpol banyak yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Atas nama stabilitas Parpol, Ketua Umum DPP, Ketua DPW, Ketua DPD dan DPC semuanya dipilih pakai metode penunjukan langsung tidak menggunakan metode lelang jabatan.

Paradoks dengan penentuan jabatan di eksekutif (kementerian, lembaga dan pemerintah daerah) yang sudah menggunakan metode lelang jabatan. Padahal kalau menggunakan metode perkaderan yang baik dan benar tentu tidak akan ada “orang luar” parpol yang bisa masuk dan tiba-tiba jadi Ketua Partai.  

Lebih mengherankan lagi tradisi mengatur struktur ini terjadi juga saat kadernya tersebut duduk di legislatif dan eksekutif. Harusnya parpol cukup menjadi mesin pencetak pemimpin di legislatif dan eksekutif. Saat kadernya terpilih maka loyalitas kader fokus kepada tugas dan fungsinya masing – masing tanpa dibebankan urusan internal partai.

Perkaderan yang Terstruktur, Sistematis dan Masif

Setiap parpol pasti punya sistem perkaderan formal, bertahap dan bertingkat. Hanya saja perkaderan formal ini tidak sepenuhnya dilaksanakan. Akibatnya tiap 5 tahun masa pemilu semua parpol selalu merasa kekurangan kader untuk dijadikan caleg, cakada dan capres.

Padahal negara sudah mengalokasikan dana APBN dan APBD untuk kegiatan internal parpol. Dana tersebut diperoleh sesuai dengan jumlah suara yang didapat parpol dari hasil pemilu di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kota. Jika memang dianggap kurang tentu parpol bisa mengusulkan untuk merevisinya.

Selain perkaderan formal, partai juga bisa mengajak masyarakat ikut dalam perkaderan informal seperti mengajak magang di kantor parpol, mengikuti kegiatan sosial yang diadakan parpol atau menjadi panitia di kegiatan parpol yang sifatnya terbuka untuk umum. Kegiatan perkaderan informal ini hanya bisa dilakukan kalau kantor partainya buka tiap hari, bukan buka saat per 5 tahun sekali.

Harapan rakyat terhadap perbaikan kualitas kaderisasi parpol sangat tinggi, karena parpol sejatinya merupakan jembatan penghubung antara pemerintah dan rakyat. Rakyat berharap parpol dapat menjadi pendorong terjadinya pemerintahan yang baik, akuntabel dan anti korupsi.

Rakyat berharap parpol dapat melahirkan pemimpin yang berintegritas, memperjuangkan aspirasi dan melayani rakyat. Indonesia Emas 2045 bisa terwujud jika semua pihak bekerjasama dan mau memperbaiki diri menjadi lebih baik, termasuk partai politik.*

Penulis adalah Peneliti Indo Data Bermestautin di Batam