Politik Tak Melulu tentang Kekuasaan

Ilustrasi Pemilu. (foto: Ist)

Oleh Nai Ummu Maryam

PEMILIHAN presiden dan wakil presiden (Pemilu) telah usai dilaksanakan pada Februari 2024 yang lalu. Pada November 2024 mendatang akan disusul dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Tidak tanggung-tanggung biaya yang dikeluarkan untuk memilih pemimpin di negeri ini memerlukan dana yang fantastis.

Ya, bisa dikatakan tembus triliunan. Bayangkan jika uang sebanyak ini digunakan untuk kepentingan rakyat miskin dan pengangguran, wah tentu saja mereka sejahtera tanpa mengharapkan bansos dari penguasa.

Sebagai rakyat terutama umat Islam kita tidak boleh menutup mata terhadap kondisi perpolitikan walaupun pekerjaan kita bukanlah orang yang duduk di kursi pemerintahan. Masyarakat cerdas dan bijak bukan soal yang taat bayar pajak, melainkan mampu mendudukkan dengan bijaksana apa makna politik yang sebenarnya.

Mendudukkan Makna Politik

Makna politik dalam sistem demokrasi berkaitan erat dengan kekuasaan dan jabatan. Bahkan kita harus menunggu 5 tahunan untuk terjun berpolitik, menduduki kursi singgasana atau sekadar menjadi pemilih. Definisi politik yang paling sering kita dengar adalah definisinya Harold Lasswell (1936) ia merupakan pemikir politik asal Amerika. Ia mendefinisikan bahwa politik sebagai berikut: “Politics is about who gets what, when, and how.”

Kira-kira jika diartikan, politik adalah tentang siapa, dapat apa, kapan dan bagaimana caranya.

Sampai di Indonesia makna politik makin beragam bagi orang awam. Misalnya politik itu kotor dan kejam, politik itu berani sikut-menyikut, politik itu harus punya modal besar dan orang dalam, bahkan politik itu selalu identik dengan rasuah alias “wani piro”.

Jadi dalam definisi yang lahir dari sistem Barat tersebut, tidak ada soal “why: mengapa” karena apa? karena politik selalu ingin mendapatkan kekuasaan alias “struggle for power.” (Hanafi Rais, 2023).

Nah, sangat berbeda makna politik dalam Islam. Sesungguhnya politik Islam adalah bagian yang tak terpisahkan dari ajaran Islam yang sejati. Politik atau siyasah yang paling mudah kita pahami muncul dari ulama besar yakni Syekh Taqiyuddin an-Nabhani. Politik adalah “ri’ayatu syuuni al-ummah dakhiliyyan wa kharijiyyan bil islam” yang artinya politik adalah pengaturan urusan umat baik di dalam negeri maupun di luar negeri dengan cara Islam.

Dalam kitabnya berjudul ‘Daulah Islam’ karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani politik dalam negeri adalah melaksanakan hukum Islam di dalam negeri. Negara memberlakukan hukum Islam di negeri yang tunduk pada kekuasaannya. Negara mengatur muamalah, memberlakukan hudud, melaksanakan uqubat, memelihara akhlak dan mengarahkan rakyatnya untuk penegakkan syiar-syiar dan ibadah, serta memelihara urusan masyarakat sesuai hukum-hukum Islam.

Pun sama halnya dengan makna politik luar negeri. Politik luar negeri adalah hubungan negara dengan negara, bangsa-bangsa, dan umat-umat lain. Hubungan ini tidak lain untuk penyebarluasan Islam ke seluruh dunia.

Racun Sekularisme Jadikan Makna Politik Bergeser

Virus sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) di negeri-negeri yang bermayoritas muslim telah menggerogoti umat Islam hari ini termasuk di Indonesia. Sekularisme menjadi racun yang meniadakan Allah Swt. dalam urusan berpolitik dan hukum. Bagi mereka yang telah terjangkit virus sekuler menganggap bahwa Tuhan hanya ada dalam ranah ibadah saja. Mereka tidak menggunakan agama dalam urusan politik apalagi hukum.

Umat atau masyarakat mengganggap bahwa politik sesuatu yang sangat kotor, saling baku hantam kepentingan dan muka dua para pemainnya. Seolah-olah urusan politik adalah urusan para pemegang jabatan, pengurus partai, atau anggota dewan.

Padahal tidak demikian. Semua orang perlu dan wajib berpolitik. Tentunya berpolitik yang sesuai dengan teladan kita yakni Nabi Muhammad saw.

Mengajarkan keluarga untuk senantiasa taat kepada aturan Allah adalah berpolitik.

Menyadarkan para muslimah untuk senantiasa berpakaian syar’i, tidak tabarruj (berdandan berlebihan) adalah berpolitik.

Memberi edukasi kepada masyarakat untuk menjauhi riba adalah berpolitik.

Memberi edukasi kepada para pelajar, mahasiswa agar tidak pacaran, menjauhkan diri dari narkoba, dan mengenalkan pergaulan Islam adalah berpolitik.

Mengajak masyarakat untuk meninggalkan judi, khamar, atau makan dan minuman yang haram adalah berpolitik.

Jadi kesimpulannya bahwa makna politik yang benar dari sudut pandang Islam adalah mengurusi urusan umat sesuai dengan syariat Islam. Berpolitik adalah peran dari individu hingga negara. Nah, sudah tergambarkan bagaimana makna politik yang sebenarnya dalam pandangan Islam?

Wallahu’alam

Penulis dan Pemerhati Permasalahan Sosial Bermestautin di Batam