Oleh Putra Batubara
SOCRATES adalah seorang filsuf Yunani yang memprotes sistem demokrasi dengan metode suara mayoritas. Baginya setiap rakyat tidak memiliki kebijaksanaan yang cukup untuk menentukan dan menemukan kebenaran yang hakiki.
Kekhawatiran Socrates memang jamak terjadi di negara-negara demokratis, pemimpin yang terpilih bukan karena kapasitas tapi karena memang terkenal dan unik, sebagai contoh nyata terpilihnya Komedian Komeng (Alfiansyah Bustami) sebagai anggota DPD RI (Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia) daerah pemilihan Jawa Barat pada Pemilu 2024.
Komeng dipilih oleh 5,3 juta pemilih di Jawa Barat dan tercatat sebagai anggota DPD RI dengan suara tertinggi sepanjang sejarah Pemilu DPD RI di Indonesia. Komeng terpilih bukan karena suksesnya menjelaskan visi misinya kepada masyarakat se Jawa Barat, tapi karena fotonya yang unik dan namanya yang sudah dikenal oleh masyarakat Jawa Barat.
Kekhawatiran Socrates berikutnya demokrasi akan melahirkan pemimpin yang demagog. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), demagog berarti penggerak (pemimpin) rakyat yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh kekuasaan.
Socrates memberikan perumpamaan dua calon pemimpin yang terdiri dari seorang penjual permen (gula-gula) dan dokter. Calon yang berprofesi sebagai dokter akan mudah dipatahkan argumentasinya oleh penjual permen karena dokter biasanya akan memberikan pil pahit (obat) sementara penjual permen akan memberikan gula-gula yang manis kepada masyarakat.
Meskipun substansi pil pahit yang diberikan oleh dokter kepada masyarakat bertujuan untuk menyehatkan tapi masyarakat lebih percaya dengan si penjual permen karena sejak awal memberikan rasa manis. Padahal kita tahu bahwa manisnya gula – gula dapat merusak kesehatan seperti organ gigi dan tubuh.
Bagaimana Pilkada 2024?
Rasa-rasanya kekhawatiran Socrates soal demokrasi benar adanya, terjadi juga pada pemilu kepala daerah di Indonesia. Para calon bukan berlomba-lomba menjelaskan isi kepalanya kepada masyarakat. Para calon hadir dalam bentuk gambar dan tagline menarik lewat spanduk, baliho dan konten-konten sosial media. Mereka tidak menjelaskan akan melaksanakan apa, tapi lebih menguatkan nama, foto wajah dan tagline saja.
Hal ini terjadi karena partai politik sebagai mesin utama pencetak pemimpin tidak menyiapkan kadernya. Partai politik mengambil cara instan, calon yang didukung yang punya popularitas atau isi tas saja. Partai politik hanya memikirkan menang saat pemilu, tidak memikirkan bagaimana calon tersebut bekerja setelah terpilih.
Disisi lain, ruang publik seperti media (online, cetak, radio, televisi) terjebak pada kontrak-kontrak iklan para kandidat. Media hanya memberitakan yang mau disampaikan oleh para kandidat ke publik, tentu kontennya seperti penjual permen, isinya cerita-cerita manis.
Seharusnya media juga menyediakan ruang netral sebagai tanggung jawab profesinya dengan menghadirkan cover both side agar masyarakat mendapat informasi yang lebih adil dan netral. Masyarakat punya hak mendapatkan informasi yang jujur dan berimbang.
Misalnya media tetap mengangkat citra positif calon yang dermawan tapi media juga mencari tahu dan memberitakan sumber keuangan si calon tersebut, apakah dia pengusaha, usahanya sebesar apa dan jika dia seorang pejabat dapat menyajikan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) terakhir. Atau bisa saja dia dibantu oleh pengusaha, media menyajikan informasi pengusaha mana saja yang membantu kampanye kandidat tersebut.
Kaum akademisi yang berada di kampus juga jangan pernah bosan mengedukasi masyarakat. Pemahaman masyarakat apalagi pemilih pemula tidaklah sama dengan pemilih senior yang sudah ikut pemilu berkali-kali. Kampus harus aktif menyuarakan tentang pentingnya memilih pemimpin berdasarkan visi, misi dan program kerja, minimal disampaikan kepada mahasiswa sendiri.
Kampus harus mendorong mahasiswa mencari informasi secara mandiri kepada tiap kandidat lewat kanal- kanal informasi yang ada. Lebih menarik lagi jika kampus-kampus berkolaborasi dengan mengadakan debat visi misi kandidat secara terbuka, akan terjadi dialog antara kandidat dan mahasiswa, cara seperti ini jauh lebih efektif daripada debat – debat formal yang diadakan oleh penyelenggara pemilu.
Pilkada 2024 sudah didepan mata, kekhawatiran Socrates soal demokrasi dengan suara terbanyak sudah jamak terjadi di Indonesia, kandidat terpilih yang memenangkan Pilkada selalu yang paling populer. Tinggal kita semua mengambil peran di masyarakat.
KPU dan Bawaslu bekerjalah sesuai dengan UU Pemilu, Jurnalis bekerjalah sesuai dengan UU Pers, Intelektual Kampus bekerjalah sesuai dengan UU Guru dan Dosen. Jika semua bekerja sesuai dengan tupoksi (tugas, pokok dan fungsi) apapun tantangan di era demokrasi akan mudah dilalui.
Akan lahir calon pemimpin yang dilahirkan dari KPU dan Bawaslu yang jujur dan profesional, Media dan Kaum Intelektual yang kritis.*
Penulis adalah Peneliti Indo Data Bermestautin di Batam