J5NEWSROOM.COM, Jakarta – “Pemerintah menghormati kewenangan DKPP dalam memutuskan itu.”
Inilah pernyataan singkat Presiden Joko Widodo di sela-sela kunjungan kerja di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, Kamis (4/7). Ia menegaskan bahwa pemerintah akan mengawal pelaksanaan pilkada serentak, guna memastikan berjalannya proses demokrasi yang baik dan adil bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Jokowi menambahkan sejauh ini ia belum menerima berkas pemberhentian ketua KPU itu. “Keppres belum masuk ke meja saya,” sebutnya.
Dalam sidang terbuka, Rabu (3/7), DKPP memutuskan memberhentikan Ketua KPU Hasyim Asy’ari karena terbukti melakukan tindakan asusila terhadap Cindra Aditi Tedjakinkin, anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Den Haag, Belanda.
Perludem: Presiden Harus Segera Keluarkan Keppres
Peneliti Perludem Kahfi Adlan Hafiz mengatakan presiden harus segera menerbitkan keputusan presiden (keppres) terkait pemberhentian Hasyim Asyari sebagai Ketua dan anggota KPU, karena badan penyelenggara pemilu itu sedang memasuki tahapan pencalonan dalam pilkada serentak.
“Walaupun Pilkada ini diselenggarakannya oleh KPU Daerah, baik itu provinsi maupun Kabupaten/Kota, tetapi karena ini konteksnya pilkada serentak maka KPU Pusat punya fungsi koordinatif yang sangat besar, dan juga ada persiapan-persiapan yang memang dilakukan oleh KPU pusat terutama dalam hal misalnya pembentukan peraturan KPU terkait dengan tahapan-tahapan Pilkada,” terangnya.
Lebih jauh, Kahfi juga mengatakan setelah kasus yang menjerat Hasyim Asyari ini, KPU harus bekerja lebih keras untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Pasalnya, selain kasus Hasyim Asyari, Perludem mencatat beberapa persoalan serius lain dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 11 Februari lalu, termasuk proses pemungutan suara, dan Sirekap yang bermasalah.
“Di mana kita melihat secara profesionalitas KPU memiliki performa yang sangat buruk pada 2024, ini ditambah lagi dengan kasus asusila yang ini tentu kalau di dalam konteks kemasyarakatan ini menjadi suatu problem, sehingga bisa jadi ini sangat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap KPU. Jadi saya kira pekerjaan rumah terbesar KPU selain melakukan tahapan Pilkada, adalah memulihkan nama baik dengan cara memilih ketua yang betul-betul tidak memiliki catatan immoral atau catatan kasus etik,” pungkasnya.
Pakar Pemilu Khawatir Masalah Etika Akan Mempengaruhi Penyelenggaraan Pemilu Berkualitas
Hal senada disampaikan pakar pemilu di Universitas Indonesia Titi Anggraini, yang menilai sanksi terhadap Hasyim Asy’ari sedianya memberi “pembelajaran dan efek jera, terutama pada penyelenggara pemilu yang mensyaratkan profesionalitas, kredibilitas dan integritas yang solid.”
Titi khawatir masalah etika yang menjerat kepemimpinan Hasyim Asy’ari yang bukan pertama kali, “akan mempengaruhi kemampuan KPU menyelenggarakan pemilu secara berkualitas.” Titi merujuk pada meningkatnya putusan Mahkamah Konstitusi.
“Ada 44 putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sengketa hasil pemilu legislatif atau berarti naik tiga kali lipat dibanding Pemilu 2019. Artinya memang ada masalah struktural terkait kinerja dan kapasitas penyelenggara pemilu dalam menyelenggarakan Pemilu 2024,” sebutnya.
Secara blak-blakan, Titi, yang sudah mengkaji berbagai aturan pemilu selama bertahun-tahun, mengatakan “persoalan integritas di KPU sudah sangat bermasalah. Bukan hanya soal terkait asusila tapi juga ketidakcakapan dalam menyelenggarakan tahapan pemilu.” Menurutnya putusan DKPP sedianya menjadi “momentum pembenahan secara menyeluruh” di dalam KPU, terutama ketika sedang bersiap melangsungkan pilkada serentak yang memiliki tantangan rumit tersendiri.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah