J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan rincian soal defisit APBN itu dalam rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, di Jakarta, Senin (/8/7). Ia menjelaskan, total keseluruhan defisit pada tahun ini diprediksi akan mencapai Rp609,7 triliun atau 2,7 persen dari PDB. Angka tersebut lebih tinggi daripada yang ditargetkan sebelumnya di dalam APBN yakni Rp522,8 triliun atau 2,29 persen dari PDB.
“Kenaikan defisit Rp80,8 triliun adalah kombinasi dari pendapatan negara yang tadi mengalami beberapa koreksi, atau tidak mencapai target maupun kontraksi yang besar dari PNBP, pajak dan bea cukai, terutama di semester-I. Tetapi kemudian kita bisa tumbuh tipis di semester-II. Dan juga belanja negara yang mengalami positif growth hingga 9,3 persen,” ungkap Menkeu Sri.
Penerimaan Negara dari Pajak Capai Lebih dari 1.921 Triliun
Menkeu Sri menuturkan pendapatan negara secara keseluruhan pada tahun ini, diperkirakan akan mencapai Rp2.802,5 triliun. Hal ini mencakup penerimaan dari pajak, yang diproyeksikan mencapai Rp1.921,9 triliun atau setara dengan 96 persen dari yang sudah ditargetkan sebelumnya yaitu Rp1.988,9 triliun.
Juga penerimaan negara dari sektor kepabeanan dan cukai yang diproyeksikan mencapai Rp296,5 triliun. “Sementara PNBP (diprediksi) akan tercapai Rp549,1 triliun atau di atas target 111,6 persen atau dalam hal ini tetap tumbuh negatif 10,4 persen karena tahun lalu memang PNBP kita sangat, sangat, sangat tinggi,” jelasnya.
Sementara itu, untuk belanja negara secara menyeluruh di tahun ini diproyeksikan akan mencapai Rp3.412,1 triliun. Angka tersebut, kata Menkeu Sri tumbuh 9,3 persen dari tahun lalu.
Menkeu Minta Izin DPR Untuk Gunakan SAL
Guna membiayai kenaikan defisit anggaran tersebut, pemerintah kata Menkeu akan menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp100 triliun. Dengan begitu, pembiayaan defisit APBN melalui utang atau melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) bisa lebih ditekan lagi.
“Inilah, sebetulnya tahun 2022-2023 waktu kami mampu mengumpulkan SAL cukup besar dipakai pada saat situasi sekarang, pada saat suku bunga dunia tinggi, rupiah sedang mengalami tekanan. Kami bisa menjaga agar SBN tidak di-issue lebih banyak sehingga dengan demikian kami bisa menjaga competitiveness dari yield SBN kita tanpa mengalami tekanan yang besar. Kami mengajukan kepada DPR untuk menggunakan SAL Rp100 triliun tambahan dari yang Rp 51 triliun yang sudah kita usulkan UU APBN,” jelasnya.
Menkeu Sri Mulyani juga melaporkan bahwa untuk semester-I 2024 APBN telah mengalami defisit sebesar Rp77,3 triliun atau 0,34 persen dari PDB. Angka tersebut tentu tidak terlalu menggembirakan mengingat pada periode yang sama pada tahun lalu anggaran negara masih tercatat surplus Rp152,3 triliun.
“Namun apabila kita lihat dari postur APBN keseluruhan APBN 2024, dimana desain dari APBN 2024 adalah defisit mencapai Rp552,8 triliun, maka realisasi defisit Rp77,3 triliun masih di dalam range yang ada di dalam APBN kita,” jelasnya.
Pertumbuhan Ekonomi Diproyeksikan Jadi 5,0-5,2 Persen
Dalam kesempatan ini, mantan Managing Director World Bank ini juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tanah air secara keseluruhan pada tahun ini akan berkisar di 5,0-5,2 persen. Target ini jauh lebih rendah dari sebelumnya di mana dalam asumsi makro APBN 2024 pemerintah mematok ekonomi tanah air bisa tumbuh di level 5,2 persen.
Hal tersebut bukanlah tanpa alasan. Pasalnya, perekonomian dunia kata Menkeu Sri masih cenderung stagnan bahkan melemah. Selain itu situasi dan kondisi geopolitik, serta kebijakan fiskal dan moneter yang ketat dari berbagai negara maju pasti berimbas pada negara-negara di emerging market termasuk Indonesia.
“Proyeksi untuk semester-II dari pertumbuhan ekonomi kita memperkirakan pada kisaran 5,0-5,2 persen sehingga outlook untuk keseluruhan tahun ini di 5,0-5,2 persen. Ini masih mendekati dari asumsi pertumbuhan ekonomi di APBN yang 5,2 persen,” jelasnya.
Ekonom Nilai Defisit APBN Masih Aman, Serukan Pemerintah Gali Carbon Tax
Diwawancarai oleh VOA, ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan dengan defisit APBN secara keseluruhan yang cenderung diperkirakan melebar dari yang sudah ditargetkan yakni 2,7 persen masih cenderung aman, mengingat masih sesuai dengan UU APBN yaitu terjaga di bawah tiga persen dari PDB.
Namun, pemerintah kata Josua harus menaruh perhatian serius terhadap penerimaan negara yang dari waktu ke waktu cenderung lesu. Seiring berjalannya waktu, hal tersebut tentu bisa berdampak tidak baik pada pengelolaan anggaran negara di masa yang akan datang.
“Saya surprise bahwa ini (perkiraan defisit) di atas 2,5 persen. Tetapi kalau kita melihat pada benchmarking tiga persen terhadap GDP berarti masih manageable. Lalu juga dari sisi dampaknya juga debt pemerintah sebenarnya masih tetap manageable,” ungkap Josua.
“Tetapi tadi yang perlu kita lihat lagi adalah pemerintah mau gak mau penerimaannya harus take it seriously artinya, kalau belanjanya mau besar terus tetapi pendapatannya tidak ditingkatkan ya defisitnya akan terus membengkak. Artinya kekhawatiran dari rating agency beberapa waktu yang lalu yang bilang akan ada risiko fiskal pemerintah, ini memang akan bisa meningkat. Jadi pemerintah harus meningkatkan dari sisi penerimaan pajak agar lebih sustain lagi ke depannya,” tambahnya.
Josua menjelaskan, pemerintah bisa menggali potensi sumber penerimaan pajak yang masih belum dioptimalkan dengan baik seperti salah satunya carbon tax. Selain itu, pemerintah juga harus bisa memperbaiki administrasi perpajakan dengan baik seperti mengkoneksikan KTP menjadi NPWP. Dengan begitu sasaran pajak dari sisi individu akan bertambah lagi.
Sumber-sumber penerimaan pajak dari kalangan masyarakat kelas atas, kata Josua juga belum dimaksimalkan dengan baik. Ia melihat pemerintah saat ini cenderung hanya menyasar kelas menengah untuk menarik pajak seperti pemungutan gaji untuk tapera yang menimbulkan berbagai kontroversi.
“Juga mencari sumber-sumber perekonomian yang baru, jangan hanya kepada yang non renewable energy saja, karena itu akan mempengaruhi juga sustainability dari pajaknya juga. Tetapi kalau kita punya sumber ekonomi baru, misalnya manufacturing kah, atau digital economy atau optimalisasi dari carbon tax yang sudah ada, saya pikir penerimaan pajak kita akan jauh lebih resilien dan sustain ke depannya,” tegasnya.
Terkait target pertumbuhan ekonomi yang dipatok 5,0-,5,2 persen, menurutnya juga masih masuk akal. Namun, ia menggarisbawahi dengan kondisi dan situasi yang masih diliputi ketidakpastian, keseluruhan pertumbuhan ekonomi tanah air pada tahun ini akan cenderung berada pada batas bawah daripada target tersebut.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah