Matinya Warung Tetangga dan Solusinya

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto. (Foto: RMOL)

Oleh Suroto

KOPERASI Indonesia Baru yang dirintis oleh dua jurnalis kampiun Dandhy Laksono dan Farid Gaban baru saja merilis satu film dengan judul Warung Tetangga yang disutradarai oleh dua anak muda Benaya Harobu dan Yusuf Priambodo. https://www.youtube.com/watch?v=X3Vv85AZfwo

Film tersebut menceritakan bagaimana dominasi duopoli usaha ritel modern berjaringan terutama Alfamart dan Indomaret dalam menguasai pangsa pasar ritel di Indonesia dan dampaknya bagi usaha ritel tradisional yang diusahakan sebagai usaha rumah tangga selama ini.

Usaha ritel Indomaret yang dirintis  sejak 1988 ini terafiliasi dengan Indoritel Makmur Internasional (DNET) memiliki lebih dari 19.000 gerai yang tersebar hingga pelosok negeri. DNET tergabung dalam Grup Salim yang dimiliki oleh Anthony Salim yang memegang saham terbesar di Indomaret mencapai 40 persen.

Sementara itu, Kwok Kwie Fo atau Djoko Susanto adalah pemilik dari Alfamart dan Alfamidi yang dirintis tahun 1987 yang kemudian berkembang di bawah PT Sumber Alfaria Trijaya pada 18 Oktober 1999. Gerainya sudah lebih dari 17 ribu outlet di seluruh Indonesia.

Dari dua toko modern berjaringan ini diceritakan dalam film, hingga saat ini sudah ada 37 ribu lebih toko. Dimana artinya jika dihitung rata rata, dapat dikatakan di setiap dua desa di Indonesia sudah ada satu usaha ritel modern ini.

Usaha ritel modern jaringan ini jelas sekali dampaknya terhadap keberadaan ritel tradisional. Diceritakan dalam film bahwa banyak toko tradisional yang akhirnya tutup dan hilang mata pencaharian.

Usaha untuk menekan laju duopoli usaha ritel itu tentu mendapat tentangan dari para pemilik toko tradisional. Namun mereka tak berdaya menghadapi izin yang diberikan oleh para pejabat. Para pejabat yang korup tetap berikan izin kepada mereka.

Ketika jumlah ritel modern jaringan itu sudah terang dibatasi jumlahnya melalui Peraturan Menteri Perdagangan, tapi peraturan itu hanya jadi semacam macan kertas. Di lapangan yang terjadi hanya diganti dengan papan nama yang sebut nama toko lokal, tapi di dalamnya semuanya tetap berisi Alfamart dan Indomart. Bahkan dari desain interior dan eksteriornya pun tetap tunjukkan ciri yang sama.

Toko Koperasi NTUC Singapura

Monopoli dari dua toko modern di atas tentu tak dapat dilawan ketika pejabat yang harusnya melindungi kepentingan rakyat menjadi mudah disogok pengusaha. Cara melawannya tentu tak bisa diserahkan kepada pejabat yang korup. Salah satu cara melawannya kita dapat belajar dari Singapura yang dirikan toko koperasi konsumen.

Singapura yang memiliki 5 juta lebih penduduk itu telah terbukti sukses melawan monopoli atau duopoli usaha ritel. Negara dengan jumlah penduduk 5,31 juta jiwa telah berhasil melindungi rakyatnya dengan dirikan toko koperasi yang dapat dimiliki secara terbuka tokonya oleh seluruh masyarakat Singapura. Pejabatnya tidak banyak pidato tentang ekonomi kerakyatan tapi langsung mempraktikkanya. Satu merek toko koperasi NTUC Fair Price saat ini sudah kuasai 60 persen lebih pangsa pasar ritel di negara ini.

NTUC Fair Price tidak hanya berupa jaringan minimarket yang masif di seluruh negeri, tapi  juga supermarket, hingga hipermarket. Bahkan usahanya sudah meluas ke asuransi dengan nama NTUC Income dan bisnis konstruksi, perhotelan, makanan, media, transportasi, logistik dan usaha sosial seperti sekolahan, klinik dan lain lain.

Dua Koperasi mereka yaitu Koperasi Konsumen NTUC Fair Price dan Koperasi Asuransi NTUC Income bahkan masuk jajaran 300 koperasi besar dunia yang dirilis International Cooperative Alliance (ICA) kerjasama dengan koperasi lembaga reset Euricse. Dimana tak satupun koperasi kita dari Indonesia yang masuk di dalamnya.

Koperasi itu didirikan atas inisiatif pemerintah dan para aktivis organisasi buruh National Trade Union Congress (NTUC) yang memiliki pengaruh cukup kuat dalam pemerintahan. Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew membuka toko pertama sekaligus meresmikan koperasi yang berdiri pada tahun 1973.

Koperasi NTUC Fair Price didirikan saat terjadi krisis minyak dan inflasi tinggi serta merajalelanya kartel kapitalistik yang mencekik kehidupan para pekerja di Singapura awal tahun 1970-an. Misi awalnya adalah meringankan biaya hidup para pekerja dan justru semakin kuat dengan keanggotaan terbuka bagi seluruh warga Singapura.

Saat ini, koperasi itu telah dimiliki oleh sekitar 1,5 juta masyarakat Singapura. Siapa pun dapat menjadi anggota sekaligus pemilik koperasi dengan setiap anggota memiliki hak suara yang sama. Setiap anggota punya hak dalam menentukan kebijakan perusahaan melalui Rapat Anggota Tahunan. Di dalam forum tertinggi itu mereka menentukan siapa pengurus dan manajemen hingga kebijakan umum apa yang dipentingkan untuk kebaikan bersama dan juga pembagian sisa hasil usaha (SHU) yang diperoleh dari aktivitas transaksi mereka dengan prinsip siapa yang belanja lebih banyak berhak mendapatkan SHU lebih banyak.

Mereka menaruh nilai demokrasi koperasi sebagai alat ukurnya dan memberikan pelayanan maksimal dengan slogan “serve with heart”. Mereka juga aktif mengkampanyekan isu lingkungan dan praktik pencegahan pemanasan global. Mereka jadikan perusahaan koperasi mereka sebagai tempat yang terbaik untuk berbelanja, bekerja dan baik bagi warga negara. NTUC Fair Price tidak hanya telah jadi tempat belanja yang nyaman, namun telah ciptakan demokrasi di tempat kerja.

NTUC Fair Price dibangun dengan melibatkan partisipasi masyarakat terutama para pekerja untuk aktif mencari solusi kehidupan secara bersama. Hasilnya, NTUC Fair Price tumbuh dan berkembang pesat sebagai entitas bisnis mandiri yang dimiliki masyarakat secara luas. Menciptakan pekerjaan dan kemakmuran bersama.

Pemerintah Singapura menunjukkan komitmennya yang tinggi dengan berikan pembebasan pajak pada koperasi dan termasuk kepada NTUC Fair Price. Kebijakan pembebasan pajak bagi koperasi ini pernah diprotes oleh pengusaha swasta kapitalis. Namun, pemerintah menjawabnya dengan sangat mudah, kalau mau mendapat pembebasan pajak mereka harus berubah jadi koperasi.

Argumentasi pemerintahnya yang berpihak pada rakyat banyak jelas,  pajak adalah untuk tujuan mencapai keadilan, sedangkan koperasi telah mejalankan fungsi keadilan tersebut dalam sistemnya. Dimana koperasi telah lakukan distribusi pendapatan dan kekayaan. Sehingga pemerintah menganggap pembebasan pajak untuk koperasi adalah merupakan hak moral dan mereka pantas untuk mendapatkanya.

Warung Koperasi

Kita sebetulnya bisa mencontoh Koperasi NTUC Fair Price. Caranya adalah setiap warung warung kecil itu mengadakan persatuan dalam sebuah koperasi dan melakukan pembelanjaan bersama. Keuntungan dari grosir koperasi setelah dipotong biaya biaya operasional lalu dibagi lagi ke anggotanya para pemilik warung. Sebagianya lagi disisakan jadi cadangan untuk perkuat jaringan. Seperti misalnya biayai pendidikan dan pelatihan, riset dan pengembangan bisnis dan lain lain.

Selain Koperasi para pemilik warung itu, orang orang pribadi sebetulnya yang berada di sstu komunitas atau kantor serta pabrik tempat mereka bekerja juga dapat merintis toko koperasi konsumen tersebut. Sistem pembagian keuntungannya adalah didasarkan pada prosentase besarnya investasi dan belanja  mereka.

Siapa yang belanja lebih banyak mendapat pembagian keuntungan lebih banyak. Kemudian merekrut pelanggan baru dari luar komunitas dan kantor serta pabrik mereka agar semakin membesar. Persis seperti yang dilakukan oleh koperasi di Singapura  dan juga koperasi konsumen besar lainya di negara lain seperti I COOP di Korea, JCCU (Japanesse Consumer Cooperative Union) di Jepang, Eroski di Spanyol, Cooperative Forbundet di Swedia dan lain sebagainya.

Kita memang tidak bisa berharap pada siapapun kecuali pada diri sendiri. Apakah ada yang mau coba?*

Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)