Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Penembakan Aktivis HAM Papua

Para aktivis membawa poster-poster saat berdemo untuk menarik perhatian kepada isu HAM Papua, di depan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, di tengah kunjungan Raja Belanda Willem-Alexander, 12 Maret 2020. (Foto: AFP)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Yan Christina Warinussy ditembak orang tak dikenal saat keluar dari sebuah bank di Manokwari Barat, Papua, pada Rabu (17/7) sekitar pukul 16.00 WIT. Sejumlah lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang memprotes insiden penembakan itu, menilai kejadian tersebut sebagai serangan serius terhadap para pembela HAM, terutama yang berada di daerah-daerah sangat terpencil,

“Ini yang menjadi pertanyaan. Pertama profil Yan itu bukan orang yang biasa. Selain berangkat sebagai orang asli Papua, Yan juga adalah seorang pembela hak asasi manusia berprofesi advokat yang artinya mendampingi ratusan korban pelanggaran hak asasi manusia di Papua selama puluhan tahun,” papar Ketua Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, yang merupakan bagian dari koalisi itu.

“Profil itu tidak dipisahkan dari situasi pelanggaran HAM di Papua secara terstruktur dan sistematis oleh aparat TNI dan Polri. Oleh karenanya tidak bisa pula dilepaskan dari kasus-kasus yang sedang ditangani oleh Yan,” imbuhnya.

Peran Negara

Menurut Julius Ibrani, kejadian ini tidak dapat dipisahkan dari absennya negara melindungi pembela HAM di Tanah Air. Pasalnya, serangan kepada pembela HAM yang berusaha melindungi hak-hak mereka sendiri atau orang lain seperti ini terjadi secara berulang. Berdasarkan Data yang dihimpun oleh Amnesty International Indonesia (AII) pada 2023, serangan terhadap Pembela HAM di Papua merupakan yang terbanyak, yakni 103 orang.

Serangan terhadap Pembela HAM Meningkat

Berdasarkan catatan Aliansi Demokrasi untuk Papua (AIDP) setidaknya terdapat empat kasus serangan terhadap pembela HAM yang meliputi serangan fisik dan non fisik; seperti terhadap Anum Siregar, (Alm) Yuliana Yabandabra, Victor Mambor, dan Theo Hesegem. Serangan-serangan tersebut tidak pernah diungkap secara serius oleh Kepolisian, bahkan tidak jarang terdapat beberapa laporan serangan Pembela HAM yang dihentikan penyidikannya.

Oleh karena itu, kata Julius, koalisi tersebut mendesak kepala kepolisian untuk memberikan atensi yang serius dengan dan mengusut tuntas peristiwa ini berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara transparan.

“Banyak serangan terhadap pembela HAM yang selama ini terjadi di Papua, berlangsung secara sistematis dan berulang,” katanya.

Komnas HAM Dorong Penegakkan Hukum yang Transparan

Dalam suatu penyelidikan terpisah yang dilakukan secara independen dan transparan, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan baru memperoleh informasi awal yang umum.

“Berdasarkan informasi tersebut, korban mengalami luka lecet pada dada bagian kanan akibat peluru yang diduga berasal dari senapan angin. Korban juga telah melaporkan peristiwa tersebut kepada Polresta Manokwari dan diberikan rujukan visum ke RSUD Manokwari, Selanjutnya korban kembali di rujuk ke RSUD Provinsi Papua Barat untuk mendapatkan perawatan. Komnas HAM akan terus memantau perkembangan penanganan laporan tersebut maupun kondisi korban” ujarnya.

Ditambahkannya, Komnas HAM mendorong proses penegakan hukum yang cepat, transparan, adil dan profesional oleh pihak kepolisian; dan mendesak jaminan perlindungan terhadap masyarakat sipil yang melakukan advokasi dan berkontribusi terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia atau pembela HAM.

Ketika ditanya apakah Komnas HAM akan melakukan penyelidikan atas kasus tersebut dan membentuk tim pencari fakta mengingat kasus serangan terhadap pembela HAM sudah berulang kali terjadi di Papua, Atnike tidak menjawabnya.

Hingga laporan ini diturunkan, pihak kepolisian belum menanggapi pertanyaan VOA atas kasus ini.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah