J5NEWSROOM.COM, Paris – Isu pelarangan hijab menjadi salah satu kontroversi sosial yang terjadi di tengah perhelatan Olimpiade Paris 2024.
Larangan ini menjadi perdebatan yang luas karena para atlet dari berbagai negara bersiap untuk berkompetisi, mewakili identitas dan nilai-nilai mereka.
September tahun lalu, Menteri Olahraga Prancis Amelie Oudea-Castera menyatakan bahwa pemerintah menentang tampilan simbol agama apapun selama acara olahraga.
“Tim Prancis tidak akan mengenakan jilbab,” tegasnya.
Keputusan itu menyusul keputusan Menteri Pendidikan Gabriel Attal yang menetapkan bahwa jilbab dan abaya yang biasa dikenakan umat muslim dilarang digunakan di sekolah atau perguruan tinggi.
Juru bicara kantor hak asasi manusia PBB Marta Hurtado mengkritik keputusan tersebut sebagai tindakan yang diskriminatif.
“Tidak seorang pun boleh memaksakan pada seorang perempuan apa yang boleh atau tidak boleh ia kenakan,” tegasnya, seperti dikutip dari Al Mayadeen pada Minggu (21/7/2024).
Lebih lanjut, Amnesty Internasional melontarkan kritikan serupa. Khususnya pada Komite Olimpiade Internasional (IOC)yang gagal menekan Prancis untuk mencabut larangan hijab.
Padahal non-diskriminasi merupakan salah satu pilar utama yang tercermin dalam Piagam Olimpiade, Prinsip Dasar 6:
“Penikmatan hak dan kebebasan yang digariskan dalam Piagam Olimpiade ini harus dijamin tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran atau status lainnya,” bunyi piagam tersebut.
Namun, meski ada sikap resmi ini, IOC menolak menekan otoritas Prancis untuk mencabut larangan tersebut.
Larangan ini jelas merupakan pelanggaran terhadap kebebasan individu untuk menjalankan agama secara terbuka, sesuatu yang diklaim oleh masyarakat sekuler dan demokratis seperti Perancis.
Slogan “Liberté, égalité, fraternité” sepertinya hanyalah kata-kata kosong yang tidak menjangkau seluruh warga negara.
Menurut laporan Amnesty, setelah adanya surat dari organisasi-organisasi yang mendesak IOC untuk mengambil tindakan, organisasi tersebut mengklaim bahwa pelarangan di Perancis berada di luar cakupannya.
“Kebebasan beragama ditafsirkan dengan berbagai cara oleh negara-negara yang berbeda,” ungkap IOC.
Pelarangan jilbab dapat berdampak pada partisipasi atlet dalam olahraga, dan berpotensi membatasi kesempatan bagi perempuan Muslim yang memilih untuk memakainya.
Kurangnya keberagaman dan keterwakilan ini tentu akan mempengaruhi cara orang tua Muslim memandang pentingnya adat istiadat mereka dan bagaimana hal tersebut dapat menghambat masa depan anak-anak mereka.
Perancis secara historis lebih sekuler dibandingkan negara-negara Eropa lainnya. Yang membedakan pendekatannya terhadap Islam adalah biasnya yang berakar pada agama Kristen.
Para pemimpin seperti Marine Le Pen dari Front Nasional menegaskan bahwa Islam merupakan ancaman terhadap fondasi Kristen di Perancis.
Pada bulan Juni 2024, Komisi Konsultasi Nasional Hak Asasi Manusia merilis laporan tahunannya tentang rasisme di Prancis, yang menunjukkan bahwa insiden rasis meningkat dari 1.636 pada tahun 2022 menjadi 3.139 pada tahun 2023.
Sumber: RMOL
Editor: Agung