Oleh Shamsi Ali Al-Kajangi
RENCANA Pilpres Amerika kali ini kembali mengejutkan, bahkan mencatat sejarah baru. Biden sebagai capres dari Partai Demokrat incumbent secara resmi mengundurkan diri dari pencalonan presiden Amerika untuk periode kedua.
Hal ini terjadi setelah beberapa hari terakhir sebagian pembesar Partai Demokrat, baik di senate maupun kongress, bahkan beberapa Gubenur dan Walikota dari partai itu menginginkan Presiden Biden untuk tidak maju pencapresan untuk periode kedua.
Ada beberapa alasan kenapa sebagian petinggi partai menginginkan Biden untuk tidak maju. Selain karena memang poling-poling yang ada menunjukkan jika Trump berada di posisi yang kemungkinan terpilihnya jauh lebih besar. Apalagi setelah debat capres pertama di mana performa Biden sangat mengecewakan kepada pendukungnya. Tapi yang lebih penting lagi adalah masalah umur dan kesehatan yang sangat rawan. Tanda-tanda dimensia Biden sangat jelas dalam beberapa kali kesempatan.
Presiden Biden mundur dari pencalonan sekaligus mengumumkan dukungannya (endorsement) kepada wakilnya Kamala Haris. Memang salah satu calon kuat untuk maju menggantikan Capres Biden adalah Kamala Haris. Apalagi dalam posisinya sebagai Wakil Presiden dan Cawapres Biden untuk priode kedua.
Walaupun belum ada keputusan resmi petinggi Demokrat memberikan dukungannya kepada Kamala Haris. Namun 79 persen pemilih Denokrat memilih Kamala untuk jadi Capres Partai ini. Bahkan dalam masa kurang dari 24 jam Kamala berhasil menggalang dana lebih $81 juta. Karena diperkirakan pencalonan Kamala hanya menunggu formalitas melalui convensi Patai.
Karenanya dapat dlikatakan bahwa Kamala Haris akan maju menggantikan Joe Biden dalam pilpres mendatang melawan mantan Presiden Donald Trump. Pertanyaannya, berapa besar peluang Kamala Haris untuk memenangkan pertarungan ini? Dan yang terpenting pula bagi warga imigran, khususnya lagi Komunitas Muslim, kira-kira apa aspek “positif dan negatifnya” untuk mendukung Kamala Haris dalam pertarungan pilpres mendatang?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu tidak mudah dijawab. Karena memang politik di Amerika, apalagi jika itu bersentuhan dengan kepemimpinan negara (Presiden dan Wapres) pastinya selalu terkontrol oleh “hidden power” Atau “hidden player” yang hampir menentukan warna kebijakan yang akan diambil oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Apalagi jika hal itu bekaitan dengan urusan luar negeri. Bahkan kita ketahui isu Palestina-Israel dari dulu hingga saat ini, siapapun Presiden yang terpilih akan membawa warna yang sama.
Kamala Haris memang dalam sepak terjang politik dan kebijakan publiknya cukup baik dan inklusif. Baik di saat menjadi Hakim Tinggi California, Senator US, hingga pada posisinya sebagai Wakil Presiden Biden. Keberpihakannya kepada warga imigran, warga kulit non putih, dan masyarakat mustadh’afin (lemah) cukup baik. Hal itu karena Kamala sadar diri dan tahu sejarah. Bahwa kedua orang tuanya juga adalah imigran. Ibu pendatang dari India dan ayahnya dari Jamaica.
Sebagai putrì imigran saya kira sedikit banyaknya berpengaruh pada cara pandangnya terhadap bangsa Amerika. Apalagi dengan pengalamannya sebagai Hakim Tinggi sebelum menjabat sebagai Senator Amerika sangat menguatkan harapan bahwa pembelaan kepada hak-hak minoritas, termasuk Komunitas Muslim lebih optimis. Hal ini menjadi sangat penting mengingat lawannya di pertarungan pilpres ini (Donald Trump) memang rasis dan anti imigran, khususnya imigran Muslim.
Namun demikian, sekali lagi ketika telah berhubungan dengan kebijakan Timur Tengah, khususnya Palestina-Israel, saya tidak terlalu percaya dan optimis. Selain karena seperti yang telah disebutkan di atas (hidden power control), juga karena suami Kamala Harus juga adalah seorang Yahudi. Walaupun saya belum bisa memastikan apa dia adalah Yahudi Zionis atau bukan. Namun pada umumnya Yahudi yang berada pada level tinggi di pemerintahan Amerika adalah zionis atau minimal pendukung zionis.
Pada tataran ini Komunitas Muslim Amerika sangat berhati-hati daam menimbang (mengkalkulasi) kedua kandidat ini. Jika Kamala Haris bersuamikan Yahudi. Kita kenal Donald Trump juga memiliki anak menantu yang sangat zionis, Jared Kushner, yang dulu menjadi Representative Presiden Trump untuk Timur Tengah. Diakuinya Jerusalem sebagai Ibukota Israel dan dipindahkannya Kedutaan Amerika ke Jerusalem tidak lepas dari keterlibatan Jared Kushner.
Maka dengan mempertimbangkan dua kepentingan; domestic dan global, Komunitas Muslim akan menentukan sikap terhadap pilpres Amerika ke depan. Apakah dengan mundurnya Biden Komunitas Muslim akan merubah pikiran dari tidak mendukung? Atau dengan majunya Kamala Haris sebagai capres dari Partai Demokrat Komunitas Muslim akan memberikan dukungan untuk meminimalisir kemungkinan kembalinya Trump yang anti imigran dan anti Muslim?
Dengan mundurnya Biden dari pencalonan ini memang ada tiga kemungkinan pilihan yang akan diambil oleh Komunitas Muslim. Satu, tetap pada pendirian untuk tidak memilih di antara dua kandidat (Kamala Haris atau Donald Trump).
Dua, mempertimbangkan mendukung Demokrat atas pertimbangan kepentingan domestik. Tiga, ada suara-suara kecil yang mempertimbangkan mendukung Donald Trump atas dasar pertimbangan keamanan dunia global (Trump tidak terlalu berambisi mendominasi dunia).
Apapun keputusan yang akan diambil oleh Komunitas Muslim, tentunya didasarkan pada kalkulasi-kalkukasi yang matang. Komunitas Muslim di Amerika punya pengalaman panjang dan paham bahwa politik memang bukan permasalahan yang bersifat hitam putih. Tapi penuh dengan abu-abu bahkan ketidak jujuran. Karenanya politik perlu disikapi dengan pertimbangan matang dan luas. Tetap konsisten dengan pronsip. Tapi perlu membuka pandangan luas untuk melihat kepentingan-kepentingan praktis.
Let’s see in a few days ahead!
Jamaica City, 22 Juli 2024
Diaspora Indonesia di Kota New York Amerika Serikat. Naskah ini dikirim via japri oleh penulis ke J5NEWSROOM.COM, Selasa, 23 Juli 2024