J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Kalangan pengusaha nikel tanah air mengkhawatirkan janji politik Donald Trump, calon presiden dari Partai Republik, yang menyatakan jika terpilih menjadi presiden, ia akan mencabut kewajiban bagi perusahaan-perusahaan otomotif untuk memproduksi kendaraan listrik yang digariskan pemerintahan presiden yang berkuasa saat ini, Joe Biden.
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey kemenangan Trump — jika terealisasi — menang akan berimplikasi terhadap harga nikel secara global.
“Statement-nya Donald Trump menyampaikan hal ini. Dan pasti akan berdampak, yakin berdampak banget. Katanya, ’Jika menang pilpres saya akan mencabut mandat kendaraan listrik.’ Ini akan berdampak besar meski tidak terlalu signifikan terhadap industri mikro dan industri otomotif konvensional akan tetap berjalan. Hal ini pasti akan berdampak pada harga nikel,” ungkap Meidy yang ditemui di Kementerian Keuangan, Senin (22/7).
Sebagaimana diketahui, Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA) mengeluarkan peraturan baru yang membatasi polusi knalpot dengan sangat ketat sehingga akan memaksa produsen-produsen kendaraan untuk menjual lebih banyak model listrik dan hibrida seiring berjalannya waktu.
EPA, di bawah pemerintahan Presiden Biden, bahkan mengusulkan mandat de facto yang mengharuskan dua pertiga dari semua kendaraan baru harus bertenaga listrik pada tahun 2032.
Meidy tidak bisa memprediksi berapa penurunan harga nikel apabila kelak Trump menjadi presiden dan menjalankan kebijakannya. Namun ia bisa memastikan bahwa konsumsi nikel secara global akan cenderung turun.
Meski begitu, ia memperkirakan Trump tidak akan secara langsung menghapus kebijakan wajib produksi kendaraan listrik ketika terpilih, mempertimbangkan manfaat besar yang bisa diperoleh negaranya.
“Tapi ke depannya dia akan pasti mengikuti green energy, mau tidak mau. Wajib, tinggal konsep dan sistemnya seperti apa, pengusahanya tetap nyaman, pengusahanya tetap mendapat keuntungan, tetap berusaha, tapi tidak menyampingkan green energy,” jelasnya.
Ia juga menduga, pernyataan Trump tersebut dipicu oleh pasar kendaraan listrik yang masih dikuasai oleh Tiongkok. Meidy mengatakan, bukan tidak mungkin perang dagang antar kedua negara tersebut akan semakin sengit.
Meidy mengaku tetap optimistis bahwa ekosistem kendaraan listrik akan berkembang ke depannya. Menurutnya, Indonesia bisa menggandeng negara lain ketika terjadi perang dagang antara Amerika Serikat dengan China dalam industri kendaraan listrik ini.
“Kalau pun terjadi perang dagang antara Amerika dan China, ngapain kita ikut campur? Kita cari market lain lagi. kan negara banyak bukan cuma Amerika, ada Eropa, Asia yang lain juga masih banyak,” tambahnya.
Dalam kesempatan ini, Meidy juga tidak menampik bahwa industri nikel tanah air masih mengalami berbagai tekanan. Mulai dari oversupply nikel di dalam negeri hingga kritikan Eropa yang menyebut nikel yang diprosuksi Indonesia sebagai “dirty nickle”.
Penilaian Eropa ini merujuk pada bisnis nikel di Indonesia sedang booming, namun keberhasilannya memiliki sisi gelap. Tambang dan pabrik pengolahan komponen kunci dalam aki mobil listrik itu mempunyai sejarah kecelakaan fatal, seperti sejumlah pekerja yang tertabrak forklift dan terbakar hingga tewas dalam kebakaran di pabrik peleburan.
“Dengan kondisi oversupply ini, kami berharap pemerintah segera merilis aturan moratorium untuk tidak mengundang lagi investasi pirometalurgi. Kita harus mendukung industri yang sudah ada, tetapi tetap mengundang teknologi hidrometalurgi untuk menjaga cadangan kita,” tambahnya.
Tantangan Lain
Presiden Joko Widodo pada pekan lalu masih berambisi bahwa Indonesia yang merupakan salah satu negara penghasil nikel terbesar di dunia kelak bisa menguasai 85 persen pasar kendaraan listrik. Hal tersebut disampaikannya usai melakukan kerja sama hilirisasi nikel dengan Uni Emirat Arab (UEA).
“Kerja sama mengenai nikel yang dimulai dari hulu sampai hilir, dari pertambangan kemudian di HPAL, katod, prekursor, EV baterai dan juga EV-nya, dan itu kerja sama UEA-Indonesia dan nanti ada 2 negara lagi yang baru kita dekati. Saya kira kalau ini berhasil kita harapkan bisa menguasai pasar 80-85 persen pasar dunia. Itu yang kita harapkan,” ungkap Jokowi.
Ambisi pemerintah untuk menguasai pasar kendaraan listrik dunia diragukan oleh sejumlah pakar.
Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira mengungkapkan saat ini sudah banyak alternatif bahan utama selain nikel yang bisa digunakan untuk baterai kendaraan listrik, termasuk diantaranya lithium ferro-phosphate (LFP) dan sodium. Hal ini, kata Bhima. menjadikan kebutuhan terhadap nikel dalam jangka panjang untuk kendaraan listrik sangat mungkin bisa menyusut dan bisa lebih rendah dari proyeksi kebutuhan awal.
Selain itu, kata Bhima, investor dalam kendaraan listrik ini kerap mempertanyakan konsistensi kebijakan pemerintah dalam mengembangkan ekosistem kendaraan listrik ini.
“Ini beberapa pabrikan kendaraan listrik yang sudah membuat pabrik ekosistem baterai ini sebagian agak kecewa, karena ternyata pemerintah memperbolehkan atau memberikan insentif untuk impor kendaraan CBU (completely built up) atau mobil listrik jadi. Sehingga dianggap buat apa bangun pabrik di Indonesia kalau bisa melakukan importasi dengan lebih mudah,” ungkap Bhima.
Permasalahan sosial dan dampak lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel juga masih menjadi tantangan yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Ia mencontohkan batalnya dua investor asal Eropa, BASF SE dan Eramet SA, dari proyek smelter nikel hidrometalurgi Sonic Bay di Teluk Weda, Maluku Utara.
Menurutnya, hengkangnya dua investor ini harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola industri ekstraktif khususnya yang terkait dengan hilirisasi nikel agar bisa sesuai dengan kebutuhan pasar internasional.
“Sementara di negara ekspor di luar dari Tiongkok, ada Amerika yang mulai memperketat aturan soal sumber bahan baku yang ramah lingkungan, kemudian ada Eropa dengan aturan carbon border adjustment mechanism (CBAM), kemudian EU Critical Mineral Act yang kemudian mengatur asal sumber bahan baku untuk baterai kendaraan listrik atau mineral kritis harus diambil dari sumber-sumber yang bertanggung jawab secara lingkungan dan sosial,” katanya.
“Jadi ESG (Environmental, Social and Governance) menjadi sebuah dasar yang semakin penting, karena dari sisi pembiayaan akan semakin menantang ke depan. perusahaan-perusahaan yang menghiraukan ESG atau standar lingkungan hidup makin terbatas sumber pembiayaannya karena perbankan dan lembaga keuangan global itu menargetkan perusahaan yang memiliki standarisasi yang lebih ketat,” tambahnya.
Aktivis Lingkungan dari Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Fanny Tri Jambore memperingatkan pemerintah akan dampak lingkungan yang dihasilkan dari eksplorasi masif mineral kritis seperti nikel dalam jangka panjang.
Berdasarkan catatan yang dimiliki WALHI, dari satu juta hektare konsesi pertambangan nikel yang diberikan oleh pemerintah, 700 ribu hektare di antaranya berada di — atau mencakup — kawasan hutan.
“Kalau tren seperti ini dilanjutkan, pembukaan kawasan pertambangan pada wilayah penting seperti kawasan hutan, turunannya akan sangat mengkhawatirkan karena kita tahu kawasan hutan memiliki berbagai fungsi sebagai wilayah resapan air, wilayah perlindungan dari kebencanaan, karena dia bisa menahan laju air untuk tidak terbuang ke permukaan. Jadi, kalau fungsi-fungsi dari kawasan hutan itu hilang akibat untuk pertambangan nikel, kebencanaan juga pasti akan naik,” katanya.
Selain dampak lingkungan, ancaman atau kriminalisasi terhadap masyarakat di sekitar wilayah pertambangan nikel juga semakin mengkhawatirkan.
Lantas kemudian, apakah aktivitas pertambangan mineral kritis ini bisa berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan? Fanny menjawab, hal tersebut bergantung pada pada kemauan politik pemerintah. Berdasarkan kebijakan pemerintah saat ini, WALHI menilai pemerintah berambisi membuka seluruh potensi dari cadangan mineral untuk kemudian dikembangkan.
“Sebenarnya pemerintah tahu seluruh proses pertambangan itu pasti mengakibatkan dampak, sehingga izin menjadi mekanisme untuk melakukan pembatasan, pengendalian dan perlindungan. Tidak semua tempat dan tidak semua orang boleh melakukan pertambangan. Tidak semua tempat artinya harus ada tempat-tempat yang tidak boleh dibuka untuk kawasan pertambangan seperti kawasan hutan, pesisir, mangrove harusnya tidak diberikan untuk konsesi pertambangan. Tetapi begitu dorongannya adalah ambisi ekstraktif, maka tidak pandang bulu, seluruh wilayah yang penting secara ekologis kemudian diberikan izin pertambangan,” pungkasnya.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah