J5NEWSROOM.COM, Sulawesi Tengah – Dalam rentang 2017-2021, deforestasi di pulau-pulau kecil di Indonesia telah mencapai 318,6 ribu hektare – atau 79,65 ribu hektare per tahun – yang berarti setara dengan tiga persen dari laju deforestasi nasional. Deforestasi itu mencakup 245 ribu hak konsesi tambang nikel, tembaga, bijih besih, emas, mangan dan lainnya yang mengkapling 242 pulau kecil di Indonesia. Deforestasi di dalam konsesi tambang di pulau-pulau kecil mencapai 13,1 ribu hektare.
Hal mencemaskan ini disampaikan Manager Kampanye, Advokasi dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Prayoga, dalam suatu diskusi baru-baru ini.
“Sisa hutan alam di pulau kecil sampai saat ini atau setidaknya sampai data yang kami sediakan itu di tahun 2021 itu ada 3,5 juta hektar atau hampir dari 50 persen pulau kecil di Indonesia itu masih memiliki tutupan hutan di situlah mengapa FWI memiliki concern terhadap pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia,” kata Anggi.
Selain itu masih terdapat 4,42 juta hektare area di pulau-pulau kecil berstatus kawasan hutan negara yang dapat menjadi pintu masuk izin konsesi tambang, hak pengusahaan hutan (HPH), perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI).
FWI mencatat luas konsesi di pulau-pulau kecil terbagi atas HPH seluas 309 ribu hektare, HTI sebanyak 94 ribu hektare, kebun 194 ribu hektare dan tambang 244 ribu hektare, selain itu juga terdapat tumpang tindih izin konsesi seluas 35 ribu hektare.
Jumlah pulau kecil di Indonesia menurut pendataan FWI berjumlah 19.108 pulau dengan luas mencapai tujuh juta hektare. Sedangkan berdasarkan Gazefer Badan Informasi Geospasial (BIG) tahun 2023 terdapat 17.374 pulau di mana kurang lebih ada 13.400 pulau kecil dan mayoritas tidak berpenghuni.
“Kami menggunakan pendekatan teknologi yang sangat detail dan kami menghitung dengan fokus pada Indonesia Timur yang minim data informasi sehingga ada selisih jumlah pulau kecil antara yang kami lakukan secara inventarisasi sendiri dengan data yang dimiliki oleh pemerintah pusat,” tambahnya.
Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan dua ribu kilometer persegi beserta kesatuan ekosistemnya.
Kerusakan Lingkungan di Pesisir dan Pulau Kecil
Dosen Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo, Sulawesi Tenggara, Sitti Marwah mengungkapkan aktivitas pertambangan melahirkan tragedi ekologis terutama dampak terhadap daerah pesisir dan pulau-pulau kecil di Sulawesi Tenggara yang merugikan masyarakat. Dia mencontohkan akibat sedimentasi di wilayah pesisir Kabupaten Konawe Utara menyebabkan air laut tercemar sehingga menyulitkan nelayan suku Bajo menangkap ikan.
“Sehingga masyarakat di sini untuk memperoleh mata pencaharian sebagai nelayan ini harus melaut jauh keluar untuk bisa mendapatkan ikan itu pun membutuhkan biaya yang besar sehingga tidak semua nelayan untuk mampu eksis ke luar,” ujarnya.
Keberadaan aktivitas tambang juga mendapat penolakan warga Pulau Wowonii di Kabupaten Konawe Kepulauan. Meskipun hanya memiliki luas 867,58 kilometer, di pulau itu terdapat 6 izin usaha pertambangan (IUP).
Jumlah IUP pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2023 berjumlah 176 IUP.
Memberdayakan Nelayan di Pulau Kecil
Dalam diskusi virtual itu, peneliti di Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Anta Maulana Nasution mengatakan pulau-pulau kecil dan pesisir di Indonesia diselimuti begitu banyak masalah, antara lain stagnasi ekonomi, alam yang semakin rusak, orientasi kebijakan pemerintah yang berganti-ganti, serta penangkapan ikan secara ilegal dengan cara-cara yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan.
Ini belum mencakup soal masifnya industri ekstraktif di pulau-pulau kecil yang berimbas pada alam karena alih fungsi lahan, pemutihan karang, sedimentasi, dan limbah laut yang berpengaruh pada stok perikanan yang menipis.
Situasi tersebut akan berujung pada menurunnya kualitas hidup masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil yang kehilangan sumber mata pencaharian mereka sebagai nelayan maupun petani.
“Alam yang semakin rusak, apa dampak ujungnya kalau kita kaitkan dengan manusia, kita kaitkan dengan masyarakat sendiri hasil, produksi yang tidak produktif baik itu perkebunannya pertaniannya apalagi perikanannya, apalagi perikanan sudah ada wilayah tambangnya sudah tinggal menghitung waktu akan menjadi hasil yang sangat-sangat tidak produktif,” kata Anta Maulana yang sepanjang tahun 2015-2023 telah melakukan 17 proyek riset di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ketimbang industri ekstraktif yang merusak lingkungan, investasi perikanan adalah pilihan yang lebih tepat di pulau-pulau kecil sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dalam rantai perikanan nelayan tradisional.
Anta Maulana mencontohkan rantai nilai perikanan di Sangihe dan Talaud dinilai rendah karena ikan tuna dan ikan layang hanya bisa diserap oleh tengkulak dan unit pengolahan ikan setempat yang fasilitas penyimpanannya terbatas. Harga ikan bisa melonjak dua kali lipat bila hasil tangkapan nelayan itu dapat di ekspor langsung ke General Santos, Filipina yang jaraknya hanya berbeda 15 nautical mile dengan Bitung.
“Kalau misalnya di Bitung harganya lagi Rp 60 ribu, di General Santos bisa sampai Rp 110 ribu sampai Rp 120 ribu, sampai dua kali lipat, sehingga misalkan bisa terjadi ekspor langsung di jual ke General Santos akan mendatangkan pertumbuhan ekonomi dua kali lipatnya,” jelasnya.
Ditambahkannya, berdasarkan simulasi perhitungan nilai ekonomi yang dibuatnya, jika dilakukan ekspor langsung ke General Santos untuk dua komoditas unggulan yaitu ikan tuna dan laying, maka Sangihe akan meraih keuntungan Rp 403 miliar per tahun. Jumlah itu akan berlipat ganda menjadi Rp 705 miliar per tahun jika Talaud ikut mengekspor komoditas tuna ikan layang melalui jalur Tahuna, Sangihe.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Agung