J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan rapat pleno terbuka mengenai rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara nasional dan penetapan hasil pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terhadap pemilu anggota DPR pada daerah pemilihan Jawa Timur IV, Banten II, dan Kalimantan Timur.
KPU memastikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai pemenang pemilihan legislatif 2024, dengan memperoleh 25.384.673 suara atau 16,7 persen dari total suara sah nasional (151.793.293). Posisi PDIP disusul oleh Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demorat, dan Parai Amanat Nasional (PAN).
Rapat pleno tersebut digelar KPU setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan 44 dari 297 gugatan sengketa Pileg 2024.
Jumlah parpol di DPR periode 2024-2029 yang lebih sedikit dibandingkan periode sebelumnya, menurut pengamat politik dari Lingkar Madani Ray Rangkuti, bisa dikatakan sebagai penyederhanaan parpol yang dilakukan secara alamiah atau melalui proses elektoral.
“Dengan hanya sisa tujuh partai politik (memiliki kursi di DPR) sekarang ini, kita sudah menuju ke arah penyederhaan partai politik dalam pengertian jumlah dan itu dilakukan melalui proses. Bukan lewat sistem, bukan sesuatu yang dipaksakan,” kata Ray kepada VOA, Senin (29/7).
Meski demikian lanjut Ray, jumlah parpol di DPR yang lebih sedikit itu tidak menjamin akan meningkatkan efektifitas pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Ray mengatakan terpilihnya Prabowo sebagai presiden akan menemui hambatan-hambatan yang serius dalam menjalani roda pemerintahan karena PDIP yang menjadi pemenang Pemilu DPR. Karena itu, dia melihat Prabowo berusaha menggaet partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputeri itu untuk masuk ke dalam pemerintahannya agar efektifitas pemerintahan mendatang dapat berjalan dengan baik.
Menurutnya, Prabowo perlu membentuk koalisi, dan akan menemui kesulitan jika PDIP berada di luar pemerintahan. Dia menilai Prabowo juga bisa menjadi sandera dari partai-partai politik dalam koalisinya. PDIP hingga kini belum menyatakan secara tegas sikapnya apakah akan menjadi oposisi atau tidak.
“Ini soal kemampuan Prabowo nanti mengelola pemerintahannya. Kalaupun dia didukung oleh banyak partai, tidak dengan sendirinya akan efisien, tidak dengan sendirinya akan berjalan dengan langkah yang tepat. Belum tentu,” ujarnya.
Jika PDIP memutuskan menjadi oposisi, lanjutnya, secara tradisi oposisi PDIP kuat.
Dihubungi terpisah, pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli berharap PDIP sebagai pemenang Pileg dapat menjadi oposisi dan tidak bergabung dengan koalisi presiden terpilih. PDIP tambahnya harus konsisten dengan sikapnya selama ini dimana ketika kalah pada pemilih presiden maka partai tersebut akan menjadi oposisi, seperti yang terjadi ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden.
“Namun ada kekhawatiran karena sejarah masa lalu hubungan ibu Megawati dengan pak Prabowo. Mereka pernah jadi capres dancawapres. Bisa aja hubungan seperti itu mempengaruhi sikap dan keputusan PDIP untuk bergabung dalam pemerintah. Kalau PDIP bergabung, harapan kita untuk mekanisme check and balance akan sirna,” ujarnya.
Menjadi oposisi atau penyeimbang, menurut Lili, merupakan keniscayaan dalam demokrasi. Pilihan itu juga merupakan pilihan terhormat dan baik dalam pembangunan demokrasi karena setiap kebijakan pemerintah akan diuji oleh pendapat dan perspektif berbeda.
Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi meminta publik menunggu format, struktur, dan posisi partai pemerintah dan partai yang berada di luar pemerintah setidaknya sampai awal pembentukan kabinet Oktober mendatang. Pasalnya, kata Viva Yoga, tidak menutup kemungkinan anggota Koalisi Indonesia Maju akan bertambah dari partai lain.
Dia tidak setuju dengan kekhawatiran sejumlah pihak bahwa kekuatan koalisi parpol pendukung pemerintah yang besar bisa mengerus fungsi pengawasan DPR. Sebab, fungsi kontrol bukan hanya di luar pemerintahan tapi juga di partai pendukung pemerintah di DPR.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah