Oleh Nurjaman Mochtar
PEMILIK merek Pierre Cardin pernah mengamuk di Istana Merdeka setelah menghadap Presiden Suharto. Dia protes terhadap pemerintah Indonesia. Dia protes karena pemegang paten merk Piere Cardin di Indonesia dipegang oleh sebuah Perusahaan di daerah kota.
Pada jaman Orde Baru itu berlaku siapa yang mendaftarkan duluan dialah pemegang hak cipta atas merek itu. Merek asal Prancis itu diproduksi oleh sebuah perusahaan yang mempekerjakan para pengerajin kulit di sebuah workshop yang tidak terlalu luas di Kawasan kota Jakarta Pusat.
Sebenarnya Perusahaan ini, saya lupa namanya, tidak hanya memegang hak cipta atas nama Pierre Cardin saja. Hampir semua merk produk kulit terkenal di dunia dia daftarkan ke Kementrian Hukum: Levis, Pierre Cardin, Louis Vuitton dan merek terkenal lainnya.
Ketika saya mewawancara pemiliknya, sebagai wartawan, tanpa ragu dia mengatakan bahwa tidak ada hukum yang dilanggar. Waktu itu Indonesia belum menandatangani Konvensi Bern. Sehingga merek apapun tinggal didaftarkan saja ke Kementrian Hukum untuk mendapatkan pengakuan sebagai pemegang hak cipta. Jadi siapa yang duluan mendaftar maka dialah pemilik merek itu.
Status merek-merek itu asli tapi palsu. Sebagai produk dia asli buatan mereka. Tapi sebagai merek mereka nyontek punya orang. Tapi pada waktu itu halal saja. Dan produk dia ini beredar luas dan bebas dimana-mana dengan, tentu saja, harga yang jauh lebih murah dari produk luar negeri dengan merek yang sama. Bahkan bisa jadi di supermarket itu ditawarkan dua produk satu merek itu. “Ini yang asli Pak (dari luar negeri) tapi ini yang KW,” kata pelayan.
Pada waktu itu Indonesia belum bergabung juga dengan World Trade Organization (WTO). Sehingga industry dalam negeri berkembang dengan pesat karena pasar Indonesia yang luas bisa menyerap produknya sendiri. Pasar kita yang luas menjadi kekuatan daya tawar di pasar global. Sehingga pasar kita menjadi inceran banyak pengusaha global.
Tapi kini sudah terbalik. Coba kita lihat ke pasar Senen. Semua produk bermerek itu buatan Cina. Produk aspal itu tidak ada yang buatan lokal. Mulai produk kulit sampai garmen semuanya berasal dari Cina. Mulai dari mainan anak sampai mainan orang tua semua berasal dari Cina.
“Tapi kalau ke Amerika jangan pakai sabuk merek Levi’s ini Pak bisa ditangkep di Bandara,” Si Penjual mengingatkan. Artinya Si Pemalsu sadar kalau barang aspal ini merek dari Paman Sam. Produk Cina merajalela di mana-mana. Bisakah kita membendungnya? Sulit karena harganya murah. Konsumen menyukai itu. Pasar berpihak pada dia.
Padahal kalau kita berkunjung ke Bejing. Coba cari produk Indonesia di supermarket. Pasti tidak akan menemukan. Bahkan saya pernah diajak ke supermarket di Bejing yang menjual khusus produk impor. Kembali saya kecewa karena tidak satupun produk Indonesia berada di sana.
Ada satu kopi kemasan. Katanya produk Singapura. Tapi saya yakin itu produk Indonesia. Mana ada Singapur punya kebun kopi. Jadi pasar impor di Bejing ini dipenuhi produk dari negara tetangga kita: Vietnam, Kamboja, Malaisia, Thailand bahkan Singapur dan lain-lain. Tak ada Indonesia. Ngenes kita. Jadi bagaimana industry republik ini ke depan.
Pertaanyaan besarnya mengapa Cina bisa menjual produknya lebih murah. Ini yang harus kita pelajari. Untuk menjelaskan masalah ini mari kita simak penuturan seorang Kepala Staf Angkatan Udara. Dia bercerita kepada teman-teman dari Persatuan Wartawan Indonesia ketika melakukan audiensi dengan beliau.
Pada waktu itu TNI AU mau membeli pesawat tempur. Ada beberapa pilihan negara yang menawarkan. Dua diantaranya Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina. Tim dari TNI AU dikirim ke pabrik pesawat tempur di kedua negara itu. Tentu saja untuk melakukan perbandingan kualitas dan harga dari pesawat tempur itu.
Ketika pergi ke Amerika Serikat. Tim diajak meninjau beberapa pabrik pesawat terbang ini dari hulu sampai hilir. Tentu saja dengan penuh rasa kagum tim melihat betapa canggihnya pabrik tempat pembuatan pesawat tempur ini. Serba computerized. Bagaimana kita tidak percaya terhadap kualitas hasil pembuatan pabrik ini seperti F-19 dan kawan-kawan. Pokoknya hasil kunjungan Tim itu dipenuhi dengan kekaguman melihat kecanggihan pabrik pesawat tempur itu. Tapi memang harga tidak berbohong.
Kini giliran tim berkunjung ke Cina. Tim langsung shock. Bagaimana tidak kaget. Tim hanya dibawa ke sebuah hangar kosong yang luas. Kosong blast. Tidak kelihatan peralatan yang canggih canggih seperti di pabrik pesawat di Amrik sana. Rupanya beberapa hari kemudian baru terjawab.
Hangar itu hanyalah tempat untuk merakit pesawat tempur. Sparepart dikumpulkan dari rumah-rumah atau koperasi di sekitar hangar itu. Jadi sparepart pesawat itu dibuat di industry rumahahan atau koperasi. Dengan didampingi oleh para ahli maka sparepart pesawat ini di buat di koperasi-koperasi dan rumah-rumah. Pemerintah memberi modal dan kebijakan yang memungkinkan itu terjadi. Sehingga tidak ada cerita tentang perizinan yang dipersulit.
Hasil dari hangar itu adalah pesawat tempur canggih buatan Cina. Konon kecanggihan pesawat tempur Cina itu melebihi buatan Amerika. Ada dua fitur kelebihan pesawat tempur Cina dibanding buatan Amerika yang sekelas. Tapi harganya sepertiga dari pesawat tempur Amerika. Mengapa murah. Ya karena memang industri rumahan dan masal. Jadi yang mengerjakan pesawat tempur canggih ini para UMKM.
Inilah bentuk dukungan Pemerintah Cina terhadap indusri kecil dan menengah. Mereka mendapatkan berbagai fasilitas kemudahan sehingga bisa berkembang dengan cepat. Jadi setiap wilayah diarahkan untuk menekuni industry tertentu dengan dukungan kebijakan, modal dan tenaga ahli.
Ketika di Mekah saya ketemu dengan Jemaah haji dari Cina. Saya bertanya banyak hal tentang berbagai produk Cina. Termasuk produsen sejadah-sejadah yang kita pakai sholat. Kok alas sholat kita buatan negara komunis sih. “Jangan kuatir sejadah yang kalian pakai itu di buat oleh temen muslim Cina,” Kata Jemaah haji dari Cina itu meyakinkan.
Jadi bagaimana masa depan industry di Negeri kita tercinta ini. Tentu saja harus menjadi perhatian pemerintah baru ke dapan. Bagaimana menghentikan gelombang PHK pekerja karena pabrik yang tutup dan pindah ke negara lain.
Diperlukan kesingkronan kebijakan antara Pemerintah pusat dan daerah untuk menyelesaikan ini. Pasar besar ini harus dijadikan bargaining buat orang seperti Si Elon Mask. Dia hanya mau pasarnya saja tapi ogah investasi. Jadi apa yang salah di republik ini. Wahai pemerintah baru jangan biarkan pabrik Merek Sepatu Bata pun pindah ke Cina.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia