Amerika Serikat Bantah Terlibat dalam Pembunuhan Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh

Demonstran mengibarkan bendera dan memegang foto pemimpin kelompok militan Palestina Hamas, Ismail Haniyeh, (tengah) dan pemimpin senior Saleh al-Arouri dalam aksi protes di kamp pengungsi Palestina Burj al-Barajneh di Beirut, pada 31 Juli 2024. (Fadel ITANI / AFP)

J5NEWSROOM.COM, Washington – Ismail Haniyeh terakhir terlihat dalam keadaan hidup ketika menghadiri pelantikan presiden baru Iran Masoud Pezeshkian pada tanggal 30 Juli. Haniyeh, pemimpin politik Hamas, kelompok militan Palestina yang didukung Iran, tewas dalam serangan udara pada hari berikutnya.

Di Singapura, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan kepada Channel News Asia, bahwa AS “tidak mengetahui atau terlibat” dalam pembunuhan Haniyeh. “Yah, tentu saja, saya telah melihat laporannya, dan yang dapat saya katakan sekarang adalah, seperti yang saya katakan tadi, saya pikir tidak ada yang mengurangi pentingnya mencapai gencatan senjata.”

Belum ada yang langsung mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut, tetapi para pemimpin Hamas telah menjadi sasaran Israel, sejak serangan kelompok tersebut terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober, yang memicu perang yang sedang berlangsung di Gaza.

Pada bulan April, serangan udara Israel menewaskan tiga putra Haniyeh.

Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei yang bertemu dengan Haniyeh sehari sebelum ia dibunuh, telah bersumpah untuk membalas dendam. Dalam sebuah pernyataan ia mengatakan, “Kami menganggap sudah menjadi kewajiban kami untuk melakukan pembalasan untuk darah tamu kami yang terkasih.”

Duta Besar Iran untuk Lebanon Mojtaba Amani, juga menyalahkan Amerika Serikat. “Kita tahu bahwa Amerika biasanya membimbing dan mendukung Zionis dalam tindakan kriminal semacam itu,” sebutnya.

Pembunuhan Haniyeh terjadi sehari setelah Israel melakukan serangan di Beirut, Lebanon, yang menewaskan Fu’ad Shukr, komandan Hizbullah, kelompok lain yang didukung Iran.

Israel menganggap kelompok itu bertanggung jawab atas serangan mematikan di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel pada akhir pekan.

Dengan meningkatnya kekhawatiran akan eskalasi regional, negara-negara Barat mendesak pihak-pihak terkait untuk menahan diri.

Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengatakan perang bukanlah hal yang tak terelakkan. “Selalu ada ruang dan peluang untuk diplomasi, dan saya ingin melihat pihak-pihak terkait mencari peluang tersebut. Kami akan melakukan apa pun yang kami bisa lakukan untuk memastikan bahwa kami mencegah hal-hal berubah menjadi konflik yang lebih luas di seluruh kawasan itu,” jelasnya.

Israel melanjutkan kampanye militernya di Gaza, sementara gencatan senjata untuk mencapai perjanjian mengenai pembebasan sandera masih sulit dicapai.

Qatar dan Mesir, mediator utama dalam pembicaraan tersebut mengatakan pembunuhan Haniyeh membahayakan upaya gencatan senjata.

Tetapi Blinken menolak untuk berspekulasi. “Kami sama sekali tidak tahu. Yang saya tahu adalah keharusan terus menerus untuk mencapai gencatan senjata. Dan, yang saya tahu adalah kami akan terus mengupayakannya setiap hari,” sebutnya.

Israel telah menewaskan lebih dari 39.000 orang di Gaza, menurut otoritas kesehatan Palestina, yang tidak membedakan korban dari pihak kombatan dan warga sipil. Operasi itu merupakan balasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober di Israel, di mana para militan membunuh 1.200 orang dan menyandera lebih dari 200 lainnya. 

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah