J5NEWSROOM.COM – Keluarga dari 346 orang yang tewas dalam dua kecelakaan pesawat Boeing Max telah meminta hakim federal untuk menolak perjanjian pembelaan yang diusulkan Boeing dan Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS). Sebaliknya, keluarga korban ingin hakim menjadwalkan sidang juri untuk mengadili Boeing.
Boeing dan Departemen Kehakiman baru-baru ini merampungkan kesepakatan yang mana Boeing akan mengaku bersalah atas satu tuduhan konspirasi untuk melakukan penipuan guna menyelesaikan tuduhan bahwa mereka menipu regulator Administrasi Penerbangan Federal yang menyetujui 737 Max dan kemudian melanggar penyelesaian yang dibuat 2021 yang akan meloloskan perusahaan itu dari tuntutan pidana.
Kasus terhadap Boeing bermula dari dua kecelakaan pesawat Boeing 737 Max, yaitu di Indonesia pada 2018 dan di Ethiopia pada 2019, dan kesalahan penafsiran Boeing mengenai fitur perangkat lunak utama yang terlibat dalam kedua insiden tersebut.
Keputusan untuk menerima kesepakatan atau mengadili Boeing kini ada di tangan Hakim Distrik AS Reed O’Connor di Fort Worth, Texas. Menurut laporan kantor berita Reuters, O’Connor menyatakan dalam putusannya tahun lalu bahwa “Kejahatan Boeing mungkin dianggap sebagai kejahatan korporasi paling mematikan dalam sejarah AS.”
Paul Cassell, salah satu pengacara yang mewakili keluarga korban kecelakaan, menulis dalam dokumen pengadilan bahwa usulan denda hingga $487 juta (setara 7,91 triliun rupiah) “tidak memadai” dan “setidaknya” didasarkan pada “perhitungan yang menyesatkan dan perhitungan yang tidak akurat.”
Cassell juga mengatakan dalam pengajuannya bahwa denda tersebut “tidak mencerminkan bahwa kejahatan Boeing telah menewaskan 346 korban yang tidak bersalah.” Dia menggambarkan perjanjian pembelaan itu sebagai hal yang “tercela secara moral.”
Sementara itu, pengacara lain yang mewakili keluarga yang kehilangan orang-orang terkasih dalam kecelakaan pesawat Boeing di Indonesia, juga mengatakan dia ingin hakim menolak perjanjian pembelaan.
Sanjiv Singh menulis dalam argumennya bahwa banyak keluarga di Asia Tenggara belum menerima ganti rugi yang layak atas kerugian yang mereka alami. Sebaliknya, ia mengatakan kliennya “ditekan untuk menandatangani kemungkinan pelepasan ilegal yang memangsa mereka pada saat-saat paling lemah dan paling rentan” tak lama setelah kecelakaan tersebut.
Pengacara lain menyatakan bahwa Departemen Kehakiman mungkin lebih memilih Boeing, perusahaan dirgantara terbesar di dunia, dibandingkan keluarga tersebut karena Boeing adalah kontraktor besar pemerintah AS.
“Untuk benar-benar menuntut Boeing dan manajemen seniornya atas kejahatan yang dilakukan, termasuk pembunuhan 346 penumpang, akan membuat penjelasan mengenai urusan bisnis yang sedang berlangsung menjadi sulit dan tidak nyaman, terutama pada tahun pemilu,” tulis Adrian Vuckovich.
Boeing dan Departemen Kehakiman memiliki waktu 14 hari untuk menanggapi pengajuan keluarga tersebut, menurut kantor berita The Associated Press.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Agung