Presiden Indonesia Kecam Keras Pembunuhan Pemimpin Hamas

Anggota Hamas memegang poster kepala politik Hamas Ismail Haniyeh yang terbunuh dalam aksi protes di kamp pengungsi Palestina al-Bass, di kota pelabuhan selatan Tyre, Lebanon, Rabu, 31 Juli 2024. (Mohammed Zaatari/AP)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – “Itu sebuah kekerasan, pembunuhan yang tidak bisa ditoleransi dan terjadi di wilayah kedaulatan Iran,” kata Jokowi di Jakarta, Kamis (1/8), merespons kematian Haniyeh dalam serangan udara di Ibu Kota Iran, Teheran, Rabu (31/7).

Jokowi meyakini dunia pun juga turut mengecam tindakan kekerasan dan pembunuhan tersebut. “Saya kira semua, termasuk Indonesia, mengecam keras kekerasan dan pembunuhan seperti itu,” tambahnya.

Hamas secara resmi telah mengumumkan bahwa Haniyeh tewas dibunuh dalam sebuah serangan di Teheran, Iran. Saat itu, ia berada di Iran untuk menghadiri pelantikan presiden terpilih Iran Masoud Pezeshkian.

Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia Agung Nurwijoyo kepada VOA mengatakan, ia memahami respons Jokowi atas peristiwa tersebut. Menurut Agung, kematian Haniyeh berpotensi menimbulkan disrupsi terhadap proses perdamaian yang sedang terjadi, meskipun gencatan senjata memang belum tercipta sampai detik ini.

Apalagi, kata Agung, beberapa hari sebelum peristiwa pembunuhan Haniyeh ini, pihak-pihak terkait, seperti Qatar dan Mesir, melakukan berbagai pertemuan untuk membicarakan berbagai upaya perdamaian.

“Dengan tewasnya Haniyeh ini, bagi saya, ini disrupsi terhadap proses perdamaian yang ada. Karena kita lihat sendiri sebenarnya Hamas, mau tidak mau, suka tidak suka, kita melihatnya sebagai satu entitas kelompok perlawanan, sehingga potensi terjadinya retaliasi cukup besar,” ungkap Agung.

Meskipun hasil investigasi pihak Iran belum dikeluarkan terkait siapa pelaku pembunuhan Haniyeh, kata Agung, jika dilihat dari pernyataan Hamas sudah sangat jelas bahwa Hamas menyatakan Israel lah yang telah melakukan pembunuhan terhadap pemimpin mereka. “Dan di saat yang bersamaan, ini juga ada serangan serupa yang terjadi di Beirut. Itu juga memicu naiknya tensi di kawasan Timur Tengah,” jelasnya.

Lebih jauh, Agung menambahkan, potensi meluasnya konflik pasca kematian Haniyeh seperti perang terbuka bisa saja terjadi. “Biasanya, kecenderungan di kawasan Timur Tengah, retaliasi dalam bentuk serangan balasan berpotensi besar terjadi. Tetapi kalau sampai kepada perang terbuka biasanya itu hanya terjadi ketika ada salah satu pihak yang sudah masuk dalam kawasan territorial, atau maksudnya, dalam konteks kedaulatan,” jelasnya.

Ia mencontohkan dalam konteks Lebanon dan Israel belum sampai terjadi perang terbuka karena belum ada pihak yang benar-benar melancarkan operasi darat. Menurt Agung, tidak seperti yang terjadi di Gaza, ketika Hamas melakukan operasi darat kemudian dibalas oleh Israel yang juga melakukan operasi darat.

“Tetapi ketika bentuk retaliasi yang terbatas biasanya dalam bentuk serangan rudal. Makanya kemudian saya melihat retaliasi sangat mungkin terjadi dilakukan oleh Hamas terhadap Israel. Tetapi kalau sampai kepada perang terbuka, yang sifatnya yang skala lebih besar, tentu syarat dan ketentuannya masih perlu diperhatikan,” tambahnya.

Lantas pasca peristiwa ini, upaya apa lagi yang kemudian bisa dilakukan oleh Indonesia? Agung menjawab, bahwa saat ini Israel seolah tidak bisa tersentuh oleh hukum internasional. Meski begitu, Agung menilai bahwa diplomasi terhadap negara besar tetap harus didorong.

Kemudian, yang menurutnya tidak kalah penting, adalah mendorong solidaritas daripada 149 negara yang saat ini telah mengakui keberadaan negara Palestina, yang mana mayoritasnya merupakan negara-negara global south. Global south adalah istilah yang merujuk pada negara-negara berkembang dan negara-negara kurang berkembang di dunia.

“Bagaimana pun juga 149 negara yang sudah mengakui Palestina. It means nothing kalau kemudian tidak terkonversi dalam bentuk power. Kalau sekedar statement itu tetap dibutuhkan dalam konteks diplomasi, tetapi kita perlu action yang lebih dari sekedar statement entah mungkin dalam bentuk tekanan diplomatik, tekanan secara ekonomi terhadap Israel dalam hal ini. Makanya 149 negara itu yang mayoritas adalah negara-negara global south, itu kemudian rasa-rasanya penting untuk dibangun semangat, solidaritas, untuk kemudian kita punya action bersama yang jauh lebih kuat dibandingkan sekedar statement,” jelasnya.

“Karena kalau kita lihat dalam konteks norma internasional Israel tidak tersentuh, maksudnya pelanggaran hukum internasional apalagi yang belum dilakukan oleh Israel? Dan itu sudah secara gamblang bisa kita lihat semua. Sekarang bagaimana kemudian tekanan diplomasi, tekanan ekonomi kemudian harus dilakukan terhadap Israel,” pungkasnya.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Agung