J5NEWSROOM.COM, Yogyakarta – Ulama Nusantara zaman dulu adalah ulama yang terkenal memiliki dua keistimewaan. Pertama, punya kemampuan dalam penguasaan kitab kuning (turats). Kedua, kemampuan dalam mengontekstualisasi teks-teks Al-Quran, Hadits, maupun kitab-kitab atau pendapat-pendapat yang muktabar.
Hal itu diutarakan Wakil Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa dalam Pembukaan Seminar “Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail” di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (1/8/2024).
“Jadi, tidak tekstualis ulama dulu itu. Nah, Kemampuan ini sesungguhnya menjadi tradisi yang mahal kalau sekarang masih ada,” ujar Kiai Zulfa, sapaan akrabnya.
Ia lalu mengemukakan otokritik, bahwa di kalangan kiai dan santri yang tidak tersedia pelajaran analisa sosial (at-tachlil al-ijtima’i), misalnya, terkadang menjadi tekstualis, hanya merujuk sesuai apa yang tertulis dalam kitab.
“Kalau model santri kita semacam ini, dia tidak mengikuti perkembangan zaman. Apa yang ada di kitab yang itu terjadi 300, 500, 700 tahun yang lalu, kemudian tidak dikontekstualisasikan, ya jadi begini. Repot memahami hukum,” kata Kiai Zulfa, mengutip pandangan Kiai Malik Madani.
Kiai Malik, lanjut Kiai Zulfa, mengutip pendapat Imam Qarafi dalam Al-Furuq: “Al-jumud ‘alal manquulaati abadan dlalalun fid dien wa jahlun bi maqashidil ‘ulama’ was salafil maadli (Kalau orang hanya jumud, tekstual atas apa-apa yang dinukil, dibaca — kitab yang ditulis 300 tahun lalu, 700 tahun lalu, ya akan begini: — mereka akan kaku dalam memahami hukum).”
Kiai Zulfa mencontohkan Syekh Nawawi Al-Bantani, yang mampu mengontekstualisasikan apa yang ada dalam kitab-kitab klasik.
“Yang diikuti ulama dulu itu manhaj (metode berfikir)nya, bukan aqwal (pendapat-pendapat)nya semata. Sebab aqwal harus bisa berubah, tapi kalau manhaj kan tidak,” jelasnya.
Kiai Zulfa menyebut, dalam Kitab Nihayatuz Zein, Syekh Nawawi Al-Bantani mengikuti pendapat gurunya Imam Al-Bajuri dalam hukum membagikan zakat, apakah wajib rata kepada delapan ashnaf (ta’mim al-ashnaf as-tsamaniyah)? Menurut Syekh Nawawi, tidak harus. Tiga ashnaf sudah cukup.
Padahal, lanjut Kiai Zulfa, dulu Imam Syafi’i mewajibkan zakat dibagikan rata kepada dela ashnaf. “Kenapa Syekh Nawawi berani mengatakan cukup tiga. Karena — kata Syekh Nawawi, Syekh Al-Bajuri, begitu juga Imam Ibnu ‘Ujail al-Yamani — kondisi sudah berbeda, kondisi zaman sudah berbeda. Dulu mencari ashnaf tsamaniyah mudah, sekarang sulit,” jelasnya.
Yang menarik, lanjut Kiai Zulfa, Syekh Nawawi mengatakan: “Lau kaana Syafi’iyyu hayyan laafta bidzalik (Andaikata Imam Syafi’i dibangkitkan dan hidup lagi, pasti fatwanya sama dengan fatwaku).”
Dalam kesempatan ini, Kiai Zulfa juga mengungkap alasan mengapa acara ini mengundang pengurus PWNU, PCNU, dan perwakilan pesantren. Yaitu agar keputusan, aturan perkumpulan, dan manhaj NU dalam bahtsul masail di level nasional tersampaikan ke level daerah. Sedangkan alasan digelar di kampus adalah agar ada saling tukar pengetahuan antara santri dan akademisi.
Sementara itu, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Al-Makin, dalam sambutannya mengaku sangat bangga institusinya menjadi tempat berkumpul para pengurus NU dan kiai serta nyai dari berbagai pesantren.
Ia bercerita, ketika Saudi masih dalam naungan Turki Usmani, para ulama Indonesia sudah berperan di kancah internasional dengan, misalnya, menjadi imam dan guru seperti Syekh Nawawi al-Bantani. Hal itu menjadi inspirasi dan teladan bagi generasi sekarang.
Dalam kesempatan ini, ia mengajak untuk bangga dan bersyukur menjadi warga negara Indonesia yang relatif aman dibanding beberapa negara di Timur Tengah, Eropa dan Amerika, yang banyak dirundung konflik berkelanjutan, sehingga situasi politik-ekonomi tak stabil.
Al Makin mengajak peserta untuk ikut berkontribusi aktif di tengah masyarakat. “Sebagai motor penggerak peradaban Indonesia, Nahdlatul Ulama sangat wajar untuk mengambil peran dalam berkontribusi untuk mendamaikan bangsa ini,” ujarnya.
Senada dengan Rektor UIN, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Yogyakarta, Ahmad Bahiej, menyambut baik acara ini.
Ia menyampaikan, kolaborasi tiga institusi di dalam membahas pengambilan hukum Islam menjadi hal yang sangat penting, mengingat banyaknya persoalan di tengah masyarakat.
“Persoalan-persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat tertentu ini menjadi PR kita bersama, menjadi tanggung jawab kita bersama dan tidak hanya menjadi tanggung jawab PBNU, Kementerian Agama, dan UIN Sunan Kalijaga, tetapi juga menjadi tanggung jawab semuanya ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia hadir juga di sini,” ungkapnya.
Bahiej berharap, acara ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya di dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Sebagai informasi, seminar ini terselenggara atas kerja sama antara PBNU, Kementerian Agama RI dan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang digelar dari Kamis – Jumat, 1-2 Agustus 2024.
Editor: Agung