J5NEWSROOM.COM, Dhaka – Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina hari Senin (5/8) mengundurkan diri dan melarikan diri ke India, mengakhiri kekuasaannya selama 15 tahun di tengah-tengah protes mematikan selama berminggu-minggu menentang sistem kuota untuk jabatan-jabatan di pemerintahan.
Hasina meninggalkan kediaman resminya di ibukota Dhaka, menaiki sebuah helikopter militer bersama saudara perempuannya, dan terbang melintasi perbatasan menuju India sehari setelah hampir 100 orang tewas dalam bentrokan dengan pihak berwenang. Tujuan akhirnya belum jelas.
Panglima Angkatan Darat Bangladesh, Jenderal Waker-uz-Zaman, yang berbicara di televisi pemerintah, kepada negara berpenduduk mayoritas Muslim di Asia Selatan yang berpenduduk 170 juta jiwa itu mengatakan bahwa Hasina, 76 tahun, telah mengundurkan diri dan militer akan membentuk pemerintahan sementara.
Jenderal Waker-uz-Zaman, yang mengenakan pakaian militer, mengatakan, “Negara ini telah sangat menderita, ekonomi telah terpukul, banyak orang telah terbunuh – inilah saatnya untuk menghentikan kekerasan. Saya berharap setelah pidato saya, situasi akan membaik.”
Panglima militer mengatakan bahwa ia telah mengadakan pembicaraan dengan partai-partai oposisi utama dan anggota masyarakat sipil, tetapi tidak dengan Liga Awami pimpinan Hasina.
Ia mengatakan bahwa militer akan menyelidiki tindakan keras terhadap protes-protes yang dipimpin oleh para mahasiswa yang telah memicu kemarahan terhadap pemerintah dan menewaskan sedikitnya 300 orang sejak awal Juli.
“Tetaplah percaya pada militer, kami akan menyelidiki semua pembunuhan dan menghukum mereka yang bertanggung jawab,” katanya. “Saya telah memerintahkan agar tidak ada tentara dan polisi yang melakukan penembakan.”
Target utama dari protes tersebut adalah sistem kuota yang menyisihkan hingga 30% dari pekerjaan pemerintah untuk anggota keluarga veteran yang bertempur dalam perang kemerdekaan Bangladesh tahun 1971 melawan Pakistan, sementara juga mendukung mereka yang memiliki koneksi dengan Liga Awami yang dipimpin perdana menteri itu.
Protes-protes ini terus berlanjut bahkan setelah Mahkamah Agung bulan lalu memutuskan bahwa sistem kuota harus dipangkas secara drastis dan berkembang menjadi kecaman yang lebih luas kepada Hasina, kepala pemerintahan wanita terlama di dunia.
Setidaknya 11.000 orang telah ditangkap dalam beberapa minggu terakhir. Kerusuhan ini juga mengakibatkan penutupan sekolah dan universitas di seluruh negeri, dan pihak berwenang pada satu titik memberlakukan jam malam tembak di tempat.
Pihak berwenang mematikan koneksi internet seluler pada hari Minggu untuk mencoba memadamkan kerusuhan, dan sambungan internet terputus sebentar pada hari Senin pagi. Ini adalah pemadaman internet kedua di negara itu sejak Juli, tetapi layanan dipulihkan pada hari Senin.
Selama akhir pekan, para pengunjuk rasa menyerukan upaya “non-kooperasi” dengan pemerintah, mendesak orang-orang untuk tidak membayar pajak atau tagihan listrik dan tidak datang ke tempat kerja pada hari Minggu, hari kerja di Bangladesh. Kantor-kantor, bank-bank dan pabrik-pabrik tetap buka, tetapi para komuter di Dhaka dan kota-kota lain kesulitan untuk pergi ke tempat kerja mereka karena banyak transportasi umum yang dihentikan di tengah-tengah kekhawatiran akan terjadinya kekerasan.
Dengan kepergian Hasina, kerumunan warga yang gembira melambaikan bendera, dengan beberapa orang menari di atas sebuah tank di jalan pada hari Senin pagi sebelum ratusan orang menerobos gerbang kediaman resminya.
Surat kabar Business Standard memperkirakan sebanyak 400.000 pengunjuk rasa turun ke jalan, tetapi jumlah pastinya mustahil untuk diverifikasi.
“Waktunya telah tiba untuk protes terakhir,” kata Asif Mahmud, salah satu pemimpin utama dalam kampanye pembangkangan sipil nasional. Channel 24 Bangladesh menunjukkan kerumunan orang berlarian ke dalam kompleks, melambaikan tangan ke arah kamera saat mereka merayakannya, menjarah perabotan dan buku-buku, dan yang lainnya bersantai di tempat tidur. Beberapa demonstran mengambil makanan dari lemari es. Yang lainnya menghancurkan patung ayah Hasina, Sheikh Mujibur Rahman, pahlawan kemerdekaan negara itu.
Michael Kugelman, direktur Institut Asia Selatan di Wilson Center yang berbasis di Washington, memperingatkan bahwa kepergian Hasina “akan meninggalkan kekosongan yang besar.” “Jika ini adalah transisi yang damai, dengan sebuah pemerintahan sementara yang mengambil alih hingga pemilihan umum diselenggarakan, maka risiko-risiko stabilitas akan menjadi moderat dan konsekuensinya akan terbatas,” katanya. “Namun jika terjadi transisi yang penuh kekerasan atau periode ketidakpastian, hal itu dapat menimbulkan risiko destabilisasi dan masalah-masalah yang lebih besar, baik di dalam maupun di luar negeri.”
Sebelum para pengunjuk rasa menyerbu kompleks istana, putra Hasina telah mendesak pasukan keamanan untuk memblokir pengambilalihan apapun.
“Ini berarti jangan biarkan pemerintah yang tidak terpilih berkuasa selama satu menit pun, ini adalah tugas Anda,” ujar putra Hasina, Sajeeb Wazed Joy yang tinggal di Amerika Serikat, dalam sebuah unggahan di Facebook.
Hasina telah memerintah Bangladesh sejak 2009 dan memenangkan pemilu keempat kalinya secara berturut-turut pada bulan Januari setelah pemungutan suara tanpa adanya oposisi. Amerika Serikat dan Inggris mengecam hasil pemilu ini sebagai tidak kredibel, namun pemerintahnya membela hasil pemilu ini.
Pemerintahan Hasina dituduh oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia telah menyalahgunakan lembaga-lembaga negara untuk mengukuhkan kekuasaannya dan membasmi perbedaan pendapat, termasuk melalui pembunuhan di luar hukum terhadap para aktivis oposisi.
Lawan-lawan politiknya menuduhnya semakin otokratis dan menyebutnya sebagai ancaman bagi demokrasi negara. Banyak yang mengatakan bahwa kerusuhan yang terjadi merupakan hasil dari sikap otoriter tersebut.
Pada hari Sabtu, Hasina menawarkan untuk bertemu dengan para pemimpin mahasiswa, namun seorang koordinator menolak dan menuntut pengunduran dirinya. Sebelumnya, Hasina mengatakan bahwa para pengunjuk rasa yang terlibat dalam “sabotase” dan pengrusakan bukan lagi mahasiswa, melainkan penjahat.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah