NU Menetapkan Hukum Setelah Nas Berdialog dengan Realitas

Foto1. KH Zulfa Mustofa, foto1. KH Muhamad Cholil Nafis sedang memimpin forum. (Foto: Suwitno/LTN PBNU)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa menegaskan bahwa dalam menetapkan suatu hukum, Nahdlatul Ulama (NU) selalu mendialogkan nash dengan realitas. Praktek ini dapat ditemukan saat Nabi Muhammad SAW masih hidup dan berlanjut di era para Sahabat dan tabiin, sehingga jadi pijakan NU dalam bertistinbath ketika menetapkan hukum.

Hal ini disampaikan Kiai Zulfa saat membuka Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail, Ahad (11/8) di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh. Kiai Zulfa hadir bersama sejumlah fasilitator acara dari PBNU seperti KH Muhammad Cholil Nafis dan Gus Nurul Yaqin (Syuriyah PBNU) lalu KH Miftah Faqih, Muh. Silahuddin, dan A Ginanjar Sya’ban (Tanfidziyah PBNU).

Dalam pidato kuncinya, Kiai Zulfa menyampaikan bahwa penetapan hukum di dalam Nahdlatul Ulama didasarkan pada dua hal, yakni nash dan realitas atau teks dengan konteks. “Dalil syari itu dua poin pentingnya, memahami hukum dari nash dan ini sifatnya naqli. Kedua harus memahami waqi (realitas) itu nadhariyah, itu harus diuji,” katanya mengutip pandangan Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat.

Oleh karena itu, Kiai Zulfa menekankan bahwa dalam memberikan putusan hukum tidak cukup hanya dengan memahami Al-Quran dan hadits sebagai rujukan atau pijakannya, tetapi juga harus memahami realitasnya. Karenanya, NU selalu mengundang ahli untuk memberikan pemahaman realitas persoalan.

“Nanti jika yang dibahas itu tentang makanan, kita mengundang juga para expert di bidangnya,” katanya. Ia mencontohkan dalam memutuskan hukum kepiting, misalnya, NU mengundang guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ahli dalam bidang kepiting. Menurutnya, kepiting itu hewan air karena tidak mampu hidup di darat lebih dari 15 hari.

Sebelumnya, para ulama menganggap kepiting itu hidup di dua alam sehingga haram. “Kita tentu harus ngerti waqi (realitas). Kita cuma baca kitab yang bilang haram,” ujar kiai asal Banten itu. Ia juga menegaskan bahwa kondisi sosial selalu berubah seiring perkembangan zaman. Sebab, menurutnya mengutip ulama, 90 persen dalam penetapan fiqih adalah didasarkan pada realitasnya.

Kiai Zulfa mencontohkan sejumlah tokoh yang menerapkan nash dan realitas dalam memutuskan suatu persoalan. Rasulullah saw, misalnya, lanjut saudara dekat KH Ma’ruf Amin ini, yang pada akhirnya memberikan kurma untuk orang yang batal puasa karena melakukan hubungan badan dengan istrinya di siang hari.

Sebab, lanjut Kiai Zulfa, Nabi melihat realitas orang tersebut yang mengaku tidak sanggup memerdekakan budak, berpuasa 60 hari berturut-turut, membagikan makanan kepada 60 orang miskin. Bahkan, ketika Nabi memberikan kurma itu untuk dibagikan kepada masyarakat miskin, ia menjawab bahwa dia orang paling miskin.

“Nabi itu fahmul waqi (memahami realitas),” kata penulis kitab Al-Fatwa wa Ma La Yanbaghi li al-Mutafaqqih Jahluhu itu. Selain Nabi Muhammad, Kiai Zulfa juga menyebut Siti Aisyah sebagai sosok yang menerapkan nash dan realitas dalam memutuskan sebuah hukum.

Lalu juga Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib sebagai sosok-sosok yang mengombinasi realitas dan nash dalam menetapkan hukum. Pun para ulama mujtahid mutlak.

Sementara itu, Rektor UIN Ar-Raniry Mujiburrahman menyampaikan harapannya agar kegiatan ini dapat memberi manfaat bagi umat melalui sinergi kiai, ulama, ilmuwan, dan cendekiawan yang diwujudkan dalam bentuk pemikiran, gagasan hasil kajian dan diskusi. Menurutnya, ini dapat memperkaya khazanah keilmuan kontemporer untuk menjawab masalah umat di era kekinian dan masa depan.

Adapun Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh H Azhari berharap kehadiran para ulama dapat menghasilkan putusan atau kesimpulan untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. “Sehingga arahan petunjuk dan kesimpulan dari seminar ini dapat bermanfaat untuk kita semua dan kepada umat seluruhnya,” katanya.

Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh, PWNU Sumatra Utara, PWNU Sumatra Barat, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) se-Aceh, PCNU se-Sumatra Utara, dan PCNU se-Sumatra Barat. Seminar ini terselenggara atas kerja sama PBNU, Kementerian Agama, dan UIN Ar-Raniry. (*)

Editor: Agung