J5NEWSROOM.COM, Yordania – Washington mengkritik “tindakan sepihak” Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben Gvir yang menyerbu kompleks Masjid al-Aqsa, dengan bantuan kepolisian Israel, untuk melakukan ibadah umat Yahudi. Amerika Serikat menyebut tindakan itu sebuah bentuk provokasi.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Vedant Patel mengatakan, “tindakan sepihak seperti ini, yang mengancam status quo, tidak dapat diterima.” Tindakan itu dianggap membahayakan status quo tempat itu dan merusak upaya untuk mencapai gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang telah terlibat konflik di Gaza selama 10 bulan terakhir.
“Amerika Serikat dengan tegas mendukung pemeliharaan status quo yang bersejarah terkait dengan tempat-tempat suci di Yerusalem. Bukan saja tidak dapat diterima, hal ini juga mengalihkan perhatian dari apa yang kami anggap sebagai masa yang penting, ketika kami berupaya mencapai kesepakatan gencatan senjata,” ungkap Patel.
Ben Gvir telah seringkali menentang peraturan lama pemerintah Israel yang melarang umat Yahudi beribadah di kompleks Masjid al-Aqsa. Tempat yang bagi umat Yahudi dikenal dengan nama Temple Mount, alias Bukit Bait Suci, itu merupakan salah satu situs keagamaan paling sensitif di Timur Tengah.
Umat Yahudi dan non-Muslim lainnya diizinkan mengunjungi kompleks masjid pada jam-jam tertentu, akan tetapi mereka tidak diizinkan beribadah atau memperlihatkan simbol keagamaan di sana.
Bulan lalu, Ben Gvir mengumumkan bahwa ia menganggap ibadah umat Yahudi kini diizinkan di Bukit Bait Suci. Akan tetapi, kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan segera menegurnya, dan menyatakan bahwa status quo tidak berubah.
Sementara itu, menteri dalam negeri Israel, Moshe Arbel dari partai koalisi ultra-Ortodoks Shas, mengatakan, “akan tiba hari ketika masa untuk memancing-mancing Ben Gvir berakhir. Taurat tidak akan pernah tergantikan.”
Pengamat Dania Koleilat Khatib mengatakan, kelompok garis keras Israel seperti Ben Gvir tidak menginginkan tercapainya kesepakatan. Khatib, yang merupakan presiden Pusat Riset untuk Kerja Sama dan Pembangunan Perdamaian di Beirut, mengatakan kepada VOA bahwa kelompok garis keras ingin perang berlanjut dengan keyakinan bahwa Israel akan merebut Gaza, meski para pemimpin AS, Qatar dan Mesir berusaha menahan dan mengakhiri konflik.
“Dia tidak menginginkan kesepakatan. Mereka tidak menginginkan kesepakatan dengan Hamas, karena… begini, jika saya ingin bersepakat dengan Anda, itu artinya saya mengakui keberadaan Anda,” ungkap Khatib.
“Bukanlah suatu kebetulan ketika ia beribadah [di kompleks al-Aqsa] setelah [Presiden AS Joe] Biden, Sheikh Tamim [bin Hamad Al Thani dari Qatar], dan [Presiden Mesir Abdel Fattah] el-Sissi mengambil sikap tegas dan mengatakan cukup, kita harus mengakhiri ini,” imbuhnya.
Jurnalis Palestina Daoud Kuttab, yang juga mantan dosen Universitas Princeton, mengatakan kepada VOA bahwa bahwa hak pengelolaan Yordania atas al-Aqsa tercantum dalam perjanjian damai tahun 1994 dengan Israel serta kesepahaman tahun 2014 yang diawasi oleh mantan Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan disetujui oleh Perdana Menteri Israel Netanyahu dan Raja Yordania Abdullah. Kuttab mengecam provokasi Ben Gvir.
“Ini merupakan pelanggaran terhadap begitu banyak kesepakatan, kesepahaman dan perjanjian damai. Negara Israel tidak dapat mengklaim bahwa dia hanya semacam sosok yang membandel. Dia adalah menteri dalam pemerintahan Netanyahu, yang ikut mencapai kesepahaman itu. Jadi, ada sesuatu yang teramat salah ketika Netanyahu dan pemerintahannya tidak berbuat apa-apa,” urai Kuttab. “Israel harus menjawab, tapi Yordania dan seluruh dunia marah.”
Kementerian Urusan Islam Yordania adalah otoritas hukum yang mengelola kompleks al-Aqsa dan mengatur akses ke sana. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Yordania Sufian Qudah mengatakan tindakan sepihak Israel yang terus berlanjut, serta pelanggaran status hukum dan bersejarah di Yerusalem membutuhkan respons dan perlindungan internasional yang jelas dan tegas.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah