J5NEWSROOM.COM, Kisah para pejuang di Kamang, Sumatra Barat, akrab di telinga Dr Buchari Nurdin. Sejarawan yang juga tokoh masyarakat ini mendengar kehebatan para leluhur itu melalui cerita-cerita sejak masa belia.
“Sepintas-sepintas saja, itu memang ada yang diceritakan di Sekolah Rakyat, kalau sekarang disebut SD, sering diceritakan di surau-surau, juga ada di masjid, tentang Perang Kamang tersebut. Peristiwa itu terkenal di masyarakat banyak,” ujar dosen yang pernah mengajar di Universitas Negeri Padang itu kepada VOA.
Kamang adalah sebuah daerah yang kini dikenal juga sebagai Kamang Magek, di Kabupaten Agam, Sumatra Barat, yang merupakan wilayah perjuangan pahlawan, Tuanku Nan Renceh.
Perang Kamang dipimpin H Abdul Manan, ulama setempat yang kemudian dibunuh tentara Belanda di tengah pertempuran. Meski belum diakui sebagai pahlawan nasional, H Abdul Manan adalah pahlawan bagi rakyat.
Perang ini juga disebut sebagai Perang Belasting, istilah bahasa Belanda untuk pajak. Tidak lain karena perang ini dipicu oleh keputusan pemerintah Hindia Belanda, dalam hal ini Gouvernement Sumatra’s Westkust, untuk menetapkan pajak atas harta benda rakyat.
“Jadi semua barang-barang, benda-benda, sawah, ladang, semua termasuk binatang juga dan segala macamnya mau dikasih pajak. Ini menjadikan reaksi luar biasa dari rakyat, mereka tidak mau terima begitu saja, ribut…, jadi perang,” tambah Buchari.
Kamang memiliki catatan khusus, karena rakyat di daerah ini memulai perang. Semua tidak lepas dari peran H Abdul Manan dan ulama serta tokoh masyarakat setempat. Sejak mendengar keputusan pemerintah Hindia Belanda untuk menerapkan pajak, terutama bagi ternak dan tanaman kopi, para ulama mengagitasi rakyat untuk melawan. Khutbah dan pengajian di surau-surau, kata Buchari, menjadi pusat pendidikan perlawanan itu.
Rakyat juga mempersiapkan diri dengan berlatih beladiri, dan Kamang, Manggopoh, Lintau serta sejumlah wilayah lain di Sumatra Barat adalah pusat para pendekar minang.
“Jadi, karena Kamang mempelopori gejolak-gejolak ini, sehingga Belanda akan menangkap para pemimpin-pemimpin, terutama ulama yang ada di Kamang,” lanjut Buchari.
Pengaruh perlawanan bahkan menyebar hingga Payakumbuh, Limapuluh Kota, Batusangkar, hingga Pariaman. Tidak mengherankan, jika Belanda kemudian mengirimkan marechaussee atau marsose, yang merupakan julukan pasukan perang mereka ke kawasan tersebut. Pasukan ini bermarkas di benteng Fort de Kock, di bawah pimpinan J. Westernnenk.
Kedatangan pasukan Belanda sudah dinantikan rakyat setempat. Perang Kamang pun meletus pada 15-16 Juni 1908, dengan menimbulkan korban besar di pihak rakyat.
Menolak Pengenaan Pajak
Setelah sejumlah ulama dan pemimpin meninggal, rakyat Kamang dan Sumatera Barat secara umum tetap menolak membayar pajak. Upaya pemaksaan tidak membuahkan hasil, karena hasil panen dibawa diam-diam oleh para saudagar ke Pekanbaru dan bahkan Singapura.
“Pajak itu akhirnya tidak jadi dikenakan karena perlawanan rakyat, digagalkan Belanda, daripada mereka harus membunuh semua rakyat,” tambah Buchari.
Irwan Setiawan adalah guru sejarah di Sumatra Barat, yang menulis buku “Bau Mesiu: H Abdul Manan dan Perang Kamang 1908”. Buku tersebut merupakan salah satu hasil penelitian yang mendokumentasikan peristiwa bersejarah di kota kecil tersebut.
“Awal penerapan pajak ini ternyata, Belanda sudah melihat bagaimana nilai-nilai ekspor dari hasil bumi Indonesia yang mulai menurun, sehinga mereka membutuhkan dana segar yang harus segera terealisasi dengan cepat, sehingga Belanda mulai menerapkan pajak langsung ini,” ujar Irwan ketika dihubungi VOA.
Di kalangan pemerintah Belanda, rencana tersebut sudah cukup lama dibahas. Setelah cukup matang, sosialisasi mulai dilakukan pada Maret 1908 di Sumatra Barat. Upaya ini menimbulkan reaksi, karena daerah-daerah mulai bergolak.
“Ini merupakan sebuah episode penting dalam sejarah di Sumatera Barat pasca Perang Padri, karena hal ini terjadi di tahun 1908,” tambah Irwan.
Kaitan Perang Kamang dengan Perang Padri (1803-1837) cukup jelas. Belanda membujuk rakyat Sumatra Barat mengakhiri Perang Padri, antara lain dengan iming-iming pembebasan pajak. Lebih dari 70 tahun setelah Perang Padri, rakyat bebas dari beban ekonomi dari pemerintah. Irwan menyebut ini sebagai izin dari Belanda bagi rakyat Sumatera Barat, agar bebas berkembang dari sisi ekonomi.
Perubahan terjadi ketika ekonomi dunia mengalami gejolak. Harga sejumlah komoditas seperti kopi dan cengkeh turun. Di sisi lain, Belanda membutuhkan biaya cukup banyak untuk berperang. Di tengah kas negara yang menipis, memungut pajak dianggap jalan keluar tercepat. Sumatera Barat sebagai tanah para saudagar nampaknya potensial untuk menambal kebocoran anggaran Belanda ini.
“Dalam aturannya, ada yang dengan nominal 2 Gulden, ada yang lebih, ada yang tergantung penghasilan,” papar Irwan.
Semangat perlawanan yang sempat tenggelam ketika Perang Padri berakhir pada 1837, rupanya tidak padam sepenuhnya di Sumatra Barat. Mendengar kabar rencana penerapan pajak ini, para pemimpin rakyat justru menggunakan uangnya untuk membeli senjata tajam guna melawan Belanda. Di sinilah, peran H Abdul Manan, sebagai ulama dengan banyak murid, menjadi penting. Baik rakyat Sumatra Barat maupun Belanda sendiri mencatat ulama ini sebagai penggerak utama Perang Kamang.
Penerapan pajak atau belasting oleh Belanda sebenarnya juga dilakukan di daerah lain. Namun tidak banyak referensi ditemukan terkait perlawanan yang dilakukan rakyat karena beban pajak.
“Dalam koran-koran Belanda diceritakan juga soal ini. Tetapi tidak banyak detil perlawanan pajak di wilayah lain. Ini sebuah bentuk perlawanan nyata yang masih ada di 1908 di Sumatra Barat,” tegas Irwan.
Perang Kecil Berdampak Besar
Perang Kamang, meskipun kecil, sudah ikut tercatat dalam penulisan sejarah nasional Indonesia. Namun, seperti dikatakan Guru Besar Sejarah Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Prof Gusti Asnan, tidak banyak peristiwa serupa yang tercatat baik dalam buku sejarah.
“Memang ada banyak, bahkan sangat banyak, peristiwa-peristiwa kecil di Indonesia ini yang belum mendapat tempat dalam historiografi nasional atau dalam penulisan sejarah nasional. Karena hampir di setiap daerah, peristiwa-peristiwa kecil itu ada dan terjadi,” kata Gusti.
Gusti juga menambahkan, “Sebetulnya walaupun dikatakan peristiwa-peristiwa itu kecil, peristiwa-peristiwa itu juga memberikan perubahan, baik bagi daerah maupun regional, setidaknya pada daerah yang memilki kesamaan kultural, kesamaan sosial politik dan budaya mereka, dan itu memang banyak sekali.”
Dalam buku “Indonesia dalam Arus Sejarah” Perang Kamang telah ikut tercatat.
“Dan ini patut kita syukuri, apresiasi yang diberikan oleh pusat terhadap Perang Kamang sebagai satu peristiwa lokal, yang selama ini nyaris tidak dapat tempat dalam historiografi sejarah nasional,” tambah Gusti.
Menurutnya, ada sejumlah alasan mengapa Perang Kamang, dan juga perang-perang kecil di seluruh Tanah Air layak mendapat tempat dalam catatan sejarah bangsa.
Pertama, meskipun bersifat lokal, tetapi sesungguhnya ini adalah perang yang memiliki kecenderungan yang sama. Pola perang yang sama hampir terjadi di seluruh Sumatra Barat pada awal abad 20, tepatnya pada 1908.
Alasan kedua adalah soal latar belakang. Gusti mengatakan, peristiwa Perang Kamang adalah reaksi dari orang Indonesia atau orang Sumatra Barat khususnya, yang mewakiil semangat atau buah pemikiran orang Indonesia secara keseluruhan. Masyarakat Sumatra Barat khususnya, dan hampir seluruh etnik serta suku bangsa di Indonesia, tegas Gusti, pasti menentang keras penerapan pajak yang dilakukan oleh Belanda.
“Sehingga saya merasa, Perang Kamang mendapat tempat dalam sejarah nasional, karena perannya yang tidak hanya lokal itu, dan pesan yang disampaikan itu mewakili seluruh rakyat Indonesia,” lanjut Gusti.
Di tingkat lokal, upaya memperpanjang daya ingat rakyat terhadap sejarah perlawanan para leluhurnya juga dilakukan dengan berbagai cara. Metode serupa, bisa diterapkan untuk peristiwa-peristiwa kecil dalam sejarah lokal, yang berdampak bagi sejarah nasional.
Gusti menekankan, bahwa rakyat Sumatra Barat telah menjadikan Perang Kamang sebagai ingatan kolektif. Apalagi peristiwa-peristiwa yang senada dan semacam Perang Kamang ini, juga terjadi di hampir seluruh wilayah tersebut.
“Jadi kalau orang Batusangkar, Orang Padang, atau orang Sijunjung atau orang Pasaman berbicara tentang Perang Kamang, sebetulnya mereka juga berbicara tentang peristiwa yang hampir sama di daerah mereka pada 1908 tersebut,” kata Gusti.
Selain itu, peristiwa tersebut juga diperingati setahun sekali, tidak hanya di Kamang sendiri tetapi juga di wilayah lain seperti Manggopoh, Batusangkar hingga Padang. Penting juga peran penulis sejarah dalam menjaga ingatan rakyat, dan Perang Kamang terus ditulis dalam berbagai buku sejak tahun 50-an hingga saat ini.
“Alhamdulillah, tulisan yang banyak itu memudahkan ketika Jakarta memutuskan Perang Kamang dan Perang Pajak secara umum ke dalam historiografi Indonesia,” ujar Gusti.
Sebuah langkah yang perlu dilakukan untuk ratusan, bahkan ribuan peristiwa perang lokal di seluruh Indonesia, yang terjadi selama masa kolonial lebih 300 tahun itu setidaknya untuk menjadi pengingat bagi rakyat, bahwa peristiwa-peristiwa kecil itu turut membentuk sejarah yang berujung pada pernyataan Proklamasi pada 1945.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah