TM Luthfi Yazid: Hentikan ‘Kongkalikong’ Baleg DPR RI yang Inkonstitusional

Suasana sidang di Baleg DPR RI yang ‘mengangkangi’ putusan Mahkamah Konstitusi. (Foto: Net)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Pengamat Hukum Tata Negara, Dr. TM Luthfi Yazid, S.H., LL.M., yang juga Ketua Umum DePa-RI (Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia) mengutuk sikap Baleg (Badan Legislatif) DPR RI yang berusaha menganulir dan membegal putusan Mahkamah Konstitusi No 60/PUU-XXII/2024 terkait Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah yang memungkinkan partai yang tidak punya kursi di DPRD dapat mencalonkan Kepala Daerah. Putusan MK No. 60 inilah yang mau dianulir oleh Baleg DPR RI.

Mantan pengacara Calon Presiden RI Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019 dan pengacara Calon Presiden RI Ganjar Pranowo tahun 2024 itu mengendus niat Rapat Baleg DPR RI yang ugal-ugalan serta menerapkan barbarianism hukum dalam membahas revisi UU Pilkada serta berusaha menganulir putusan MK.

Alumnus UGM dan Warwick University, Inggris itu mengungkapkan alasan Baleg RI tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, motif utama Baleg DPR RI adalah materi dan kekuasaan. Sebab dengan adanya putusan MK No. 60 tersebut, maka kartel partai politik untuk kepentingan Pilkada telah diamputasi oleh MK.

Kedua, selama ini untuk menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota maka sang calon harus membayar upeti dan mahar kepada partai politik dengan jumlah yang sangat besar. Dengan adanya putusan MK No. 60, peran partai politik dalam urusan Pilkada diminimalisir.

Ketiga, putusan MK adalah sejajar dengan UU dan sifatnya final and binding dan karenanya harus dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebab itu, tidak dapat dianulir bahkan oleh MK sendiri. Upaya busuk yang dilakukan oleh Baleg DPR RI untuk membahas revisi UU Pilkada serta upaya untuk mengambil keputusan terhadap RUU tentang Perubahan Keempat atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU dengan demikian harus dihentikan.

Keempat, apa yang dilakukan oleh Baleg DPR RI hanyalah puncak gunung es dari carut-marutnya persoalan bangsa terutama dalam satu dasawarsa ini. Hal ini bukan saja mencederai nilai demokrasi, namun juga inkonstitusional serta suatu langkah pembusukan total (total decayed) atas prinsip negara hukum. Upaya yang dilakukan oleh Baleg DPR RI adalah sebuah anarkisme hukum (legal anarchism) yang berdampak jangka panjang dan mengancam demokrasi di tanah air.

Luthfi Yazid jadi teringat, bagaimana Presiden Sukarno membubarkan DPR (Konstituante) melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan Konstituante benar-benar lenyap di jaman itu. Presiden Gus Dur juga pernah mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 23 Juli 2001, tapi sayangnya dekrit Gus Dur tidak memiliki power of force, sehingga parlemen saat itu tetap bercokol, berkuasa. Dua Presiden RI yang karismatik itu vis a vis dengan DPR, sementara Presiden Jokowi saat ini justeru berangkulan dengan DPR. Suatu perbedaan yang mencolok!

Oleh sebab itu, menurut Luthfi Yazid– yang juga berprofesi sebagai advokat yang pernah menjadi peneliti dan dosen tamu di University of Gakushuin, Tokyo ini– tidak ada jalan lain selain membangun kesadaran kolektif untuk membangun kembali demokrasi demi menjaga mandat konstitusional dan marwah bangsa mewujudkan negara hukum yang berkeadilan.

Masyarakat sipil, para cendikiawan, para advokat, buruh, petani, mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya harus berani peduli dan bersuara demi tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini. Perjuangan menegakkan cita-cita negara hukum yang berkeadilan kinilah saatnya, sekarang atau kita akan tenggelam sebagai sebuah bangsa. Keberlanjutan—keculasan berlanjut yang dipertontonkan maupun yang tidak tampak selama ini, sudah semestinya kita tinggalkan dan “perangi” bersama.

Ingatlah bahwa, keberanian itu seperti virus; ia akan menular. Justitia Omnibus, justice for all, keadilan untuk semua.

Editor: Agung