J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) menyelenggarakan hajatan perdananya berupa Launching dan Musyawarah Nasional (Munas) 1 di di Hotel Jayakarta di kota bersejarah yakni kota Yogyakarta hari Minggu 25 Agustus 2024.
Dalam acara yang dihadiri para advokat dari seluruh Indonesia itu hadir juga beberapa pejabat dari lingkungan pengadilan, beberapa Ketua Pengadilan Negeri di wilayah Yogyakarta, Depkumham RI, kepolisian, para dosen hukum, guru besar hukum dan tokoh masyarakat.
Juga memberikan ucapan selamat serta testimoninya melalui video diantaranya Komisioner Komisi Yudisial, Prof. Dr. Mukti Fajar, Mantan Ketua MK Dr. Hamdan Zoelva, SH, MH, Mantan Wakil KPK Dr. Bambang Widjojanto, Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Dr. Maqdir Ismail, SH, LL.M, dan Ketua LPSK Dr. Jend. (P) Achmadi, Hakim MK Dr. Wahiduddin Adams,S.H.,
Kemudian, aktivis anti korupsi dan dosen Fakultas Hukum UGM Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LLM , Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof. Iwan Satriawan, SH, MCL, PhD, musisi dan anggota DPR RI Enfonda Mekel (Once Mekel).
Selanjutnya, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, pengamat militer dari Hudson Institute, AS dan associate Professor di University of Gakushuin, Tokyo Dr. Satoru Nagao, mantan dekan Fakultas Hukum UI, Prof. Dr. Topo Santoso, SH, MH, Wamenaker RI, Ir. Afriyansyah Noor, pakar hukum Universitas Andalas, Feri Amsari dan lain sebagainya.
Menurut Dr. TM Luthfi Yazid, SH, LL.M yang ditunjuk sebagai Ketua Umum pertama DePA-RI banyaknya dukungan merupakan suatu kebahagiaan sendiri sekaligus sebagai tanggungjawab dalam membangun DePA-RI kedepan. Luthfi Yazid beserta jajarannya diantaranya Sekertaris Jenderal Dr. Sugeng Aribowo, S.H., MH, Dewan Pengawas Agus Slamet Hidayat, S.H., Theodorus Wahyu, Bendahara Umum, Pramono Istianto, SH dkk menyambut baik banyaknya dukungan atas DePA-RI.
Menurut pria yang pernah menjadi asisten pribadi advokat dan perintis LBH, Prof. Dr Adnan Buyung Nasution ini mencermati secara seksama perkembangan terakhir di tanah air, terutama dalam hal penegakan supremasi hukum dan keadilan (supremacy of law and justice), sudah saatnya kita melakukan introspeksi mendalam guna bertanya dalam lubuk hati: adakah sesuatu yang keliru dalam penegakan hukum yang dilakukan? Apakah mandat Konstitusi, UUD 1945, dalam mewujudkan cita-cita sebagaimana ditekadkan dalam Pasal 1 ayat 3 (negara hukum) dan Pasal 28 D ayat 1 (kepastian hukum yang adil), sebagai pedoman utama itu, telah dilaksanakan?
Kini, republik ini sudah 79 tahun usianya sejak diproklamasikan. Ujian sejarah telah banyak kita lalui. Sejak jaman Orde Lama, Orde Baru, serta memasuki era Reformasi sampai saat ini. Jika sejarah kita mau lebih ringkaskan lagi, kita fokus dengan apa yang terjadi minggu/pekan ini di hampir semua wilayah di seluruh tanah air terkait demonstrasi terhadap upaya Baleg DPR RI untuk merevisi UU Pilkada serta berupaya mensubordinasi Konstitusi dengan mencoba menganulir putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/2024 yang baru saja diputuskan.
Akibat upaya penjegalan Konstitusi (justeru oleh parlemen sendiri), masyarakat, mahasiswa, buruh dan kalangan kampus turun ke jalan melakukan demonstrasi di berbagai daerah dengan mendatangi gedung DPR RI, Gedung DPRD, KPU, KPUD dan berbagai gedung pemerintah lainnya. Mereka bersuara kompak: hentikan kongkalikong Baleg DPR RI yang inkonstitusional itu.
Akhirnya, setelah demonstrasi yang merebak dimana-mana– dan MK menyerukan agar putusan MK dilaksanakan, sebab bila tidak dilaksanakan maka hasil Pilkada dianggap tidak sah oleh MK—DPR pun bertekuk lutut—meski tidak meminta maaf kepada publik atas kebrutalannya itu– dan mengeluarkan statement bahwa putusan MK yang harus dilaksanakan.
Luthfi Yazid yang pernah menjadi peneliti di University of Gakushuin, Tokyo ini menambahkan, belakangan ini sangat banyak sekali anomali-anomali yang terjadi.
Upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK dan berbagai cara dilakukan; lahirnya UU Omnibus Law secara sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan partisipasi publik secara maksimal; ketidak-netralan aparat; cawe-cawe dalam Pilpres/Pilkada, menyempitnya kebebasan sipil, intimidasi terhadap jurnalis dsb. Anomali-anomali/penyimpangan yang jauh dari cita-cita pendiri republik ini dan amanah konstitusi untuk mewujudkan negara hukum/ rule of law/rechtstaat atau constitutionalism terjadi di depan mata kita.
Thomas S Kuhn, seorang ilmuwan yang mendalami filsafat ilmu pengetahuan (the philosophy of science) dalam The Structure of Scientific Revolutions (the University of Chicago,1962,1970) dalam suatu karyanya mengatakan yang kira-kira berbunyi begini: secara saintifik, apabila di suatu masyarakat banyak terjadi anomali-anomali (dalam penegakan hukum misalnya), maka suatu saat akan terjadi perubahan paradigma, akan lahir kelompok-kelompok pencerah yang akan menyuarakan kebenaran dan keadilan. Kuhn membahasakannya dengan singkat “ … by replacing those components of the previous paradigm with others…” (hal.78).
Saya berharap, lahirnya DePA-RI (Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia) menjadi bagian dari kelompok-kelompok pencerah (enlightened groups) itu. Kata “Dewan” atau “Council” dalam DePA-RI adalah simbul kebersamaan, togetherness in brotherhood (kebersamaan dalam persaudaraan).
Kata “pergerakan” (movements) adalah sebuah process of becoming, yakni sebuah upaya terus menerus untuk memperjuangkan values yakni kebenaran dan keadilan (the truth and justice). Kata “advokat” adalah salah satu dari profesi tertua selain dokter dan akuntan yang karena pekerjaannya ia mendapatkan “dignity” atau “honor” (kehormatan dan penghargaan), yang kemudian diplesetkan semata-mata imbalan.
Tentu kita masih ingat tentang peran penting para Sarjana Hukum (Meester in de Rechten) di masa lalu. Mereka juga adalah para advokat pejuang yang mau terlibat dengan persoalan masyarakat, bangsa dan negaranya. Mereka terpanggil untuk berbuat ketika melihat ketidakadilan, kedholiman serta penindasan.
Mereka sangat gigih untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan, keterbelakangan dan penindasan. Mereka itu meninggalkan sebuah legacy yang dikenang sampai saat ini. Mr. Muh Yamin, Mr. Soepomo, Mr. Muh Rum, Mr. Achmad Subardjo, Mr. Mr. Muh Natsir, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Johanes Latuharhary, Mr. Kasman Singodimedjo hanyalah beberapa nama yang bergelar Mr. yang dapat kita sebutkan.
DePA-RI lahir, kata advokat alumnus UGM dan Warwick University ini, adalah untuk mengambil peran sejarah (role for history). Lahirnya DePA-RI diharapkan memberikan warna lain, ditengah banyaknya sinisme kepada para advokat di tanah air, yang sering disamakan sebagai profesi yang hanya mencari duit dengan kehidupan yang gemerlap namun tidak bersuara saat terjadi penindasan, kedholiman serta penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kredo Officium Nobile (profesi terhormat) sering diungkapkan namun sudah tidak lebih sekedar buzzword atau kata-kata yang telah kehilangan ruh dan maknanya.
DePA-RI tidak hanya berhenti pada level retorika, namun akan melakukan aksi. Di bulan Agustus ini juga salah satu Wakil Ketua Umumnya Ahmad Abdul Aziz Zein, SH, MH bertolak ke Jepang untuk membantu secara probono (cuma-cuma) kasus penipuan ratusan penempatan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Jepang oleh warga negara Indonesia yang berada di Jepang.
Para calon TKA dijanjikan pekerjaan di negeri Sakura, setelah menyetor sejumlah uang, ternyata pekerjaan yang dijanjikan bohon belaka. Ketua Umm DePA-RI, Luthfi Yazid, telah melakukan koordinasi sebelumnya dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo untuk penanganan kasus TKA tersebut. DePA-RI akan terus berkoordinasi dengan KBRI, menjalin kerjasama dengan pengacara di Jepang serta membentuk task force untuk penanganan perkara ini.
Selama saya memimpin DePA-RI, saya berjanji tidak akan pernah bersikap partisan, namun tetap akan independen, berdiri di semua golongan dan berpijak pada nilai kebenaran dan keadilan. Sekali lagi, saya akan berada ditengah bersama rakyat pencinta kebenaran dan keadilan, tidak ke kanan- tidak ke kiri; tidak akan membedakan suku, agama, ras, gender serta perbedaan pandangan politik.
Kita akan tetap mengawal profesi kita dan DePA-RI untuk terus bersikap objektif dengan nurani, nalar dan selalu berpijak pada Pancasila dan UUD 1945. Dengan cara itu DePA-RI akan jaya serta terus berjuang untuk kebenaran, keadilan, hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi dengan terus memikul tekad Justitia Omnibus (keadilan untuk semua).
Editor: Agung