Oleh Dahlan Iskan
PUKUL 02.45 nan gelap kereta berhenti di stasiun Cirebon. Tiga mobil menjemput saya dan rombongan. Kami langsung menuju Indramayu. Lewat jalan tol jurusan Jakarta. Tidak bisa laju. Banyak sekali perbaikan jalan menuju exit Cikedung.
Pukul 04.30 kami tiba di tujuan: pesantren Ma’had Al Zaytun. Ini untuk kali ketiga saya ke pesantren 1.800 hektare ini.
Hari masih gelap. Menjelang subuh. Sudah disediakan beberapa kamar untuk rombongan kami: di Pesantren Inn. Inilah gedung besar lima lantai yang setara dengan hotel bintang tiga.
Setelah mandi dan salat subuh kami turun ke lobi. Sudah ramai. Banyak sekali orang turun dari lantai atas pakai tangga. Di antara mereka banyak yang mengenal saya. Lobi pun jadi arena studio foto.
Kami pun saling sapa. Tahulah saya: mereka adalah orang tua santri yang sekolah di Al Zaytun.
Saya bertanya asal daerah mereka: Jakarta, Bekasi, Bandung, Lampung, Solo, Semarang, Magetan, Pacitan, Malang, Surabaya, Bondowoso. Begitu beragam. Dari banyak wilayah di Indonesia.
Mereka sudah tiga hari di Al Zaytun. Selasa kemarin adalah hari keempat rangkaian acara peringatan 25 tahun pesantren itu.
Selama empat hari itu, tiap pagi, mereka harus berolahraga. Jalan kaki. Ke mana pun. Di dalam kompleks pesantren yang luas, rindang, dan tertata berblok-blok penuh pepohonan.
Berolahraga rupanya sudah menjadi jiwa pesantren ini. Doktrin Al Zaytun memang tiga kata: sehat, cerdas, manusiawi. Pun pemimpin tertinggi Al Zaytun. Tiap hari berolahraga jalan kaki: 20.000 langkah. Termasuk ketika sang pemimpin menjalani hidup di penjara. Tiap hari ia jalan kaki keliling lapangan kecil di dalam penjara Indramayu. Selama 351 hari.
Anda sudah tahu siapa pemimpin tertinggi Al Zaytun: Syekh Panji Gumilang. Ia baru saja selesai menjalani masa hukumannya.
Kini Syekh sudah aktif kembali di Al Zaytun –termasuk jalan kaki lagi 20.000 langkah di sana.
Khusus hari Selasa kemarin orang tua santri punya dua pilihan olahraga: jalan kaki atau senam bersama saya dan tim dari Surabaya.
Di antara 1.800 orang tua santri yang hadir banyak yang pilih jalan kaki. Senam kami tidak seberapa laku: hanya sekitar 400 orang yang ikut goyang-goyang badan. Itu pun sudah termasuk santri dewasa.
Saya agak sulit memberi contoh gerakan senam gaya khusus ini. Hari masih gelap. Mereka sulit melihat Nicky dan saya yang lagi di atas panggung.
Sesaat kemudian fajar mulai menyingsing. Goyang masal pun riuh.
Jadwal olahraga itu sangat dini agar tidak mengganggu puncak acara milad: pukul 08.00.
Lokasi puncak acara di dalam Masjid Rahmatan Lil Alamin yang masih baru. Belum sepenuhnya jadi, tapi sudah nyaris selesai.
Kubahnya yang berwarna keemasan sudah tampak menguning dari jauh: kubah itu bukan terbuat dari emas tapi benar-benar disemprot dengan lapisan emas.
Hanya pilihan warnanya tidak murni persis warna emas seperti masjid Kubah Emas di Depok. Di Al Zaytun warna emas itu dibuat sedikit lebih kuning tua.
Masjid ini tinggi sekali. Tujuh lantai. Tingginya 99 meter. Menaranya lebih tinggi lagi: 34 lantai, 201 meter.
Kaca-kaca jendela juga belum terpasang. Angin sepoi masuk ke dalam masjid –membuat udara pagi musim kemarau terasa lebih sejuk. Acara berlangsung di lantai dasar masjid bertingkat tujuh ini.
Sekitar 5.000 orang memenuhi masjid. Mereka duduk di kursi yang disusun sepenuh masjid.
Saat masuk masjid sepatu harus dilepas. Panitia membagikan kantong sepatu yang didesain secara khusus. Masing-masing membawa kantong berisi sepatu itu ke tempat duduk mereka.
Saya didudukkan di kursi utama menghadap mereka.
Ada tiga kursi di situ. Yang dua lagi untuk Syekh Panji Gumilang dan istri. Mayjen Purn Kivlan Zein juga berada di deret depan.
Komjen Pol Purn Susno Duadji sudah mengisi acara di situ sehari sebelumnya. Pun pemikir Pancasila Prof Dr Yudi Latief. Termasuk orang seperti Ilham Aidit –anak ketua umum PKI di masa lalu.
Mereka adalah para pembicara seminar tiga hari bertemakan “Indonesia 1000 Tahun Lagi”.
Di puncak acara ini saya melihat ‘keanehan’ pada diri Syekh Panji Gumilang: ia mengenakan baju batik lengan panjang. Tumben.
Tidak biasanya Syekh tampil berbatik. Selama ini selalu saja Syekh berpakaian ala Barat: bersepatu, celana pantalon, jas, dan dasi.
“Tumben pakai batik,” sapa saya.
Barulah saya tahu: itu bukan batik biasa. Itu adalah baju batik yang sudah berumur 25 tahun. Itulah baju batik yang dikenakan Syekh saat meletakkan batu pertama pembangunan Al Zaytun 25 tahun lalu.
Setelah itu batik tersebut hanya satu kali lagi dipakai: saat menemui Wakil Presiden (waktu itu) Try Sutrisno di Surabaya.
Saya tidak bisa mengikuti puncak acara sampai selesai. Saya harus buru-buru ke Jakarta. Tapi saya diminta menanam pohon dulu. Lokasinya jauh dari masjid. Yakni di pinggir jalan baru yang sedang dibangun Al Zaytun.
Jalan baru itu panjangnya dua kilometer. Itulah rencana jalan menuju gerbang baru: gerbang barat. Kalau jalan itu nanti selesai lengkaplah Al Zaytun memiliki empat gerbang di empat penjuru angin.
Saya tertegun sampai di lokasi penanaman pohon. Pohon jati yang akan ditanam sudah besar. Sudah berumur empat tahun. Sudah setinggi lebih enam meter. Berarti deretan pohon di sepanjang jalan baru itu nanti adalah pohon yang langsung sudah rindang.
Saya pun tertegun melihat cara Al Zaytun memindahkan pohon besar: pakai alat berat jenis Big John. Saya sering melihat cara kerja mesin seperti itu di TikTok. Dengan berdecak kagum. Kali ini saya melihatnya di kenyataan.
Alat berat itu memiliki ‘kuku kuku besi’ yang besar nan tajam. ‘Kuku’ itu menghunjam tanah di sekeliling pohon. Lalu menjebol pohon besar tersebut berikut akar dan tanahnya. Dibawa ke lokasi baru. Dimasukkan ke lubang besar yang juga dibuat dengan alat berat.
Maka sebenarnya bukan saya yang menanam pohon itu. Big John-lah yang melakukannya. Setiap tamu VIP memang diminta ‘menanam’ pohon di pinggir jalan baru tersebut.
Pohon yang dipindahkan itu berasal dari lingkungan Al Zaytun sendiri. Saat awal menanam jati dulu jarak tanamnya dibuat lebih rapat. Kian tahun dilakukan penjarangan. Tidak dengan cara ditebang tapi dipindahkan.
Rasanya mustahil program seperti ini bisa dilakukan tanpa Big John. Tapi bahwa ada pesantren yang terpikir membeli Big John baru saya lihat di Al Zaytun.
Ternyata, di Indonesia, memang baru ada dua mesin pemindah pohon seperti itu. Satu di Al Zaytun. Satunya lagi milik Djarum.
Saya lama menatap Big John. Membayangkan berapa miliar rupiah harganya.
Saya sampai lupa di mana sepatu saya. Maka saya ke lokasi penanaman pohon berjalan kaki tanpa sepatu. Dari masjid ke jalan nun baru.
Di bawah terik matahari kemarau Indramayu. Tapi sebagai orang dari desa masih ingat cara jalan tanpa sepatu di musim panas: jalanlah lebih banyak pakai tumit yang kulitnya lebih tebal.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia