Oleh Shamsi Ali Al-Kajangi
PADA bagian lalu disampaikan bahwa hidayah at-taufiiq itu secara absolut ditentukan oleh Allah SWT. Ayat Al-Quran menegaskan “innallah yahdi man yasyaa” (Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki”.
Walau kata “man” (siapa) itu merujuk kepada Allah, sebagian juga memahami adanya keterlibatan manusia. Artinya “yasyaa” (berkehendak) itu memiliki dua ujung. Selain Allah berkehendak, ada juga faktor manusia itu sendiri. Dalam artian bahwa untuk mendapatkan petunjuk dari Allah seseorang harus memiliki keinginan dan usaha. Jika tidak, Allah tidak akan berkehendak membuka jalan hidayah baginya.
Mungkin inilah salah satu makna ketika Allah menyampaikan: “dan orang-orang yang bermujahadah di jalanKu akan aku tunjuki jalan baginya”.
Namun demikian sebagian ulama memberikan contoh-contoh kongkrit betapa seseorang boleh saja diberikan petunjuk tanpa keinginan atau ikhtiar manusiawi. Umar RA misalnya justru mendapat hidayah di saat ingin menghabisi Rasulullah SAW. Walau pada kasus ini ada pengecualian karena memang doa Rasulullah yang dikabulkan oleh Allah SWT.
Hidayah bi Ar-rahmah
Ketika seseorang telah mendapatkan hidayah at-taufiiq, dia menerima kebenaran itu berarti dia telah masuk ke dalam rumah kebenaran. Dia telah dikategorikan sebagai orang yang telah mendapat petunjukNya. Dia dikategorikan seorang Muslim atau Mukmin yang menerima dan mengimani ajaran Allah dan RasulNya.
Akan tetapi masuknya seseorang dalam agama Islam belumlah memberikan kepastian keselamatan ukhrawi. Menerima Islam bahkan mempercayainya memerlukan pembuktian dan tindak lanjut yang sungguh-sungguh. Dan kesungguhan ini juga merupakan bentuk hidayah pada kategori yang berbeda.
Keimanan Islam jelas berbeda dengan konsep keimanan umat Kristiani dalam hal keselamatan. Bagi mereka asal “percaya tuhan telah mengutus anak satu-satunya untuk disalib untuk menebus dosa manusia” keselamatan itu menjadi jaminan. Lalu bagaimana kalau orang itu menjadi penjahat? Menjadi drug cartel atau pembunuh massal misalnya?
Di sinilah Islam hadir dengan ajaran yang imbang dan rasional. Iman itu sangat penting. Karena iman menjadi landasan amal. Tapi iman menjadi pincang dan tidak bermakna jika tidak diikuti oleh pembuktian. Karenanya Islam mendorong pemeluknya untuk masuk ke dalam agama ini secara “menyeluruh” (udkhuluu fis silmi kaaffah).
Menerima Islam secara menyeluruh inilah yang diekspresikan dengan perintah: “bertakwalah kepada Allah dengan ketakwaan yang sesungguhnya” yang dengannya anda “tidak akan meninggal kecuali dalam keadaan Muslim” (Al-Imran: 101).
Untuk menjadi Muslim yang memiliki komitmen kaaffah (berislam secara menyeluruh) inilah yang memerlukan petunjuk khusus dari Allah SWT. Petunjuk ini menjadi sangat khusus karena akan menentukan seseorang terselamatkan dari api neraka atau tidak. Hidayat at-Taufiq menjadi pintu bagi terwujudnya hidayah yang disebut oleh Al-Imam Raghib Al-Asfahani dengan hidayat bi ar-Rahmah.
Dalam realita keislaman kita bisa menyaksikan betapa banyak orang yang telah menjadi bagian dari mereka yang meyakini agama ini. Tapi justeru hidupnya penuh dengan hal yang bertolak belakang dengan esensi keimanannya. Iman mengajarkan kejujuran (amanah). Tapi hidupnya penuh dengan tipu daya dan ketidak jujuran.
Benarlah apa yang disabdakan Rasulullah: “tak seorang pun di antara kalian yang akan masuk syurga tanpa kasih sayang Allah”. Para sahabat bertanya: “Engkau juga ya Rasul?”. Jawab beliau: “Iya benar. Saya juga tidak masuk syurga jika bukan karena kasih sayang Allah”.
Dan kasih sayang Allah itu hanya akan didapatkan melalui ketakwaan yang sesungguhnya yang kemudian mengantar kepada kematian dalam keadaan Islam. Dalam ekspresi lain Rasulullah mengatakan: “barangsiapa yang di akhir ucapannya adalah laa ilaaha illallah pasti masuk syurga”. Tentu kalimat Tauhid ini bukan sekedar ucapan lisan. Tapi komitmen yang dibarengi oleh pembuktian (amal saleh dan ketakwaan).
Hidayah bi ar-Rahmah menjadi impian semua insan Mukmin. Bahwa pada akhirnya semua proses hidayah (keislaman) kita harus mengantar kepada kepastian masuk syurga. Dan kepastian itu ada pada “rahmah” (kasih sayang Allah SWT).
Allahumma Irhamna ya Rahiim!
Demikian arti, urgensi dan klasifikasi hidayah dalam perspektif Islam. Penjelasan ini merujuk kepada Kitab Gharib fil-Qur’an Al-Karim karya Sheikh Raghib al-Asfahani. Beliau adalah seorang Ulama Sunni yang hidup di tahun 400-an Hijriyah. Karya beliau ini dikenal sebagai buku syarah (penjelasan) arti Al-Qur’an kata per kata yang pertama dalam sejarah Islam.
Semoga manfaat dan Allah meridhoinya kita semua. Amin!
Bellevue Hospital, 27 Agustus 2024
Penulis adalah Putra Kajang di Kota New York Amerika Serikat. Naskah ini dikirim via japri oleh penulis ke J5NEWSROOM.COM, Kamis 29 Agustus 2024