Menag: FKUB Kelak Tidak Akan Beri Rekomendasi Pendirian Rumah Ibadah

Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas. (Courtesy: Kementerian Agama RI)

J5NEWSROOM.COM Jakarta – Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengadakan rapat kerja dengan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas di kompleks parlemen, Jakarta. Salah satu isu yang dibahas adalah penguatan kerukunan umat beragama.

Dalam rapat tersebut, Menteri Yaqut menjelaskan salah satu rencana kerja prioritas Kementerian Agama untuk tahun depan adalah layanan kehidupan beragama dan pengukuhan kerukunan umat beragama. Terkait hal ini, katanya, peraturan presiden mengenai pemeliharaan kerukunan umat beragama akan segera diterbitkan, tanpa menjelaskan waktu pastinya.

“Rancangan peraturan presiden tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama telah melewati tahap harmonisasi dan mendapatkan persetujuan dari Kementerian Hukum dan HAM (hak asasi manusia). Setelah ini, rancangan Perpres (peraturan presiden) ini akan diajukan oleh menteri agama kepada presiden untuk disahkan menjadi perpres,” katanya.

Setelah itu, kata Yaqut, Kementerian Agama akan menyusun aturan lebih lanjut tentang peraturan presiden tersebut melalui peraturan menteri agama, yang berfungsi sebagai pelengkap dari peraturan presiden itu.

Yaqut menambahkan berdasarkan peraturan presiden soal pemeliharaan kerukunan umat beragama tersebut, nantinya akan dibentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) tingkat nasional. Selama ini, katanya, hanya ada FKUB di tingkat provinsi dan kabupetan/kota. FKUB nantinya akan dioptimalkan untuk kegiatan pemeliharaan kerukunan umat beragama dan bukan untuk memberikan rekomendasi dalam mendirikan rumah ibadah seperti yang terjadi saat ini.

Wakil Ketua Komisi VIII dari Fraksi Partai Golongan Karya Tubagus Ace Hasan Syadzily mengungkapkan salah satu masalah dalam kerukunan beragama adalah pendirian rumah ibadah.

“Bagaimana kita bisa mendorong agar pendekatan dialog dalam penyelesaian berbagai persoalan kerukunan umat beragama ini harus dipastikan lebih dikedepankan dan salah satu instrumen membangun dialog itu adalah melalui FKUB,” ujarnya.

Karena itu, Ace Hasan khawatir, jika salah satu peran strategis FKUB memberi rekomendasi terhadap pendirian rumah ibadah dihilangkan, kepercayaan masyarakat terhadap FKUB akan hilang.

Meski begitu, dia meminta semua pihak dapat mendorong lembaga-lembaga yang dijadikan tempat mediasi diberi kepercayaan oleh masyarakat, terutama oleh pemangku kepentingan sehingga betul-betul menjadi tempat untuk bertukar pikiran dan mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat beragama.

Menjawab kekhawatiran tersebut, Yaqut, menjelaskan selama ini ada dua rekomendasi yang dibutuhkan terkait pendirian rumah ibadah, yakni rekomendasi dari FKUB dan rekomendasi dari Kementerian Agama. Kelak, katanya, rekomendasi itu akan datang dari Kementerian Agama. Menurutnya kementeriannya pun akan berkonsultasi dengan tokoh-tokoh agama sebelum mengeluarkan rekomendasi pendirian rumah ibadah itu.

Yaqut menjelaskan lebih jauh, fakta di lapangan selama ini menunjukkan bahwa rekomendasi dari FKUB terkait pendirian rumah ibadah sulit didapat. Ia menduga penyebabnya adalah politik. Di daerah di mana Muslim merupakan mayoritas, misalnya, ibadah non-muslim sering dipersulit pendiriannya untuk menjaga elektabilitas kepala daerah setempat.

Karena itu, Yaqut mengatakan Kementerian Agama mengambil alih rekomendasi pendirian rumah ibadah dengan tujuan agar lebih adil dan proporsional.

Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengapresiasi langkah progresif penghapusan syarat rekomendasi FKUB, yang dinilai lebih kompatibel dengan tata kebinekaan Indonesia yang terdiri dari berbagai identitas agama dan kepercayaan.

Halili mengatakan di banyak kasus, FKUB memang menjadi salah satu aktor yang menghambat proses pengajuan pendirian rumah ibadah. Pasalnya, jelas Halili, keanggotaan FKUB seringkali merupakan ”perpanjangan tangan” kelompok mayoritas setempat. Keanggotaan FKUB, menurutnya, dipilih berdasarkan perspektif proporsi dan bukan representasi.

“Kalau kita cek beberapa kasus, FKUB akhirnya berada dalam posisi sekedar untuk menyetujui atau tidak menyetujui, karena keanggotaannya itu perpanjangan tangan kuasaan mayoritas maka dia sebenarnya kalau tidak menyetujui, mayoritas setempat tidak menyetujui pendirian rumah ibadah dengan menggunakan badan FKUB,” ujarnya.

Ditambahkannya, FKUB belum optimal dalam mencegah dan menangani berbagai pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB).

Dalam Laporan Kondisi Keberasan Beragama dan Berkeyakinan yang dikeluarkan SETARA Institute baru-baru ini diketahui bahwa sepanjang 2023, ada sedikitnya 65 tempat ibadah yang mengalami gangguan. Gangguan ini cukup beragam, mulai dari penolakan pendirian, pembatasan pendirian, pelarangan pendirian, hingga penyegelan tempat ibadah. Angka itu meningkat dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 50.

Bahkan jika ditarik dalam spektrum waktu yang lebih panjang, yaitu sejak riset KBB dilakukan pertama kali oleh SETARA Institute (sepanjang 2007-2023), telah terjadi 636 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah. Gangguan tersebut mencakup pembubaran dan menolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya. Seluruh gangguan tersebut menimpa kelompok minoritas dalam relasi inter dan intra agama.

FKUB, tambah Halili, harus difokuskan pada kemajuan kerukunan umat beragama dengan memperbanyak pertemuan atau dalog lintas agama. Bukan memberi atau tidak memberi rekomendasi pendirian rumah ibadah.

Hingga laporan ini disampaikan, masih ada kelompok umat beragama yang menemui kesulitan untuk mendirikan rumah ibadah, hanya karena belum mendapat rekomendasi dari FKUB di daerah masing-masing, dan juga syarat administrasi berupa 60 dukungan masyarakat dan 90 kartu identitas pengguna rumah ibadah.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah