Oleh: Arif Wibawa, Hastho Joko Nur Utomo, Arika bagus
Pemilihan Umum di Indonesia digelar secara serentak pada tahun 2024.Pemilihan Presiden dan pemilihan anggota legislatif di lakukan secara berbarengan pada tanggal 14 Februari 2024. Sementara pemilihan kepala daerah atau Pilkada dilakukan juga secara bersamaan di bulan November 2024.
Pemilihan Umum yang dilakukan secara serentak tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya, meminimalkan anggaran yang dikeluarkan sekaligus juga mempersingkat waktu pelaksanaan sehingga fokus masayarakat pada pesta demokrasi itu juga lebih bisa diarahkan hanya pada beberapa hari saja. Fokus masyarakat yang bisa dipersingkat dalam beberapa hari saja dalam kontestasi politik ini dapat memperkecil resiko terjadinya konflik di tengah masyarakat sebagai akibat dari persaingan politik yang terjadi berkepanjangan.
Sementara itu, kekurangan dari digelarnya Pemilu secara serentak ini adalah meningkatnya jumlah dan meluasnya sebaran hoax politik yang berisi berita palsu maupun ujaran kebencian di media social dan di media online menjelang dan saat Pemilu. Tersebarnya hoax politik yang secara masif di media sosial dapat mengancam terjadinya konflik dan perpecahan di tengah masyarakat. Hoax politik menjadi meningkat secara kuantitas maupun kualitas menjelang dan pada saat pemilu secara serentak baik pemilu presiden maupun pemilu Pilkada.
Hoax politik menjelang pemilu dan saat pemilu banyak bertebaran di media sosial. Kementerian Kominfo mencatat 12.000 lebih isu hoax yang beredar dari Agustus 2018 sampai akhir tahun 2023. Urutan pertama isu hoax paling tinggi Sebanyak 1.615 hoax berkait dengan isu politik. Selama Tahun 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menangani sebanyak 1.615 konten isu hoaks yang beredar di website dan platform digital. Total sejak bulan Agustus 2018, sudah 12.547 konten isu hoaks yang telah ditangani Kementerian Kominfo. Jumlah isu hoaks yang ditangani Tim AIS Ditjen Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo pada Tahun 2023 lebih banyak dibandingkan tahun 2022 yang ditemukenali sebanyak 1.528 isu hoaks (Kominfo,2024).
Sementara itu pada urutan ketiga tertinggi temuan isu hoaks, ada kategori politik. Tim AIS Kementerian Kominfo mengidentifikasi sebanyak 1.628 isu hoaks sejak Agustus 2018. Konten ini didominasi informasi yang berkaitan dengan partai politik, kandidat dan juga proses pemilihan umum.
Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan penanganan atas persebaran isu hoaks yang berkaitan dengan Pemilihan Umum Serentak 2024. Secara rinci, Kementerian Kominfo telah mengidentifikasi 1.325 konten di platform Facebook, 947 konten di platform X, 198 konten platform Instagram, 342 konten platform TikTok, 36 konten plattform Snack Video dan 34 konten platform Youtube\. Menkominfo menyatakan telah mengajukan take down atau tindak lanjut terhadap 1.399 konten yang tersebar di platform digital tersebut.
“Dari total 2.882 konten sudah diajukan untuk take down semua dan yang sudah di-take-down sebanyak 1.399 konten dan sisanya 1.483 sedang ditindaklanjuti,” tuturnya. Menurut Menteri Budi Arie, isu hoaks mengenai Pemilu 2024 selama tahun 2023 terdapat sebanyak 189 isu.
“Peningkatan cukup signifikan pada bulan November s.d. Desember 2023, bersamaan dengan masa Kampanye Pemilu 2024.
Dari data Kominfo di atas terlihat bahwa hoax politik meliputi 203 isu. Dari 203 isu tersebut tersebar di beberapa media sosial sebanyak 2.882 content. Hoax yang dilaporkan tersebut kemudian ditangani oleh Kominfo dengan men-takedown content sebanyak 1.399 dan sisanya 1483 masih ditangani.
Penaganan Kominfo dengan mentakedown konten adalah penanganan kuratif terhadap hoax politik yang beredar selama kampanye dan Pemilu. Penanganan yang bersifat preventif sangat diperlukan sehingga hoax bukan lagi menjadi hal yang menakutkan akan menjadi faktor terjadinya disinformasi dan miskomunikasi politik selama Pemilu. Pemetaan hoax politik menjadi langkah awal untuk melakukan upaya penanganan hoax politik secara preventif. Hasil pembacaan pemetaan hoax poliyik akan dapat dimanfaatkan untuk membuat langkah-langkah antisipatif dan melakukan literasi pemanfaatan media sosial di tengah masayarkat.
Hoax politk di media sosial telah menjadi masalah yang penting dalam konteks masyarakat digital. Masyarakat digital telah memanfaatkan media sosial untuk mencari informasi apapun dalam kehidupan sehari-hari. Penyebaran hoax atau penyebaran informasi palsu atau menyesatkan dapat mempengaruhi opini publik, proses demokrasi, dan stabilitas politik suatu negara. Oleh karena itu, pemetaan dan analisis terhadap hoax politik menjadi penting untuk memahami pola, sumber dan dampaknya.
Pemetaan terhadap hoax politik menjelang Pilkada Langsung menjadi penting untuk dilakukan sebagai upaya mengurangi disinformasi politik yang ditimbulkannya. Dari pemetaan terhadap hoax ini diharapan dapat mengetahui pola pemebentukan dan penyebaran hoax politik dan dapat diminimalisir dampak politik yang ditimbulkannya. Mengidentifikasi sumber-sumber hoax politik juga menjadi hasil yang penting dari pemetaan yang dilakukan.
Hoax Politik Menjelang Pilkada 2024
Menjelang Pilkada 2024 di Indonesia, fenomena penyebaran hoaks politik semakin marak. Seperti dalam kontestasi politik sebelumnya, hoaks telah menjadi alat strategis untuk mempengaruhi opini publik dan mengubah persepsi masyarakat terhadap kandidat tertentu. Penyebaran informasi yang salah ini memiliki dampak signifikan, baik bagi integritas demokrasi maupun terhadap perilaku pemilih.
Selama periode April hingga Juli 2024, berbagai hoaks politik yang berkaitan dengan Pilkada bupati tersebar di Facebook. Contohnya termasuk berita palsu tentang calon bupati yang didiskualifikasi karena alasan yang tidak benar dan tuduhan korupsi yang tidak berdasar terhadap kandidat tertentu. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melaporkan bahwa mereka telah menurunkan 1.971 berita hoaks terkait Pemilu 2024, yang mencakup juga Pilkada, dari media sosial .
Hoaks ini sering kali dibuat untuk memanipulasi opini publik dan merusak reputasi kandidat tertentu, yang dapat mempengaruhi hasil pemilihan. Langkah proaktif dari pemerintah dan platform media sosial dalam menangani dan menurunkan berita hoaks sangat penting untuk menjaga integritas proses pemilu.
Selama periode April hingga Juli 2024, berbagai hoax politik terkait Pilkada Bupati muncul di Twitter. Berikut adalah beberapa hoax yang teridentifikasi :
1.Penyebaran informasi palsu tentang calon bupati terlibat korupsi:
Misalnya, sebuah tweet viral yang mengklaim seorang calon bupati tertangkap tangan menerima suap. Setelah ditelusuri, ternyata foto yang digunakan adalah foto lama yang diambil dari insiden tidak terkait di negara lain.
2.Manipulasi foto dan video:
Beberapa tweet menunjukkan foto calon bupati menghadiri pertemuan dengan kelompok radikal. Namun, analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa foto tersebut telah diedit, dan wajah calon bupati ditempelkan secara digital.
3.Program kerja palsu:
Beredar poster digital yang mengklaim seorang calon bupati akan memberikan bantuan uang tunai langsung setiap bulan jika terpilih. Kandidat tersebut kemudian mengeluarkan pernyataan resmi yang membantah klaim ini, menyatakan bahwa program tersebut tidak pernah menjadi bagian dari platform mereka.
4.Dukungan palsu dari tokoh nasional:
Contohnya, beberapa tweet menyebarkan hoax bahwa seorang tokoh nasional memberikan dukungan kepada calon bupati tertentu. Tokoh nasional tersebut kemudian mengklarifikasi melalui media sosial dan media massa bahwa mereka tidak pernah memberikan dukungan tersebut.
Dengan adanya berbagai hoax ini, penting bagi pemilih untuk memverifikasi informasi dari sumber yang terpercaya dan waspada terhadap upaya manipulasi yang dapat mempengaruhi proses demokrasi. Di balik penyebaran hoaks seringkali terdapat motif ekonomi. Produsen hoaks, termasuk situs-situs atau media sosial abal-abal, memperoleh keuntungan dari klik dan interaksi yang dihasilkan.
Menjelang Pilkada 2024, TikTok menjadi salah satu platform di mana banyak hoaks politik tersebar. Dari April hingga Juli 2024, beberapa hoaks politik yang muncul di TikTok termasuk klaim palsu tentang kandidat tertentu, seperti:
1.Klaim Palsu Mengenai Kredibilitas Kandidat.
Ada beberapa video yang menyebarkan informasi palsu mengenai rekam jejak kriminal atau korupsi dari kandidat tertentu yang tidak terverifikasi.
2.Manipulasi Video dan Gambar :
Beberapa konten di TikTok menggunakan video dan gambar yang telah diedit untuk mendiskreditkan kandidat atau mempengaruhi opini publik secara negatif.
3.Informasi Salah Tentang Proses Pemilihan
Banyak juga informasi yang salah tentang proses pemilihan itu sendiri, seperti tanggal pemungutan suara yang salah atau prosedur yang tidak akurat, yang dapat membingungkan pemilih.
TikTok telah bekerja sama dengan Bawaslu dan berbagai fact-checker untuk memerangi penyebaran hoaks ini dengan berbagai langkah, termasuk menghapus konten yang melanggar panduan komunitas, menurunkan peringkat video yang mengandung informasi yang belum diverifikasi, dan mengedukasi pemilih tentang pentingnya memverifikasi informasi sebelum membagikannya.
Penyebaran hoaks dapat menjadi alat untuk menguatkan dukungan basis politik dengan narasi yang membangkitkan emosi, terutama ketakutan atau kebencian, terhadap pihak lain. Hoaks yang beredar secara masif menjelang Pilkada 2024 dapat berdampak negatif terhadap berbagai aspek:
Hoaks, terutama yang bermuatan Sara, dapat memicu ketegangan dan konflik horizontal di tengah masyarakat. Ini berpotensi memecah belah komunitas dan menimbulkan ketidakstabilan sosial. Informasi yang salah dapat memengaruhi keputusan pemilih. Banyak pemilih yang tidak memiliki akses untuk memverifikasi kebenaran informasi sehingga menerima hoaks sebagai fakta.
Menurunnya Kepercayaan Publik Terhadap Lembaga Demokrasi: Hoaks yang menyerang institusi pemilu dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap hasil Pilkada. Jika tidak segera ditangani, ini bisa menciptakan krisis legitimasi bagi pemimpin yang terpilih.
Strategi Memerangi Hoaks
Untuk meminimalisasi dampak hoaks politik menjelang Pilkada 2024, diperlukan strategi kolaboratif antara pemerintah, platform teknologi, masyarakat sipil, dan pemilih:
Literasi Digital dan Media: Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, serta media perlu meningkatkan literasi digital masyarakat. Pemilih harus diajarkan cara memverifikasi informasi sebelum mempercayai atau menyebarkannya.
Peningkatan Penegakan Hukum: Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) perlu diterapkan secara tegas untuk menindak penyebar hoaks. Selain itu, platform digital juga harus meningkatkan pemantauan dan penghapusan konten yang terbukti hoaks.
Kolaborasi dengan Platform Digital: Platform seperti Facebook, WhatsApp, dan Twitter harus meningkatkan upaya untuk memerangi hoaks, baik melalui algoritma yang mendeteksi berita palsu, maupun dengan memperkuat kerja sama dengan fact-checker.
Kampanye Positif dari Kandidat: Para kandidat harus fokus pada kampanye yang mendidik dan transparan, bukan memanfaatkan hoaks atau informasi menyesatkan untuk meraih suara.
Penutup
Hoaks politik menjelang Pilkada 2024 menjadi tantangan besar bagi demokrasi di Indonesia. Menghadapi penyebaran informasi palsu memerlukan kerja sama berbagai pihak, mulai dari pemerintah, platform digital, hingga masyarakat itu sendiri. Tanpa upaya bersama yang kuat, hoaks dapat merusak integritas Pilkada dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi.