Empat Mahasiswa Program IISMA di Jantung Politik Amerika

Empat mahasiswa program sarjana dari Indonesia yang belajar di school of foreign service, Universitas Georgetown di Washington, DC (dok. pribadi).

J5NEWSROOM.COM, Washington DC – Sejak kecil, Ashrie Wahid memiliki keinginan untuk mengunjungi Amerika Serikat. Pada akhir Agustus lalu, impian tersebut menjadi kenyataan dengan sejumlah keberuntungan yang menyertainya.

Pertama, dia berangkat sebagai mahasiswa penerima beasiswa Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA). Keberuntungan kedua, dia diterima di Georgetown University, yang terletak di Washington DC, pusat pemerintahan AS.

Selain itu, tahun ini universitas tersebut menduduki peringkat pertama untuk School of Foreign Service, berdasarkan daftar yang dirilis oleh Foreign Policy 2024 Rankings. Semua keberuntungan itu semakin lengkap dengan satu tambahan: Amerika Serikat akan mengadakan pemilihan presiden pada bulan November mendatang.

“Saat seleksi IISMA, aku memang menempatkan kebijakan luar negeri AS sebagai salah satu topik riset,” kata Ashrie kepada VOA.

Dia mengaku rajin mengikuti berita, terutama yang berkaitan dengan pemilu di Amerika.

“Dan karena kebetulan 2024 adalah tahun pemilu di Amerika Serikat, aku rasa ini adalah kesempatan terbaik untukku, untuk belajar lebih dalam tentang kebijakan luar negeri AS atau politik AS,” tambahnya, mahasiswa Hubungan Internasional dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

Apa itu IISMA?

IISMA adalah program beasiswa yang relatif baru dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Pemerintah membiayai mahasiswa penerima beasiswa untuk belajar di universitas luar negeri selama satu semester. Data kementerian menunjukkan bahwa sejak diluncurkan pada tahun 2021, tahun ini adalah angkatan keempat IISMA. Tercatat lebih dari 9.000 pendaftar, dengan 2.029 yang lolos dan diterima di 161 universitas mitra di luar negeri. Dalam tiga tahun pertama program ini, terdapat 4.542 mahasiswa penerima beasiswa.

Dari berbagai universitas di seluruh dunia yang bisa dipilih, Ashrie memilih Amerika karena yakin negara ini adalah pionir dalam bidang yang dipelajarinya. Sementara Georgetown University, secara kebetulan, baru saja diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia dalam bidang tersebut.

“Selain itu, Georgetown berada di Washington DC, ibu kota AS, yang tentunya memberikan banyak kesempatan untuk mempelajari dinamika politik di Amerika secara keseluruhan,” tambahnya.

Saat ini, terdapat empat mahasiswa program sarjana dari Indonesia yang belajar di School of Foreign Service, Georgetown University. Selain Ashrie, ada Ariella Raissakirana Wijayanti dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Ningdyah Lestari dari Universitas Indonesia, dan Bella Ceria Agustina dari Universitas Mulawarman.

Georgetown University adalah institusi pendidikan tinggi Katolik tertua di AS, yang didirikan oleh Uskup John Carroll pada tahun 1789. Lokasinya hanya 3,5 kilometer dari Gedung Putih.

School of Foreign Service di Georgetown, di mana empat mahasiswa Indonesia belajar semester ini, ditetapkan sebagai yang terbaik menurut jurnal Foreign Policy. Pengakuan ini diperoleh melalui survei kepada 1.500 profesional dalam kebijakan luar negeri, termasuk akademisi, pemikir, dan pembuat kebijakan yang pernah bekerja di pemerintahan AS.

“Secara pribadi, aku mempertimbangkan Georgetown lebih dulu sebelum memikirkan jurusan hubungan internasionalnya, karena lokasi strategis di Washington DC yang memberikan banyak kesempatan bagi mahasiswa politik. Georgetown juga memiliki keunggulan di School of Foreign Service,” kata Ella, panggilan akrab Ariella Raissakirana Wijayanti.

Bagi Ningdyah Lestari, kesempatan belajar di Georgetown selama pemilu Amerika memberikan keuntungan tersendiri.

“Dosen-dosennya biasanya aktif di dunia akademis. Namun, di Georgetown, sebagian besar dosen juga merupakan praktisi di bidangnya. Jadi, diskusi di kelas menjadi lebih konkret, karena mereka adalah orang-orang yang berpengalaman langsung,” ujarnya.

“Ini adalah kesempatan yang sangat unik. Untuk pertama kalinya, Indonesia mengirim mahasiswa IISMA ke ibu kota AS selama siklus pemilu, jadi sangat menarik. Apalagi, saat debat presiden, kami bisa menyaksikan bersama manajer kampanye dari Partai Republik dan Demokrat, dan melihat reaksi langsung mereka sangat menarik,” tambah Ning yang belajar Filsafat di UI.

Bella Ceria Agustina juga memiliki pandangan serupa. Dalam beberapa tahun ke depan, Universitas Mulawarman, tempat Bella belajar, akan berada dekat dengan pusat pemerintahan Indonesia, setelah resmi pindah ke Ibu Kota Nusantara.

“Ini menarik karena aku bisa mengamati langsung situasi politik di sini. Jadi aku ikut belajar politik dan termotivasi untuk lebih mendalami bidang ini,” kata Bella yang sejak kecil ingin kuliah di AS.

Beberapa mata kuliah yang diambil oleh mahasiswa IISMA ini antara lain adalah Poverty and Equality, International Relations, Comparative Political Systems, dan Immigration, Refugee and State.

Kampus dan Kehidupan Luar Kampus

Sebagai mahasiswa, kehidupan di dalam kampus sangat terkait dengan yang terjadi di luar. Ashrie yang belajar Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Hasanuddin sudah lama mengikuti perkembangan politik AS dan berbagai tulisan. Terpilih sebagai penerima beasiswa IISMA memberinya kesempatan untuk melihat lebih dekat kehidupan politik yang selama ini hanya disaksikannya dari jauh.

Salah satu yang dicatatnya adalah tentang polarisasi dalam masyarakat Amerika terkait politik. Jika sebelumnya hanya membaca tentang hal tersebut, kini Ashrie bisa melihat langsung dan berdiskusi dengan orang Amerika mengenai polarisasi itu.

“Ekspektasiku sejauh ini kurang lebih sama, meskipun ada beberapa aspek politik yang belum aku perhatikan, tetapi sekarang aku mulai memahami bagaimana kultur politik tersebut,” katanya.

Bagi mahasiswa yang tertarik pada politik, ini juga adalah kesempatan untuk membandingkan penerapan sistem yang ada di Indonesia dan AS. Ashrie mencatat bahwa meskipun di Indonesia terdapat banyak partai, sulit menemukan perbedaan platform di antara mereka. Sementara, dengan hanya dua partai besar di AS, perbedaannya lebih mudah dikenali.

“Di Indonesia, dengan banyaknya partai, sulit untuk memilih ideologi yang sesuai dengan keyakinan kita. Sedangkan di Amerika, dengan dua partai yang jelas, masyarakat lebih aktif berdiskusi, terutama dalam politik,” ujarnya.

“Saya merasa sangat beruntung bisa menjadi mahasiswa Indonesia yang berkesempatan mengunjungi negara seperti Amerika Serikat, yang memiliki nilai demokrasi yang tinggi, karena ini bisa menjadi pengalaman belajar mengenai sistem politik dan pemerintahan,” tambahnya.

Namun, di luar politik, para mahasiswa juga menemukan banyak hal menarik lainnya.

“Aku ikut kegiatan dari women centre, dan kadang hadir di acara santai, seperti menonton anime dan berbincang-bincang. Banyak culture shock, tetapi ini adalah perubahan yang menyenangkan dan perlu dialami,” kata Ella.

Sementara Bella menemukan menarik untuk memahami langsung sudut pandang orang Amerika tentang isu-isu yang selama ini hanya bisa dia baca. Dari berbagai mata kuliah yang diambil, Bella paling tertarik pada isu imigrasi.

“Aku beruntung bisa melihat perspektif orang Amerika tentang imigrasi. Setelah memahami semua ini, aku merasa sebelum menilai negara lain, kita harus merasakan bagaimana hidup di sana,” ujarnya.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah