20 Tahun UU Penghapusan KDRT, Komnas Perempuan Soroti Peningkatan Kasus Femisid

Para aktivis gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan menggelar unjuk rasa memprotes kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus, di luar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta, 10 Februari 2020. (AFP)

J5NEWSROOM.COM, Nia Kurnia Sari, seorang gadis penjual gorengan di Padang Pariaman, dilaporkan hilang oleh keluarganya pada 6 September. Tak ada yang menyangka bahwa perempuan berusia 18 tahun yang giat berjualan untuk membantu perekonomian keluarganya ini, ternyata menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan oleh seorang pemuda yang sering membeli dagangannya. Jenazahnya ditemukan dua hari kemudian setelah pencarian besar-besaran yang melibatkan pihak kepolisian dan BPBD.

Pelaku yang kini telah ditangkap oleh polisi belum memberikan alasan atas tindakannya, namun terlepas dari isu pemerkosaan dan pembunuhan, menurut hasil Sidang Umum Dewan HAM PBB tahun 2017, tindakan kekerasan terhadap Nia telah dikategorikan sebagai femisida.

Definisi Femisida

Komnas Perempuan mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya, yang dipicu oleh superioritas, dominasi, hegemoni, agresi, serta misogini terhadap perempuan, dan juga oleh ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik. Femisida merupakan kejahatan serius yang mencerminkan tingkat diskriminasi dan kebencian yang tinggi terhadap perempuan.

Ironisnya, hingga saat ini belum ada aturan hukum atau kebijakan yang secara eksplisit mengatur tentang femisida. Komnas Perempuan, dalam siaran pers pada Rabu (25/9), mengakui bahwa meskipun UU Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga telah diberlakukan selama 20 tahun, hukum tersebut belum menyediakan perlindungan dan pencegahan yang optimal untuk memastikan rumah tangga sebagai ruang yang aman. Komnas Perempuan juga menyadari bahwa istilah femisida belum terintegrasi dalam kebijakan atau perundang-undangan nasional, sementara kasus-kasus yang muncul semakin kompleks dan belum dikenal secara luas oleh publik.

Sebagaimana dijelaskan oleh Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung pada pembunuhan, atau yang dikenal sebagai “femisida relasi intim”, merupakan kasus yang paling sering dilaporkan ke Komnas Perempuan. Oleh karena itu, penting untuk mengoptimalkan UU PKDRT, baik dari aspek pencegahan maupun penguatan perlindungan, termasuk membangun kebijakan penilaian risiko dalam KDRT, serta penanganan korban KDRT agar tidak berujung pada kematian.

”Ketika istri dipukul, dan kekerasan terus berlanjut tanpa dihentikan, itu dapat berujung pada kekerasan yang semakin parah dan mengakibatkan kematian. Dalam konteks ini, perempuan yang meninggal atau terbunuh oleh suaminya dapat dikategorikan sebagai femisida intim,” jelas Aminah kepada VOA.

Akibat berbagai faktor ini, pemenuhan keadilan bagi perempuan yang menjadi korban, termasuk hak keluarga korban yang mengalami langsung atau merasakan dampak femisida, sering kali tidak terpenuhi dengan maksimal.

Pemantauan terhadap pemberitaan media pada tahun 2023 mencatat ada 162 jenis femisida, di mana femisida relasi intim, atau pembunuhan perempuan yang dilakukan oleh suami, pacar, mantan suami, mantan pacar, atau pasangan kohabitasi, menduduki jumlah kasus terbanyak, yaitu 109 kasus atau 67 persen dari total kasus yang dilaporkan.

Honour Killing, Pembunuhan Perempuan Demi Menjaga Martabat Keluarga

Komnas Perempuan juga mencatat kasus-kasus femisida yang dilakukan atas nama kehormatan (honour killing), yaitu pembunuhan perempuan yang dilakukan untuk menjaga kehormatan atau martabat keluarga dan/atau komunitas karena dianggap melanggar norma keluarga atau komunitas. Femisida yang dinormalisasi ini sering terjadi akibat kasus perzinahan, hamil di luar nikah, atau pemerkosaan oleh anggota keluarga.

Pembunuhan Rosmini binti Darwis, seorang perempuan berusia 16 tahun, oleh ayah dan saudara laki-lakinya pada 9 Mei 2020 karena ia mengaku menjalin hubungan dengan seorang pria berkeluarga yang dianggap mempermalukan keluarga, adalah salah satu contoh paling mencolok.

Pembunuhan Rosmini di rumahnya di kampung Katabung, desa Pattaneteang, kecamatan Tompobulu, kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, bahkan terjadi di depan ibu dan saudara-saudara lainnya.

Contoh terbaru femisida lainnya terjadi pada seorang ayah di Kelurahan Kota Baru, Ternate, Maluku Utara, pada 13 September 2024, yang menggunduli kepala dan membakar anak perempuannya hidup-hidup hanya karena ia bermain di luar tanpa izin. Korban yang berusia 13 tahun itu hingga kini masih dirawat di rumah sakit karena luka bakar dan trauma psikologis.

Sudah saatnya semua pihak menyadari potensi femisida dan memberikan bantuan dengan cepat. Dalam hal ini, UU PKDRT, yang mengamanatkan mekanisme perintah perlindungan—baik perlindungan sementara maupun perintah perlindungan dari pengadilan—dapat dimanfaatkan, kata Aminah.

“KDRT bukan lagi aib, bukan ranah privat, tetapi merupakan tindak pidana yang harus ditentang oleh publik. Rukun tetangga yang mengetahui atau melihat adanya KDRT harus berperan serta untuk mencegah kekerasan agar tidak memburuk. Caranya bisa melalui lembaga layanan,” tambah Aminah.

Rekomendasi Komnas Perempuan

Komnas Perempuan merekomendasikan agar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta lembaga layanan korban mengembangkan sistem penilaian potensi femisida (danger assessment) dan memperkuat sistem dukungan terdekat.

Rekomendasi juga disampaikan kepada Kepolisian dan Mahkamah Agung untuk segera menyusun kebijakan dan aturan pelaksanaan teknis perlindungan sementara, serta perintah perlindungan yang dapat diterapkan secara cepat dan terukur sebagai bagian dari optimalisasi pelaksanaan UU PKDRT.

Koalisi Perempuan Indonesia: UU PKDRT Perlu Dievaluasi Lagi

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka mengakui bahwa sejak disahkan, UU PKDRT belum dievaluasi secara komprehensif untuk menilai efektivitas aturan-aturan yang ada terhadap situasi terkini.

“Terutama ketika mempertimbangkan apakah UU PKDRT efektif dalam menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang semakin berkembang. Setelah UU ini disahkan, bagaimana penggunaannya saat korban melapor? Apakah UU PKDRT benar-benar digunakan, atau polisi dan pengadilan lebih memilih menggunakan aturan hukum lain?” tanyanya.

Bukan rahasia lagi, kata Mike, bahwa kepolisian bahkan tidak mengetahui keberadaan UU Pencegahan KDRT ini saat menangani kasus KDRT.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah