Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
HAMPIR tak terdengar kiprah besarnya selama lima tahun kecuali sosialisasi empat pilar, di akhir usia periodenya, MPR RI tiba-tiba secara mendadak melakukan sebuah gebrakan.
Atau mungkin lebih tepatnya gubrakan, sebab tiba-tiba tanpa angin, tanpa hujan, MPR memutuskan untuk memulihkan nama baik tiga mantan presiden yang penuh kontroversi: Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur.
Apa maksud di balik keputusan ini, tak begitu jelas. Boleh jadi ini bentuk dari nostalgia politik, atau sekadar ajang “silaturahim” antar-elite yang telah lama menyimpan dendam terselubung. Kabarnya untuk rekonsiliasi, tapi bukankah ketiga tokoh sudah wafat?
Mari kita mulai dari Soekarno, sang proklamator. Tahun 1967, TAP MPRS Nomor 33 menuduhnya mendukung gerakan komunis. Tapi kini, melalui keputusan MPR, itu semua sudah dianggap sebagai kesalahpahaman politik.
Ibarat pemain bola yang dicabut kartu merahnya setelah menonton VAR, Bung Karno kini bersih seputih salju. Nama buruk pemegang dua gelar pahlawan nasional dan pahlawan proklamasi itu sudah dianulir. Tak perlu lagi ada tuduhan padanya sebagai pengkhianat bangsa.
Selanjutnya, Soeharto. Nah, ini dia yang benar-benar menjadi highlight rekonsiliasi ini. Bagaimana tidak? Seorang presiden yang pernah berkuasa selama 32 tahun dengan tangan besi dan dituduh penuh aroma korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kini di-reset seperti komputer yang habis direstart.
TAP MPR Nomor 11 tahun 1998 yang menyorot kekuasaannya sebelum era reformasi juga sudah dianggap selesai. Kenapa? Karena beliau sudah meninggal dunia. Seolah-olah, dengan wafatnya, segala urusan moral, politik, dan ekonomi yang mengitari masa kekuasaannya berakhir begitu saja.
Eh, tapi kita tidak perlu lupa, TAP MPR 1998 tetap menyebutkan soal perlunya negara bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Soalnya, di masa presiden-presiden berikut, KKN bukannya menyusut, malah makin subur.
Namun, dibanding kedua presiden, yang paling unik tentu saja Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Presiden ini boleh dibilang sosok fenomenal yang penuh warna: ulama, ensiklopedis, humoris, tegas, dan kadang nyentrik. Gus Dur, yang sempat dimakzulkan oleh MPR di tahun 2001, kini kembali dirangkul.
BACA JUGA: Mukjizat Caturgami
Pemecatan Gus Dur, yang dipenuhi intrik politik kala itu, kini dilupakan begitu saja. Seakan-akan semua itu hanyalah episode sinetron politik Indonesia yang kita tonton dengan tenang, lalu selesai begitu saja. TAP MPR yang pernah mendepaknya, kini telah dianggap tidak berlaku.
Nama baik Gus Dur pun direhabilitasi. Meski mungkin kalau dia masih hidup, dengan nada santai dan humoris, dia akan berkata seperti biasa, “Ah, itu kan cuma urusan kecil. Gitu aja kok repot.”
Melalui langkah rekonsiliasi tiga presiden ini, MPR seperti sedang berusaha mencuci piring. Atau mencuci tangan. Terserah anda. Seolah-olah mereka ingin mengubur dendam masa lalu yang kerap menjerat para pemangku politik Indonesia dalam polarisasi abadi.
BACA JUGA: Narkoba Penjara
Tentu, rekonsiliasi ini tak lepas dari suasana politik yang berubah. Naiknya Prabowo Subianto sebagai presiden RI jelas membawa atmosfer baru —atmosfer yang, entah bagaimana, dia pernah ada kaitannya dengan keluarga Soeharto.
Dan menariknya, di balik gubrakan MPR kali ini, kita melihat bagaimana polarisasi politik di kalangan elite disulap menjadi sesuatu yang bisa “dimaafkan.” MPR seakan berkata, “Tidak apa-apa, yang penting kita semua ishlah.” Apakah ini sekaligus cerminan dari bangsa Indonesia yang permisif?
Entahlah. Kita tak tahu, apakah ini benar-benar demi rekonsiliasi nasional. Atau sekadar mempermanis halaman-halaman terakhir dari MPR, yang selama dua periode ini lebih sering menghabiskan dana untuk sosialisasi empat pilar kebangsaan.
BACA JUGA: Drama Fufufafa
Bagaimana pun, ini setidaknya jadi pengingat bahwa politik di Indonesia bukanlah sekadar urusan hukum dan peraturan, tapi lebih soal kepentingan, perasaan, dan kadang, yah… memori pendek bangsa ini.
Jadi, dengan berakhirnya drama rekonsiliasi ini, kita kini siap menyongsong masa depan Indonesia yang… sama seperti dulu, penuh liku-liku dan kejutan politik yang tak terduga. Sejarah kali ini mengajarkan kita satu hal, bahwa semua bisa diperbaiki, asal kita bersedia melupakannya sejenak.*
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995
Jakarta, 27.09.2024