Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
SEPERTINYA, kita hidup di era di mana realitas tak lagi beda jauh dari skenario sinetron atau bahkan drama Korea versi Kemang. Coba bayangkan ini: Polisi sudah menangkap para penyerang diskusi penting para tokoh bangsa di hotel berbintang. Namun, para netizen tak percaya pihak kepolisian serius mengadili para tersangka, karena di lokasi peristiwa mereka saling pelukan, juga saling bersalaman.
Mari kita putar kembali kisahnya. Sekelompok orang tak dikenal (dan kini sudah ditangkap dan dikenal), mendadak muncul di depan sebuah hotel berbintang yang biasanya disewa untuk acara-acara berkelas.
Di dalam hotel itu, ada diskusi penting yang dihadiri tokoh-tokoh bangsa, dan yang terjadi? Namun, tiba-tiba segerombolan pria kekar berbaju hitam dengan masker di wajah menyerang. Perusakan pun terjadi, bahkan ada yang terluka, karena polisi membiarkan itu terjadi.
Lucunya, setelah melihat kejadian itu, polisi bersalaman dengan mereka, lalu membiarkan mereka pergi. Da da …
Mungkin kita perlu mengingatkan diri, ini bukan episode “Penthouse” atau “Squid Game”, meski plotnya tak kalah rumit. Coba ingat, begitu acara diskusi di Hotel Kemang Jakarta itu hendak dimulai, tiba-tiba muncul kelompok pendemo penolak diskusi, di depan hotel.
Lucunya, polisi malah “mengizinkan demo tersebut berlangsung. Mungkin dalam hati mereka berpikir, “Ah, biar seru! Kan ini Indonesia, demokrasi harus hidup!” Tapi, ya, bagaimana demokrasi bisa hidup jika diskusi saja diberangus?
Di sinilah bagian paling absurd dari semuanya. Menurut undang-undang, polisi itu punya tanggung jawab menjaga agar kegiatan warga di suatu tempat aman sehingga demo dekat di situ tak boleh diberi izin. Namun, apa yang mereka lakukan? Ya, begitulah.
Lalu, saat segerombolan orang menyerang melalui pintu belakang hotel —ya, pintu belakang, seperti adegan mata-mata di film— polisi bikin alibi. Dalam jumpa pers, mereka mengaku sadar bahwa mereka kecolongan.
Mereka bilang, “Oops, kami tidak tahu mereka lewat pintu belakang.” Seperti sepasukan satpam yang baru menyadari pintu darurat di mal saat kebakaran. Apa ini skenario film komedi? Atau mungkin versi lokal dari “Mission: Impossible”?
Lebih menariknya lagi, pengacara yang disewa para tersangka mengatakan bahwa klien mereka masuk dari pintu belakang hotel dengan alasan “efisiensi.” Akses masuk pintu depan terlalu ramai, katanya. Jadi, kenapa tidak lewat pintu belakang?
BACA JUGA: Wajah Baru Parlemen
Sungguh solusi yang cerdas, bukan? Logikanya seolah seperti, “Ah, macet di Sudirman, kita masuk tol sembarangan saja.” Jika begini, jangan heran kalau di masa depan kita bisa melihat demo di Monas, tapi para peserta masuk lewat terowongan MRT karena ‘efisiensi’.
Dan jangan lupa soal cium tangan polisi yang tertangkap kamera! Menurut pengacara, itu hanya soal budaya dan kesopanan. Oke, jadi sekarang kita tahu, kalau ada demo dan para peserta menghancurkan barang atau berkelahi dengan sekuriti, asal mereka cium tangan polisi, semua dianggap baik-baik saja. Rasanya seperti aturan tak tertulis yang kita baru tahu.
Penyerangan pun dibilang tanpa koordinasi. Nah, inilah puncaknya. Pengacara bilang tidak ada koordinasi antara kliennya dan polisi dalam pembubaran diskusi.
Namun, apakah kita harus percaya begitu saja? Di tengah panasnya situasi, para pelaku bisa beraksi seolah tanpa hambatan. Mungkin ini semacam kebetulan kosmis —polisi ada di lokasi, tetapi hanya ‘nonton,’ lalu tiba-tiba para penyerang datang tanpa aba-aba. Wow, sungguh kebetulan yang langka.
Tetapi drama ini masih jauh dari selesai. Sekarang polisi sudah menangkap beberapa pelaku dan menetapkan dua tersangka. Mereka bisa dihukum hingga tujuh tahun penjara.
Tapi mari jujur saja, kita patut bertanya, apakah ini semua bagian dari sebuah drama besar? Apalagi, para netizen kemudian mengunduh video yang menunjukkan para tersangka berada di tengah acara partai kuning. Juga, video mereka sedang menjaga tanah sengketa.
Dengan suguhan ini, mungkinkah kita sedang menonton versi satir dari kehidupan politik Indonesia? Atau, mungkin kita harus belajar menerima bahwa politik di Indonesia memang penuh dengan drama, komedi, dan twist tak terduga.
Kasus penyerangan di Kemang seperti tontonan dengan plot yang bisa berubah kapan saja. Polisi bisa tiba-tiba menjadi hero, atau malah jadi sidekick yang tak tahu apa-apa. Dengan begitu, kita hanya bisa tertawa kecil sambil mengelus dada.
Kapan lagi kita bisa melihat adegan di mana perusuh dan aparat bisa kompak dalam satu frame cium tangan? Ini bukan hanya tentang demokrasi yang dijaga, tapi juga demokrasi yang dibingkai dengan sedikit humor satir —karena tanpa itu, hidup politik kita mungkin terlalu berat untuk dihadapi.
Kita tunggu saja episode selanjutnya, siapa tahu skenarionya semakin absurd!*
Jakarta 01.10.2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995