Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
KITA sepertinya sedang menyaksikan sebuah eksperimen sosial, di mana pemerintah secara perlahan berusaha menghapus memori kolektif bangsa tentang tragedi G30S/PKI. Setiap tahun, peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober biasanya selalu digelar dengan suasana khidmat dan penuh renungan. Tapi, ah, siapa sangka tahun ini berubah drastis 180 derajat?
Alih-alih diwarnai air mata haru dan doa tabur bunga, gedung parlemen Senayan pada 1 Oktober justru dipenuhi oleh tawa, canda, dan, yang paling nyaring, teriakan “Uhuyy” ala Komeng! Tiada sudut tanpa wajah ceria.
Betul, Hari Kesaktian Pancasila kali ini berbenturan (atau sengaja dibenturkan) dengan pelantikan anggota MPR periode 2024-2029, terdiri dari 575 anggota DPR dan 136 anggota DPD. Jadi, harap maklum kalau suasananya lebih mirip acara variety show ketimbang upacara sakral.
Apakah ini kebetulan? Tentu tidak. Jadwal agenda nasional sudah pasti dibuat penuh kalkulasi. Dugaan publik bahwa pemerintah terus berusaha menyamarkan bahaya laten komunisme mendapatkan validasi sempurna kali ini.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila kali ini terseret di bawah sorotan kamera, tertutupi oleh senyum cerah dan riuhnya pesta demokrasi —atau lebih tepatnya, pesta selebriti. Lubang Buaya andai manusia mungkin diajak pula ikut berpesta.
Pertanyaannya, apakah Pancasila sudah tidak sakti lagi? Apakah sekarang kita harus merayakan kesaktian wakil-wakil rakyat yang berhasil menduduki kursi Senayan dengan kemenangan mutlak?
Mungkin, buat sebagian besar, kehebatan seorang Komeng, yang memperoleh 5.399.699 suara DPD dari seantero Jawa Barat, lebih layak dirayakan dibanding meratapi kebiadaban PKI. Jangan-jangan Komeng mereka anggap sakti.
Komeng, sang juara suara terbanyak, menjadi ikon baru “era politisi selebriti” yang serba heboh dan…uhuyy. Bayangkan, teriakan “Uhuyy” menggema di ruang paripurna MPR.
Gedung yang biasanya penuh dengan pidato panjang dan rumit itu kini berubah jadi panggung komedi live, di mana anggota dewan mengeluarkan punchline lebih cepat dari kebijakan.
Dan tentu saja, Komeng tidak sendiri. Di antara anggota parlemen baru, ada juga Denny Cagur dan selebriti-selebriti lainnya. Sepertinya rakyat Indonesia kali ini ingin diwakili bukan oleh politisi serius, tapi oleh pelawak yang bisa membuat mereka tertawa di tengah segala hiruk-pikuk kehidupan.
Tapi apa artinya ketika rakyat memilih pelawak jadi wakil mereka? Apakah ini cermin betapa seriusnya mereka dalam melihat situasi politik, atau justru sebaliknya? Ketika politisi sudah tidak bisa dipercaya lagi untuk mengatasi masalah negara, mungkin kita memang butuh pelawak untuk mengatasi stres harian.
Siapa peduli tentang RAPBN atau UU Omnibus Law? Selama ada yang bisa bikin ketawa, semua masalah terasa lebih ringan. Cobalah, mungkin kita bisa menyelesaikan krisis ekonomi dengan selembar kupon gratis stand-up comedy.
Namun jangan sampai tertawa terlalu keras, karena di balik panggung komedi ini, politik tetap berjalan stagnan. Dari 575 anggota DPR dari 80 daerah pemilihan, yang baru dilantik, 54 persennya adalah petahana.
Ya, wajah-wajah lama yang entah kenapa sepertinya sudah punya mantra magis untuk terus terpilih. Tak ubahnya serial TV yang sudah berkali-kali di-reboot, tapi pemerannya masih sama.
Mereka ini ibarat Avengers politik, lengkap dengan kekuatan jaringan konstituen dan modal finansial yang tak terkalahkan. Petahana seolah punya infinity stone-nya sendiri yang membuat mereka tak tergoyahkan, meski plot ceritanya sudah basi. Dan kita, sebagai penonton setia, sepertinya tak punya pilihan lain selain menonton season berikutnya.
Lebih parah lagi, hampir semua partai besar, kecuali PDIP, sekarang berkoalisi mendukung pemerintahan Prabowo. Jadi, apa yang kita harapkan dari DPR? Apakah mereka masih bisa menjalankan fungsi pengawasan? Jangan-jangan parlemen sekarang hanya jadi “yes-man” eksekutif, tempat stempel kebijakan dilempar ke udara sambil berteriak, “Uhuy!”
Pada akhirnya, 1 Oktober 2024 bukan cuma jadi hari pelantikan anggota parlemen baru, tapi juga jadi hari refleksi untuk kita semua. Di satu sisi, kita bisa bangga bahwa demokrasi kita masih berjalan—bahwa rakyat punya suara, meski kali ini suaranya lebih banyak diberikan pada pelawak.
Namun di sisi lain, kita harus bertanya-tanya: apakah wajah-wajah baru di Senayan benar-benar membawa harapan baru? Atau kita hanya akan terus menonton episode sitcom politik yang sama, dengan bintang tamu yang berbeda?
Ketika teriakan “Uhuyy” semakin keras menggema di gedung parlemen, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: seberapa sakti sebenarnya Pancasila kita, kalau politik kita lebih mirip komedi tanpa akhir?
Jakarta, 2 Oktober 2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995