Indonesia Prihatin Soal Regulasi UU Deforestasi Uni Eropa yang Dinilai Mendiskriminasi Industri Minyak Sawit 

Seorang pria menggunakan motor untuk memindahkan buah sawit di sebuah perkebunan di Polewali Mandar, Sulawesi Selatan, pada 21 April 2024. (Foto: AP/Yusuf Wahil)

J5NEWSROOM.COM, Indonesia pada Kamis (3/10) menyatakan bahwa usulan penundaan penerapan undang-undang antideforestasi dari Komisi Eropa adalah langkah positif, sembari menekankan bahwa isu yang lebih mendesak adalah regulasi pelaksanaannya, bukan kerangka waktu pelaksanaannya.

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan kepada Reuters bahwa Uni Eropa seharusnya membatalkan sistem pemeringkatan negara terkait deforestasi, di mana Komisi Eropa akan menentukan kategori risiko kepatuhan setiap negara terhadap peraturan deforestasi.

Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) melarang UE mengimpor berbagai komoditas yang berhubungan dengan kerusakan hutan.

Indonesia, sebagai produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia, telah lama mengkritik undang-undang tersebut dengan alasan bahwa kebijakan itu merugikan petani kecil dan mendiskriminasi industri minyak sawitnya.

Uni Eropa merupakan pasar ekspor terbesar keempat bagi Indonesia pada tahun 2023, menyerap 11,5 persen ekspor minyak sawit Indonesia.

“Masalahnya bukan penundaannya, tetapi regulasi pelaksanaannya,” kata Airlangga, menambahkan bahwa penundaan seharusnya berlangsung selama dua tahun, bukan 12 bulan.

“Uni Eropa tidak berhak menjadi lembaga pemeringkat,” ujarnya.

Namun, asosiasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyambut baik usulan penundaan penerapan undang-undang tersebut, yang dianggap akan memberikan lebih banyak waktu bagi industri untuk mempersiapkan diri.

“Kami akan terus mengadvokasi regulasi yang memberatkan atau tidak sesuai dengan hukum Indonesia… Uni Eropa juga perlu memahami kondisi kami,” kata Ketua GAPKI Eddy Martono kepada Reuters.

Malaysia, yang merupakan produsen minyak sawit terbesar kedua setelah Indonesia, juga menolak keras kebijakan Uni Eropa ini, dengan menyebutnya sebagai usaha yang disengaja untuk meningkatkan biaya dan menciptakan hambatan bagi sektor minyak sawitnya.

Dewan Minyak Sawit Malaysia pada Kamis (3/10) menyatakan bahwa langkah tersebut adalah keputusan yang wajar, yang akan memungkinkan rantai pasokan global untuk mematuhinya.

Kementerian Komoditas dan Perkebunan Malaysia belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar.

Menteri Airlangga menegaskan bahwa Indonesia menolak penggunaan sistem penanda geografis (geo-tagging) untuk keterlacakan produk. Ia juga mendesak Uni Eropa untuk mengakui perjanjian pengakuan bersama yang telah ada mengenai aspek keberlanjutan minyak kelapa sawit.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah