Apakah Peran Indonesia Sudah Efektif Membantu Menuntaskan Konflik di Gaza?

Sejumlah peserta aksi bela Palestina mengibarkan bendera Indonesia, bendera Palestina dan poster bertuliskan “Israel adalah Teroris yang Sebenarnya,” di lapangan Monas, Minggu, 5 November 2023. (Foto: Indra Yoga/VOA)

J5NEWSROOM.COM, “Kita berupaya memanfaatkan seluruh saluran diplomasi untuk mencapai perdamaian di Timur Tengah.” Pernyataan tersebut disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi kepada VOA setelah berpidato di sidang Majelis Umum PBB di New York, pada 28 September.

Setahun setelah perang antara Israel dan Hamas pecah di Gaza, konflik semakin meluas dan menyebabkan meningkatnya jumlah korban jiwa. Upaya internasional untuk mendorong gencatan senjata masih belum berhasil.

Meskipun demikian, kontribusi Indonesia dalam membantu mengatasi konflik selama setahun terakhir dinilai cukup, mengingat keterbatasan yang dimiliki Jakarta, menurut pengamat politik Timur Tengah dari Universitas Gadjah Mada, Siti Muti’ah Setiawati.

“Kapasitas kita sebagai negara yang jauh dari konflik sudah memadai. […] Itu sudah proporsional, dan memang itu yang bisa dilakukan Indonesia, tidak bisa kita dituntut lebih. Bahkan PBB yang seharusnya mengeluarkan resolusi pun tidak ditaati oleh Israel,” ungkap Muti’ah melalui telepon pada Rabu (2/10).

Menurutnya, bantuan kemanusiaan dan diplomasi Indonesia di forum-forum internasional menunjukkan solidaritas yang konsisten dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina.

“Contohnya, antara 23-30 September, saat Majelis Umum PBB berlangsung, ketika Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berpidato, wakil Indonesia, termasuk Bu Retno, walkout. Itu menunjukkan dukungan kita terhadap perjuangan Palestina, dan dunia internasional mencatatnya,” tegasnya.

Setelah memboikot pidato Netanyahu, Retno mendedikasikan sepertiga pidato terakhirnya sebagai Menlu RI di sidang Majelis Umum PBB untuk membahas isu Palestina.

“Indonesia tidak bisa, saya ulangi, tidak bisa berdiam diri melihat ketidakadilan yang terus terjadi terhadap rakyat Palestina,” tegas Retno.

Pada Mei lalu, 146 dari 193 negara anggota PBB telah mengakui kedaulatan Negara Palestina, yang secara resmi dideklarasikan oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada 15 November 1988. Mulai tahun ini, Palestina, yang hingga saat ini masih menjadi negara pengamat permanen PBB, mendapatkan kursi di antara negara anggota dalam sidang majelis umum.

Meski vokal mendukung Palestina di berbagai forum internasional, Indonesia kesulitan mengambil peran diplomatik yang lebih pragmatis untuk membantu situasi di Gaza, kata pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Broto Wardoyo. Salah satu alasannya adalah Indonesia tidak memiliki hubungan dengan Israel, sehingga sulit menjembatani pihak-pihak yang bertikai.

Contoh upaya diplomatik pragmatis lainnya adalah gugatan Afrika Selatan ke Mahkamah Internasional, menuduh Israel melakukan genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza. Indonesia tidak dapat ikut mengajukan gugatan karena bukan negara yang setuju terikat dalam Konvensi Genosida PBB.

“Dalam konteks ini, Indonesia sepertinya belum menjadi pemain utama. […] Kita mendukung langkah Afrika Selatan dan upaya negosiasi, tetapi pertanyaannya adalah, apa yang benar-benar dilakukan di lapangan?” ujarnya.

Broto menambahkan, ke depan, Indonesia dapat memaksimalkan bantuan kemanusiaan dalam proses pemulihan dan pembangunan kembali Jalur Gaza untuk memainkan peran yang lebih besar.

“Di titik itu, kita sebenarnya memiliki peluang, karena Israel pun akan membutuhkan keterlibatan negara-negara Muslim, yang bisa dianggap sebagai penyelesaian politik yang baik ketika membicarakan rekonstruksi di Gaza,” paparnya.

Menurut laporan Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) yang dirilis September lalu, pada awal 2024, sekitar 80 hingga 96 persen aset pertanian Gaza, termasuk sistem irigasi, peternakan, dan perkebunan, telah musnah. Selain itu, 82 persen bisnis di Gaza, yang menjadi tulang punggung perekonomian, rusak atau hancur. Produk domestik bruto (PDB) Gaza anjlok 81 persen pada kuartal terakhir 2023.

Berdasarkan laporan PBB pada Mei, sedikitnya 370.000 rumah di Gaza rusak, di mana 79.000 di antaranya hancur sepenuhnya, bersama bangunan komersial. Kehancuran ini disebut sebagai yang terburuk sejak Perang Dunia II. PBB menyatakan bahwa jika konflik di Gaza berakhir hari ini, akan diperlukan waktu hingga tahun 2040 untuk membangun kembali rumah-rumah yang hancur akibat serangan Israel.

Serangan Israel ke Gaza merupakan balasan atas serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan 1.200 orang dan menculik 250 lainnya. Sejak saat itu, serangan Israel di wilayah tersebut telah mengakibatkan sedikitnya 41.000 orang tewas, lebih dari separuhnya adalah perempuan dan anak-anak, menurut kementerian kesehatan Gaza.

Meskipun demikian, kata Broto, peran yang akan diambil Indonesia dalam konflik Israel-Palestina ke depan sangat bergantung pada pemerintahan selanjutnya di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto, termasuk kemungkinan Indonesia menjadi penengah faksi-faksi di Palestina. Tiongkok baru-baru ini memainkan peran tersebut dengan memfasilitasi 14 faksi di Palestina, termasuk Hamas dan Fatah, untuk memperkuat persatuan Palestina melalui Deklarasi Beijing pada 27 Juli 2024.

“Mungkin ada gaya yang berbeda ketika terjadi transisi kekuasaan, tetapi itu juga akan ditentukan siapa yang menjadi menteri luar negeri, apakah dia memiliki resistensi yang tinggi terhadap prinsip-prinsip mendasar, seperti non-intervensi, atau lebih fleksibel,” kata Broto.

“Namun, dari pemahaman saya tentang kebijakan luar negeri Pak Prabowo selama ini, dia bukan tipe orang yang akan senang bekerja di level yang abstrak,” imbuhnya.

Prabowo, yang memimpin operasi pengiriman bantuan Indonesia ke Gaza, dijadwalkan dilantik sebagai presiden RI pada 20 Oktober.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah