Kekerasan di Sekolah Melonjak, FSGI: Perlu Ada “Screening” terhadap Guru Secara Berkala

Para orang tua siswa ikut mengamati kelas pada hari pertama sekolah di sebuah sekolah dasar (foto: ilustrasi).

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Rindu Syahputra Sinaga (14 tahun), siswa SMP Negeri I Sinembah Tanjung Muda Hilir, Deli Serdang, Sumatra Utara, menghembuskan nafas terakhir pada akhir September lalu setelah dihukum squat jump 100 kali oleh gurunya karena tidak mengerjakan tugas sekolah.

Beberapa hari kemudian, seorang siswa berusia 13 tahun di pondok pesantren Al Mahmud Ponggok, Blitar, Jawa Timur, juga meninggal akibat lemparan kayu berpaku oleh pendamping pondok karena menolak disuruh mandi. Kasus-kasus ini menyoroti masalah kekerasan di sekolah yang diyakini jumlahnya jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan.

Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, menyatakan bahwa kekerasan terhadap murid seringkali disebabkan oleh pendekatan pendisiplinan yang salah. Perilaku siswa yang dianggap “tidak tepat” oleh guru seringkali ditindak dengan kekerasan.

“Guru-guru ini merespons perilaku tidak tepat siswa dengan cara yang mereka alami di masa lalu. Jika mereka dibesarkan dengan pendisiplinan kekerasan, mereka cenderung melakukan hal yang sama kepada murid mereka. Ini dipengaruhi oleh kondisi mental yang tidak baik,” jelas Retno kepada VOA pada Sabtu (5/10).

Retno menekankan pentingnya melakukan screening berkala terhadap kesehatan mental guru. Jika terindikasi adanya gangguan, pemerintah daerah harus merujuk mereka ke rumah sakit atau dinas terkait untuk pemulihan psikologis.

FSGI mencatat bahwa selama Januari-September 2024, terjadi 36 kasus kekerasan di satuan pendidikan, yang termasuk dalam kategori berat dan ditangani pihak kepolisian. Total korban dari kasus-kasus tersebut mencapai 144 peserta didik.

Sebagian besar kasus terjadi di jenjang SMP/MTs (36 persen), diikuti oleh SMA (28 persen), SD/MI (33,33 persen), dan SMK (14 persen). Dari jumlah tersebut, 66,66 persen terjadi di sekolah di bawah kewenangan Kemendikbudristek, dan 33,33 persen di bawah Kemenag.

Dari 36 kasus tersebut, FSGI mencatat bahwa kekerasan fisik merupakan yang tertinggi (55,5%), diikuti oleh kekerasan seksual (36%), kekerasan psikis (5,5%), dan kebijakan yang mengandung kekerasan (3%).

Pengamat: Peran Pemerintah Penting

Pengamat pendidikan dari Yayasan Cahaya Guru, Lisin M. Mukhlisin, mencatat bahwa di beberapa daerah, kekerasan masih dianggap sebagai alat pendisiplinan. Ia menekankan perlunya pemerintah dan pihak berwenang memberikan sosialisasi dan pelatihan kepada guru untuk menyadarkan mereka bahwa pendisiplinan tidak boleh menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun.

Meskipun Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan sudah baik, Lisin mencatat bahwa peraturan tersebut hanya berlaku untuk sekolah di bawah Kementerian Pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan peraturan yang lebih luas yang mencakup juga lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama.

“Secara nasional, kita membutuhkan kebijakan yang dapat melindungi anak-anak di semua satuan pendidikan. Kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan sebaiknya ditandatangani oleh presiden agar berlaku secara nasional,” tambahnya.

Kemendikbudristek Bentuk Satgas Pencegahan

Kepala Pusat Prestasi Karakter Kemendikbudristek, Rusprita Putri Utami, mengakui bahwa pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) serta Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (Satgas PPKSP) perlu berfungsi secara optimal. Kekerasan tidak hanya mengancam siswa, tetapi juga seluruh komunitas pendidikan.

Kemendikbudristek telah menyiapkan berbagai modul untuk pelaksanaan tugas anti kekerasan di semua jenjang pendidikan dan mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat fungsi tim dan satgas.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah