Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
JOKOWI tak henti-hentinya membuat kejutan, bahkan saat masa jabatannya hanya terhitung hari. Kali ini, tepat 13 hari sebelum lengser, ia yang dijuluki Raja Jawa memberikan perintah besar: pindahkan aparatur sipil negara (ASN) ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara pada Januari 2025.
Sebuah perintah besar… yang ditujukan kepada siapa, ya? Presiden baru? Prabowo? Perintah ini jelas menimbulkan tanya besar. Bagaimana mungkin seorang presiden yang sebentar lagi pensiun memberi perintah kepada pemerintahan selanjutnya?
Kalau itu memang urusan besar, mengapa tidak diserahkan saja ke penerus? Ada nuansa seperti seorang manajer kantor yang sudah akan pensiun namun masih sibuk mengatur renovasi kantor, memesan perabot baru, bahkan menyuruh staf pindah ke ruang baru. Padahal, semua orang tahu bos baru akan datang dengan gaya manajerial yang berbeda.
Azwar Anas, Menpan-RB, tampaknya cukup jujur dengan mengatakan bahwa perpindahan ASN pada akhirnya akan menjadi urusan pemerintahan Prabowo. Loh, kalau begitu, kenapa Pak Jokowi masih memberikan instruksi seolah-olah dirinya masih berkuasa hingga kapan pun?
Ini seperti seseorang yang sudah menyadari bahwa tiket pensiunnya sudah di tangan, namun tetap ingin terlihat “aktif” mengatur permainan, meskipun lapangan yang diaturnya sudah akan dipakai tim lain. Apakah ini sebuah kesan bahwa Jokowi tak ingin pergi begitu saja, dan IKN harus menjadi warisan tak terlupakan? Sebuah power syndrome.
Di balik perintah itu, tersembunyi sederet ironi. Sebanyak 500 unit apartemen dikabarkan sudah siap menampung ASN, tapi 500 itu untuk berapa pegawai negeri? Bagaimana dengan ribuan ASN lainnya? Ini ibarat pesta besar diadakan, tapi tamunya baru bisa diundang sebagian, karena belum ada cukup kursi di aula.
Dan lagi, unit-unit apartemen tersebut untuk ASN dari mana? Sekretariat negara? Kementerian PU-PR untuk mempercepat penyelesaian IKN? Bahkan tak ada yang jelas. Semuanya terasa seperti sebuah gambaran besar yang dilukis dengan pensil tumpul: kabur, samar, tak menentu.
Jokowi tampaknya sangat ingin memastikan bahwa IKN adalah legacy terbesarnya, mungkin semacam Borobudur era modern yang akan dikenang selama berabad-abad. Namun, pertanyaan besarnya adalah: apakah IKN memang siap untuk menjadi warisan yang abadi, atau justru menjadi monumen dari kesemrawutan perencanaan?
Sampai sekarang, desain bangunan IKN saja masih menjadi bahan lelucon di media sosial, dengan bangunan utama divonis mirip “hantu kelelawar hitam” oleh netizen. Tak perlu jadi pakar desain untuk merasa ada sesuatu yang janggal.
Jika kita mundur sedikit, pembangunan IKN ini selalu penuh kontroversi sejak awal. Pemindahan ibukota negara diumumkan dengan gegap gempita, tapi UU Jakarta yang menghapus status ibukotanya sudah diberlakukan sebelum IKN sendiri siap. Ini seperti mengganti alamat rumah sebelum rumah barunya selesai dibangun —membingungkan, dan penuh risiko.
Kemudian, ada soal anggaran. Konon sebagian besar dana pembangunan IKN tidak akan berasal dari APBN. Tapi, faktanya justru sebaliknya, APBN-lah yang menopang sebagian besar proyek ini. Sungguh perpaduan yang rumit antara janji besar dan realita yang kecil.
Belum lagi soal infrastruktur yang masih semrawut. Dari akses jalan berdebu, hingga masalah mendasar seperti air bersih, yang sumbernya di Penajam Paser Utara ternyata tak cukup layak untuk melayani sebuah ibukota negara. Kota impian ini tampaknya lebih siap menjadi ilusi daripada kenyataan, dengan masalah-masalah dasar yang belum terpecahkan.
Pada akhirnya, perintah Jokowi di atas meninggalkan dua kemungkinan: Apakah ini adalah titah terakhir seorang presiden yang masih merasa bertanggung jawab, ataukah ini hanyalah cara untuk melempar beban kepada pemerintahan berikutnya?
Suka atau tidak, yang akan menghadapi semua keruwetan ini adalah Presiden baru. Prabowo, misalnya, sudah diberitahu bahwa ia akan memikul tanggung jawab besar untuk memastikan ASN bisa pindah ke IKN mulai Januari 2025. Namun, apakah Prabowo akan mengikuti perintah ini, atau justru membongkar ulang seluruh perencanaannya?
Dalam refleksi yang lebih dalam, apakah kita sedang menyaksikan simbol dari cara kerja demokrasi kita yang lebih seperti estafet yang penuh kegagalan koordinasi, di mana setiap pemimpin meninggalkan bom waktu bagi penggantinya? Ataukah ini hanya penanda dari ambisi pribadi Jokowi untuk meninggalkan jejak sejarah, meski dengan risiko merusak jejak itu sendiri?
Apa pun jawabannya, yang jelas, kita telah menyaksikan salah satu drama politik paling absurd di ujung masa jabatan seorang presiden. Jokowi mungkin memang seorang pemimpin yang gigih, tapi titah terakhirnya ini, apakah benar-benar perintah yang bijak atau justru sebuah pengalihan perhatian dari kenyataan bahwa IKN belum siap? Sebuah titah yang ompong.
Kita serahkan jawabannya pada waktu dan tentunya pemerintahan yang akan datang. Dan tentu juga, pada rakyat yang akan menyaksikan dari kursi penonton yang, sayangnya, sering kali kosong.*
Jakarta, 09.10.2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995