Oleh Nai Ummu Maryam
KINI, kebijakan Presiden Joko Widodo terkait perizinan ekspor pasir laut menuai kontroversi publik. Kebijakan tersebut terkait perizinan ekspor pasir laut yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi di Laut.
Pemerintah tetap bergeming bahwa yang diekspor adalah sedimentasi yang mengganggu jalannya kapal, bukan pasirnya. Menurut pemerintah, kebijakan ini berfungsi untuk mendongkrak perekonomian dalam negeri dan menambah pundi-pundi pemasukan negara.
Seyogianya kebijakan ini sangat bertolak belakang dengan kebijakan masa pemerintahan presiden Megawati yang melarang ekspor pasir laut sejak 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No. 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Setelah lebih kurang 20 tahun dilarang kini keran ekspor pasir laut kembali dibuka. Ingatkah, pada tahun 1976, keran ekspor pasir laut sempat dibuka demi memenuhi kebutuhan daratan atau proyek reklamasi yang ditujukan untuk negara tetangga yakni Singapura. Namun, karena adanya dampak kerusakan lingkungan dan kehidupan nelayan yang terancam, akhirnya kebijakan ini dihentikan.
Keran Ekspor Pasir Laut, Untung atau Buntung?
Seperti menelan pil pahit kembali. Setelah ditutup selama 20 tahun lebih, kini kebijakan kontroversi tersebut dibuka kembali. Alih-alih ingin untung ternyata banyak buntungnya.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah menyebut kalau ekspor pasir laut bisa mengancam kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir. Menurut Afdillah, walau tujuan dari penerbitan PP 26/2023 adalah untuk pemulihan ekosistem laut, namun pada kenyataannya sebagian besar isi regulasi justru lebih banyak mengatur mekanisme perizinan dan penambangan pasir, dari pada pemulihan lingkungan.
Ia juga menyimpulkan bahwa regulasi tersebut tidak menjadi solusi bagi pemulihan lingkungan. Melainkan, menjadi langkah mundur yang hanya menguntungkan segelintir elite dan berisiko memperburuk krisis ekologis, serta ketidakadilan sosial (Mongabay, 24-9-2024).
Perspektif Islam dalam Mengelola Sumber Daya Alam
Islam adalah agama yang sempurna. Tidak hanya mengatur permasalahan ibadah saja, dalam urusan pengelolaan sumber daya alam pun diatur secara rinci.
Islam, dengan sistemnya mengatur mekanisme dan strategi dalam menjaga lingkungan demi keberlangsungan semua makhluk hidup. Dalam upaya penyelamatan lingkungan, hendaknya pendapat para ahli lingkungan atau yang semisalnya harus dipatuhi oleh negara demi keseimbangan ekosistem alam.
Mengambil manfaat dari sumber daya alam sebenarnya boleh-boleh saja, kendati demikian syariat Islam melarang dengan tegas jika SDA dieksploitasi dan keuntungannya dinikmati oleh segelintir orang. Negara hendaknya bersikap amanah dalam mengelola semua kekayaan alam yang dimiliki negara.
Adapun hasil dari pengelolaan SDA tersebut didistribusikan kepada rakyat dalam bentuk sarana dan prasarana. Misalnya biaya pendidikan, kesehatan, listrik, serta sembako yang murah dan terjangkau.
Terkait pengelolaan sedimentasi laut syariat Islam pun memberikan konsep dalam pengelolaannya. Menyoal sedimentasi laut adalah proses pengendapan yang terjadi di laut, di mana material-material laut dipindahkan oleh kekuatan laut.
Jika sedimentasi mengganggu kehidupan manusia maka negara harus melakukan tindakan khusus. Adapun tindakan khusus ini harus melalui kajian para ahli terlebih dahulu. Di mana prioritas utama yakni keselamatan lingkungan, ekosistem laut dan keberlangsungan hidup para nelayan.
Begitu pun sebaliknya, jika tidak mengganggu kehidupan manusia dan ekosistem laut maka sedimentasi tersebut alangkah baiknya dibiarkan saja.
Perspektif Islam dalam mengelola sumber daya alam hendaknya didasari kepada ketaatan, amanah, dan ilmu. Karena sumber daya alam yang terdapat dalam suatu negeri merupakan sumber rezeki dari Allah yang harus dikelola dengan baik tanpa merusaknya.
“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan Kami pancangkan padanya gunung-gunung serta Kami tumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan padanya sumber-sumber kehidupan untuk keperluanmu, dan (Kami ciptakan pula) makhluk-makhluk yang bukan kamu pemberi rezekinya.” (QS. Al-Hijr 19-20)
Wallahua’lam.*
Penulis dan Pemerhati Permasalahan Sosial Bermastautin di Batam