Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
SURVEI kepuasan rakyat terhadap demokrasi di Indonesia belakangan ini bak pelangi di atas kubangan lumpur. Indah dipandang dari kejauhan, tapi begitu Anda mendekat, yang tampak hitam pekat dengan bau tak enak. Laporan lembaga survei menyebutkan bahwa lebih dari 70 persen masyarakat puas dengan kinerja demokrasi.
Bayangkan, 70 persen rakyat bahagia! Sebuah angka yang membuat kita ingin bersorak —kalau saja kita tidak tahu bahwa demokrasi yang dimaksud hanyalah ilusi, atau lebih tepatnya, sekadar parade prosedural.
Prof. Mahfud MD, yang sering muncul bak pahlawan rasionalitas di tengah lautan absurd, dengan cepat menepuk pundak kita untuk mengingatkan: “Jangan mudah terkecoh, survei itu tidak mencerminkan kenyataan.” Faktanya, deflasi dibiarkan bertahan hampir setengah tahun. Pertokoan kosong.
Menurut Mahfud, rakyat Indonesia ini memang gampang puas, apalagi kalau yang dilihat hanya kulit luar demokrasi. Demokrasi prosedural—pemilu, pilkada, dan segala macam akrobat pemilihan—menjadi pertunjukan favorit rakyat. Tapi, apakah ada yang benar-benar tahu apa itu demokrasi substansial? Ah, itu urusan para filsuf!
Lalu datanglah kabar yang lebih mengejutkan: survei-survei ini ternyata bukan sekadar hasil kajian ilmiah yang netral. Konon, survei kepuasan yang dilakukan tanpa menyebutkan sponsor dan sumber dananya ini mungkin direkayasa untuk memastikan sang pemimpin tetap terlihat bersinar.
Kebetulan, Jokowi yang dikenal suka blusukan, ternyata bukan hanya suka masuk gorong-gorong, tapi juga rajin memantau sentimen publik lewat laporan analisa media sosial. Lucunya, meski di depan layar kaca kita melihat sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat, di layar belakang, tim konsultan Jokowi bekerja keras menyusun peta daerah mana yang harus dikunjungi supaya survei terlihat kinclong sekaligus berkampanye untuk dukungan politik tertentu.
Apakah ini sebuah kebetulan bahwa hasil survei sering memihak presiden? Tampaknya tidak. Jokowi, yang sudah tahu bahwa kelas menengah atas mulai jenuh dengannya—terutama karena isu politik dinasti yang kian menyengat—beralih fokus ke dua kelompok yang masih setia di bawah: masyarakat miskin pedesaan dan buruh perkotaan.
Taktiknya sederhana: bagikan bantuan sosial, lempar-lempar kaos, dan voilà, dukungan pun terjamin. Masyarakat kelas bawah yang sehari-harinya dihimpit kesulitan ekonomi tentu lebih mudah terpikat dengan bingkisan langsung dari tangan sang presiden.
Lantas, apa yang dilakukan tim survei? Mudah saja. Mereka memetakan daerah-daerah yang akan, telah, atau harus dikunjungi Jokowi, mengambil sampel survei dari sana, dan abrakadabra!
Hasilnya? “Pak Jokowi luar biasa! Terima kasih kaosnya, Pak! Juga bingkisannya!” Bagaimana mungkin rakyat yang baru saja menerima bingkisan bansos dan kaos bergambar wajah presiden berkata buruk tentang sosok yang baru saja memberinya ‘bantuan nasional’ yang diambil dari pajak rakyat itu?
Budi Arie Setiadi, Menteri Komunikasi dan Informatika, dengan senyum tipisnya mungkin mengira kita semua bodoh. Tapi, dia tidak menampik bahwa Jokowi sangat memperhatikan laporan rutin terkait sentimen masyarakat.
Apa yang lebih ironis dari pemimpin yang tahu bahwa popularitasnya di kalangan elit sudah merosot, lalu berusaha mati-matian menjaga dukungan rakyat bawah dengan cara yang —terus terang saja— sama sekali tidak elegan? Seperti Robin Hood milenial, Jokowi tidak merampok dari si kaya untuk memberi si miskin, tapi dia menciptakan kesan bahwa membagikan bingkisan bisa menutupi semua permasalahan demokrasi.
Dan di sinilah letak absurditasnya. Kita hidup dalam demokrasi yang katanya merdeka, di mana survei menjadi penentu ‘keberhasilan’, padahal kenyataannya, oligarki makin menggenggam erat tampuk kekuasaan. Sementara rakyat disuguhi tontonan prosedural demokrasi, para elit sibuk memperkaya diri di balik layar. Rakyat tetap miskin, namun puas, karena siapa yang butuh keadilan sosial jika Anda bisa mendapat bingkisan gratis dari presiden?
Survei yang menunjukkan angka kepuasan itu memang seperti layar tancap: hiburan sementara di malam yang gelap, tapi pagi hari, saat cahaya matahari muncul, layar itu pun segera digulung, memperlihatkan realitas yang suram.
Tengok saja, ketidaksetaraan masih menganga, jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar, dan demokrasi yang sebenarnya terus menjauh. Tapi tak usah khawatir, minggu-minggu depan sampai jelang Pilkada mungkin ada survei baru yang menyebutkan bahwa 80 persen rakyat Indonesia siap dengan paslon yang didukungnya.*
Jakarta, 13.10.2024
Penulis adalah Pendiri Republika Oniline 1995