Lakon Pangkas Wajah

Ilustrasi memoles wajah yang buruk di ‘show terakhir’ Jokowi. (Foto: AT/J5NEWSROOM.COM)

Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha

INILAH “Show Terakhir” Jokowi! Barangkali begitu, karena kita tidak tahu rencana-rencananya yang lain. Yang pasti, dalam pekan-pekan ini kita sedang menyaksikan pementasan seorang presiden yang tak hanya bertahan dua periode, tapi juga mencoba menutup panggung dengan gemilang.

Bukan gemilang dalam hal prestasi nyata di semua bidang, melainkan gemilang dalam hal pencitraan. Wajahnya yang tak mulus coba dipoles dengan kata-kata indah, seolah pengantin yang tak puas merias diri sampai akhir pernikahan. Namanya coba dipertahankan agar tetap seorang Joko Widodo yang hebat, bukan Pinokio.

Satu pekan jelang hari lengser pada Ahad 20 Oktober, Jokowi dan para tim suksesnya menggelar “final push” untuk membentuk sejarah versi mereka sendiri. Sebuah propaganda mutakhir: paket lengkap bantuan sosial, bagi-bagi kaos, dan tentu saja, kata-kata pujian, esai-esai manipulatif, survei-survei ajaib dengan angka kepuasan rakyat yang menggelikan —sekitar 70 persen.

“Benar, ini survei bayaran,” bisik beberapa pengamat yang sudah paham permainan lama ini. Tampak rakyat Solo yang sedang kumpul di sekitar rumahnya diatur sedemikian rupa bak pementasan sinetron dengan sajian bantuan sosial dan, seperti biasa, disuguhi pertunjukan lempar-lempar kaos.

Jokowi selama ini dikenal sederhana, namun tahukah Anda bahwa kesederhanaan ini juga telah dipoles, seperti rambut beliau yang terus rapi terpangkas selama masa jabatan? Dulu sampai ia turun ke gorong-gorong segala.

Memasuki periode pensiun, Jokowi tampaknya melakukan operasi terakhir ini dengan lebih hati-hati daripada pangkas rambut ala barbershop. Citra yang dipoles lebih dari rambutnya ini bukan hanya mengandalkan survei-survei lucu, tapi juga media sosial yang penuh dengan gambar rakyat yang tersenyum sumringah.

Anda mungkin berpikir, “Yah, bansos dibagikan, siapa yang nolak?” Tapi tunggu dulu, benda-benda gratis ini datang dengan harga mahal: pajak Anda. Ya, uang yang Anda pakai untuk membayar pajak, secara tak langsung membiayai kampanye purnabakti Jokowi. Semacam grand finale presiden yang ingin dikenang dengan senyum rakyat, meskipun mungkin hanya untuk foto-foto Instagram.

Tentu, tak berhenti di situ. Jokowi memanfaatkan humas lembaga negara, buzzer, bahkan influencer TikTok yang kecepatan goyangnya masih kalah dengan cepatnya anggaran tersedot untuk kampanye. Ah, andai bansos itu juga bisa menutup kebocoran anggaran…

Majalah Tempo menyoroti kehebohan pencitraan ini, mengungkap bahwa mereka bahkan pernah ditawari untuk memoles berita Jokowi. Namun, kudos untuk Tempo. Mereka menolak karena harus mengemas konten palsu seolah-olah organik —semacam sayur tak segar yang dibalut saus agar terlihat sedap.

“Kami menolak,” kata salah satu direkturnya, karena Tempo menetapkan etika, bahwa ada batas yang tak boleh dilangkahi, bahkan ketika ada uang yang terlibat, sebesar apa pun. Di sinilah majalah besutan GM (Goenawan Mohammad) ini menjaga kehormatan, meski harus menahan godaan kocek besar.

Tetapi, jujur, tak semua media sesehat atau setegar Tempo. Di luar sana, Anda mungkin mengonsumsi berita yang mengalir lembut bak air sungai, hanya saja itu bukan air, melainkan narasi berbayar. Anda mungkin tak merasakannya, karena narasinya dipoles secara cantik dengan gincu jurnalistik.

Ulasan-ulasan manis tentang keberhasilan Jokowi, pidato-pidato pengantar senja, semua bersumber dari dapur propaganda yang dijejali rempah-rempah kebenaran setengah matang. Ya, dia memelihara dapur propaganda, yang tempatnya entah di Istana atau di kementerian.

Para ahli psikologi politik sering mengamati bahwa menjelang masa pensiun, pemimpin yang tak puas dengan pencapaiannya, lebih sering mendandani sejarah daripada menghadapi kenyataan. Pemimpin seperti ini sebetulnya rapuh, tapi kadang merasa kuat karena masih pegang kunci kekuasaan.

Menurut Dr. Drew Westen, misalnya, ada dorongan kejiwaan untuk memperindah masa jabatan sebelum benar-benar tergilas sejarah. Bagaimana pun, bukankah memori publik lebih mudah disulap jika dibumbui gambar cerah dan survei-survei ajaib?

Jokowi tentu akan pensiun, tapi kisah tentang bagaimana kita akan mengenangnya masih terus dipoles. Mungkinkah pelangi yang ia ciptakan akan memudar ketika kita sadari betapa licinnya lumpur yang menyertainya? Tepat pada 20 Oktober, kita akan tahu.*

Jakarta, 14.10.2024

Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995