Oleh Dahlan Iskan
BERENAM kami ke masjid itu. masjid di pusat kota Fuzhou, ibu kota provinsi Fujian.
Masjid besar. Kosong. Gelap. Padahal sudah waktunya salat magrib –salat ‘tiga unit gerakan’ di waktu matahari terbenam.
Gerbang depannya tutup. Ini gerbang baru. Temboknya tinggi sekali. Bernuansa Islami.
“Lewat samping,” ujar Alwi Arifin, dosen Bahasa Indonesia asal pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Alwi sudah biasa ke masjid itu. Tiap Jumat. Tapi baru sekali ini datang di waktu magrib.
Kami pun masuk lewat gerbang samping. Memasuki koridor. Itulah koridor yang memisahkan bangunan gerbang depan dengan bangunan masjid.
Gerbang depan itu sekaligus untuk kantor, penunggu masjid, dan ruang pertemuan. Bangunan masjidnya sendiri sepenuhnya untuk ruang ibadah.
Setelah berwudu kami masuk masjid. Berwudu adalah ritual membasuh muka, tangan, dan kaki sebelum salat.
Sambil meraba-raba di kegelapan kami memasuki pintu utama masjid. Pintu besar. Benar-benar gelap.
Di dalam masjid kami menyebar ke segala arah: mencari di mana saklar untuk menghidupkan lampu. Termasuk dua mahasiswa yang Buddha dan Kristen itu. Ikut sibuk.
Mereka pun menyalakan flash di handphone. Lumayan. Masjid ini besar. Semua area di dekat pintu diraba. Tidak ketemu. Saya menuju tempat imam –biasanya ada saklar di situ. Juga tidak ada.
Rupanya ada on-off tersentral di kantor masjid. Kantornya terkunci.
Alwi lari ke bangunan depan. Ia menemui penjaga masjid. Ia merayunya untuk menyalakan lampu sentral. Tidak berhasil.
Petugas itu tidak berani melangkahi prosedur. Ia justru mengatakan mengapa harus menyalakan lampu. Kan cukup pakai bocoran cahaya dari koridor.
Memang lama-lama terasa tidak gelap. Sebersit cahaya dari gerbang sudah bisa mengusir gelap. Kata ‘mengusir’ itu tidak tepat.
Kata ‘gelap’ hanyalah ciptaan penyair. Di mata ilmuwan gelap itu tidak ada. Yang ada adalah cahaya. Gelap terjadi karena tidak ada cahaya.
Maka di remang-remang cahaya itu kami menuju arah imam biasa memimpin salat.
Saya minta Alwi yang jadi imam. Alwi justru memaksa saya jadi imam. Terjadilah saling paksa.
Akhirnya saya bisiki telinga Alwi: “Anda saja yang jadi imam. Saya baru saja murtad”.
Alwi pun tersenyum. Saya langsung mengumandangkan iqamah. Serasa Novi Basuki lagi jadi imam di depan saya.
Rupanya teman yang Buddha dan Kristen tadi mengabadikan kami salat. Entah dari mana mereka dapat cahaya (lihat foto).
Sebenarnya ada satu teman lagi yang bisa dipaksa jadi imam: Moh Khodir. Ia, dulu, guru bahasa Mandarin Alwi di pondok Nurul Jadid. Juga guru mandarinnya Novi Basuki. Khodir kini lagi di Fuzhou: menyelesaikan S-3. Ia calon doktor di bidang kurikulum.
Khodir adalah generasi pertama santri Nurul Jadid yang bisa bahasa Mandarin. Juga asli Probolinggo. Juga suku Madura pendalungan. Juga rendah hati dan menjaga sopan santun yang tinggi.
“Di sini bisa menyelesaikan S-3 selama tiga tahun dianggap pintar. Kalau empat tahun dianggap kurang pandai,” ujar Khodir. “Saya sudah empat tahun belum selesai,” tambahnya.
Apakah disertasinya nanti juga ditulis dalam bahasa Mandarin?
“Akan saya tulis dalam bahasa Inggris,” ujar Khodir. “Pembimbing saya yang minta,” tambahnya.
Sebenarnya ia lebih suka menulis disertasi dalam bahasa Mandarin. Tapi universitasnya ingin meningkatkan rating internasionalnya.
Caranya: menghasilkan lebih banyak penelitian yang ditulis dalam bahasa Inggris. “Calon doktor mahasiswa Tiongkok sendiri didorong untuk menulis disertasi dalam bahasa Inggris,” ujar Khodir.
Masjid Fuzhou ini memang berbeda dengan banyak masjid di Tiongkok. Di Beijing maupun Tianjin, masjidnya berada di tengah komunitas Tionghoa suku Hui. Suku Hui itu Islam semua. Masjidnya ramai. Di sekitar masjid penuh dengan resto halal. Enak-enak. Satenya. Huo kuo-nya. Mie dagingnya.
“Hanya kalau Jumat masjid ini ramai. Muslim dari mana-mana datang ke sini,” ujar Alwi.
Usai salat magrib kami kumpul lagi di resto ”Bandung”. Resto masakan Indonesia ini sudah punya enam cabang di Xiamen dan Fuzhou. Setelah makan dan omon-omon, guru asal Surabaya tampil. Ia guru piano di Xiamen.
Tidak ada piano di resto itu. Ia sudah merekam suara piano yang ia mainkan. Itu untuk mengiringi istrinya, asal Heilongjiang, yang akan tampil menyanyi. Dia menyanyikan Bengawan Solo. Lalu Rayuan Pulau Kelapa.
“Sudah bisa berbahasa Indonesia?” tanya saya dalam Mandarin.
“Sedikit-sedikit,” katanyi. “Mandarin Anda jauh lebih baik dari suami saya,” ganti dia menyela.
Saya kira itu caranya merendah. Ternyata begitulah adanya. Sudah 20 tahun punya istri orang Harbin, tinggal di Tiongkok, Mandarinnya guru piano itu masih gaya Suroboyoan.
“Kalau ia bicara Mandarin kadang saya tidak mengerti,” ujar sang istri.
Ternyata, di rumah, suami istri ini bicara dalam Bahasa Inggris. Mereka bertemu di luar negeri: di Thailand. Saat sama-sama kuliah di sana.
“Bahasa Mandarin Anda seperti orang di daerah saya,” ujarnyi. Lalu dia tampak senang ketika saya infokan bahwa saya pernah belajar dengan cara homestay di kota kelahirannyi: Harbin. Yakni kota yang kalau musim dingin bisa minus 30 derajat. Itulah kota yang tiap tahun diselenggarakan festival istana salju.
Usai Rayuan Pulau Kelapa, si jilbab asal Belitung Timur, Gita Wulan Suci, maju. “Saya mau nyanyi dangdut,” katanyi. Saya menebak-nebak dangdut yang mana. Kalau cocok saya akan jadi penari latarnya –pakai gerakan senam dansa.
Ternyata dia mengalunkan lagu Rungkad. Cocok. Ada gerakan senam dansanya. Lalu Poco-Poco. Cocok. Disambung Maumere. Tambah cocok. Semua lagu itu saya hafal gerakannya.
Mereka pun mengikuti gerakan itu di belakang saya. Di lantai dua resto Bandung itu.
Kok semua lagunya Indonesia. Saya pun minta lagu Xiao Ping Guo. Apel kecil. Gerakannya agak mengentak.
Lagi asyik mengentak-entak, ketua Persaudaraan Indonesia ‘Warung Kopi’, Christopher Tungka, teriak ketakutan. Ia khawatir lantai dua ini roboh. Apalagi para mahasiswa ikut pula mengentak-entakkan kaki.
Ini memang bangunan tua. Pantas khawatir. Semua bangunan di kawasan ini bangunan tua. Kota tua. Yakni kota tua yang diberdayakan menjadi pusat turisme yang sangat ramai. Tidak boleh ada kendaraan memasuki kawasan ini. Mobil maupun motor.
Acara pun diakhiri dengan lagu Kemesraan. Sudah pukul 21.00. Sebagian dari kami harus kembali ke kota Fuqing.
Saya diantar oleh Gina Dewi dengan mobil BMW-nyi. Dia jauh-jauh datang dari Xiamen untuk acara itu: nyetir mobil tiga jam. Lalu nyetir lagi satu jam mengantar saya pulang ke Fuqing.
Gina termasuk 5-i. Usahanyi di bidang sarang burung. Sarang burungnyi didatangkan dari Indonesia. Lalu dia kemas dengan merek perusahaannyi.
Gina asli Surabaya: Petra Kalianyar. Dia kuliah di Quanzhou dekat Xiamen. Di situ bertemu lelaki idaman yang kini jadi suaminyi.
Saat turun dari lantai dua resto Bandung saya punya perasaan menyesal. Saya menuruni tangga kayu dengan perasaan bersalah. Tiba di lantai bawah saya mendongak ke atas. Kalau lantai itu tadi runtuh….*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia