Politisasi Kolesterol

Ilustrasi kolesterol yang dipolitisasi. (Foto: AT/J5NEWSROOM.COM)

Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha

HARI Sabtu, saya ingin menemui kawan cantik saya, Bu dokter Widya Murni. Dia buka klinik anti-aging dengan terapi sulih hormon di kawasan Blok-M, Jakarta. Begitu tiba, dia langsung nanya, “Masih takut sarapan telur?” Saya tersenyum, tidak menyangka obrolan santai ini akan membuka wawasan baru tentang mitos kolesterol.

Ya… Jika Anda masih percaya bahwa sarapan dengan telur akan menyebabkan serangan jantung, tenang saja, kata bu dokter. Telur yang penuh protein itu mungkin justru membantu kesehatan Anda lebih dari yang Anda kira!

Inilah salah satu dari banyak kesalahpahaman terkait kolesterol yang sudah melekat di masyarakat. Selama puluhan tahun, kolesterol telah dianggap sebagai penyebab utama penyakit jantung, dan makanan seperti telur, daging berlemak, atau mentega sering kali menjadi kambing hitam.

Namun, ternyata kolesterol dalam makanan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kadar kolesterol dalam darah. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mengakui ini, dan mereka pun menghapus kolesterol dari daftar nutrisi yang perlu diperhatikan. Ini membuktikan, makanan berkolesterol tinggi tidak seburuk yang kita duga.

Begitulah. Di dunia yang semakin penuh dengan perdebatan, dari politik hingga hal sepele seperti apakah nanas pantas ada di pizza, kini nutrisi dan kedokteran tampaknya menjadi medan perdebatan baru. Di tengah medan ini, muncul sosok antagonis yang tak disangka-sangka —kolesterol.

Selama puluhan tahun, kita telah diajarkan bahwa kolesterol adalah biang keladi utama penyakit jantung. Namun, seperti halnya banyak perdebatan lain, kebenaran soal kolesterol jauh lebih rumit dan, tentu saja, lebih kontroversial.

Pernyataan bahwa kolesterol menyebabkan penyakit jantung sudah begitu sering diulang-ulang hingga menjadi semacam dogma di dunia medis. Tapi, menurut Jonny Bowden, Ph.D., dan Stephen Sinatra, M.D., dalam buku mereka The Great Cholesterol Myth, klaim ini sebenarnya cacat.

Kolesterol, menurut banyak penelitian yang papernya dibaca dokter Widya yang ahli hormon, tidak menyebabkan penyakit jantung. Kolesterol hanyalah pemain kecil dalam skenario ini —seperti menyalahkan orang yang kebetulan berada di TKP atas sebuah kejahatan.

Bukti ilmiah yang ada menunjukkan bahwa menurunkan kadar kolesterol tidak secara signifikan mengurangi risiko kematian akibat penyakit jantung. Faktanya, banyak penderita serangan jantung justru memiliki kadar kolesterol normal.

Jadi, bagaimana mungkin kita bisa terus memercayai narasi yang sama selama ini? Mengapa kita masih terobsesi dengan kolesterol ketika ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa penyakit jantung lebih kompleks daripada sekadar menghitung kadar kolesterol dalam darah?

Mitos soal kolesterol ini telah menjadi penipuan besar dalam sejarah medis. Bayangkan ini: industri farmasi telah memeras lebih dari dua triliun dolar dari masyarakat atas nama “pengobatan kadar kolesterol.”

Padahal, penelitian demi penelitian telah menunjukkan bahwa kadar kolesterol yang tinggi dalam darah bukanlah penanda utama dari serangan jantung atau penyumbatan arteri. Ternyata, semua klaim ini hanya mitos yang didengungkan pabrik obat demi chuan.

Dengan bukti yang terus bertambah, USDA akhirnya mengakui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara konsumsi kolesterol dalam makanan dan kadar kolesterol dalam darah. Alih-alih berfokus pada kolesterol, para ahli sekarang lebih memperhatikan gula sebagai zat yang perlu diwaspadai dalam diet kita.

Ya, gula itulah penyebab utamanya. Ini mungkin terdengar seperti putar balik kebijakan yang sangat terlambat. Tapi setidaknya kita sekarang tahu bahwa kolesterol bukanlah musuh utama.

Inilah kebenaran yang mengejutkan: tubuh kita sebenarnya justru sangat membutuhkan kolesterol. Kolesterol, kata bu dokter, adalah bahan dasar untuk membuat semua hormon steroid, termasuk estrogen, testosteron, dan kortikosteroid.

Otak kita, yang merupakan pusat dari segala pemikiran dan aktivitas, sebagian besar terdiri dari kolesterol. Selain itu, kolesterol juga memainkan peran penting dalam menjaga fungsi sel saraf.

Lantas, mengapa kolesterol diberi reputasi buruk selama bertahun-tahun? Sebagian besar berasal dari salah tafsir terhadap data ilmiah dan dorongan industri farmasi untuk menjual obat penurun kolesterol seperti statin.

Namun, jika kita mulai memahami bahwa kolesterol tidak berbahaya, justru kita disarankan oleh kedua penulis di atas untuk lebih fokus pada masalah yang lebih besar. Di antaranya, resistensi insulin, yang merupakan faktor utama di balik banyak kasus diabetes, yang menyebabkan penyakit jantung.

Berdasar semua bukti yang ada, sudah saatnya kita berhenti mengkambinghitamkan kolesterol sebagai penyebab utama penyakit jantung. Seperti halnya dalam politik, kita perlu mempertimbangkan fakta dari berbagai sudut sebelum mengambil keputusan.

Kadar kolesterol yang tinggi bukanlah ancaman yang selama ini kita percayai. Mungkin saatnya kita membuka dialog baru dengan dokter kita—tentang bagaimana menjaga kesehatan jantung dengan cara yang lebih bijak, dan bukan hanya berdasarkan dogma lama.

Jadi, jika Anda masih memercayai bahwa telur sarapan pagi Anda akan membuat jantung berhenti, tenang saja —telur itu mungkin justru membantu Anda lebih dari yang Anda kira! Telur memberi Anda protein yang sangat dibutuhkan oleh tubuh Anda.*

Jakarta, 19.10.2024

Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995