Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
SEBUAH pidato pertama hampir satu jam dari Presiden Prabowo Subianto pada Ahad, 20 Oktober 2024, di Gedung MPR/DPR, membuka babak baru bagi demokrasi Indonesia. Prabowo, yang akhirnya bisa meraih kursi RI-1 setelah bertahun-tahun kalah bertanding di Pilpres, menyampaikan pesan yang terkesan bijaksana, namun juga sedikit membingungkan jika kita mencoba mencermati lebih dalam.
Ketika Prabowo berbicara tentang “demokrasi yang khas untuk Indonesia,” kita tidak bisa tidak merasa terinspirasi sekaligus bertanya-tanya, apa maksud beliau sebenarnya? Bayangkan, di tengah pidato yang panjang itu, kata-kata seperti “demokrasi santun,” “tidak caci maki,” “tidak curang,” dan “tidak adu domba” keluar dari pidato Prabowo yang berapi-api — seorang mantan jenderal yang dalam berbagai pertempuran politik masa lalu kerap tampil keras dan tegas.
Mari kita ambil napas sejenak dan merenung. Apakah ini Prabowo yang sama, yang pernah bersumpah akan memerangi “para pengkhianat bangsa,” yang menuntut proses-proses “adil” dalam setiap pemilu yang diikutinya? Sekarang, dia berbicara tentang “perdamaian,” “persatuan,” dan, yang paling menarik, “bertanding tanpa curang.”
Jadi, demokrasi seperti apa yang dimaksudnya? Menurut Prabowo, demokrasi Indonesia harus “berasal dari sejarah dan budaya kita.” Hmm, apakah beliau berbicara tentang zaman kerajaan Jawa, di mana diskusi diakhiri dengan keris terhunus? Atau mungkin lebih mirip dengan sidang di balai desa, di mana suara tertinggi adalah milik kepala desa yang diam-diam punya hubungan baik dengan sang penguasa lokal?
Lalu, Prabowo dengan tegas menyatakan bahwa demokrasi kita adalah demokrasi yang “menghindari caci maki.” Sebuah visi yang indah, tentu saja. Namun, apakah itu berarti kita tidak boleh lagi mengkritik pemerintah secara keras di media sosial? Ataukah caci maki di sini hanyalah bentuk kritik yang terlalu ekstrem bagi sang pemimpin yang kini duduk di kursi empuk Istana Negara?
Dia juga bicara tentang kolaborasi. Ataukah yang dia maksud, konsolidasi? Sebagai seorang ahli demokrasi yang “sejuk,” Prabowo tampaknya lebih memilih kata “kolaborasi” ketimbang “kompetisi.” Katanya, “kita perlu suasana kebersamaan… kerja sama, bukan cekcok yang berkepanjangan.” Ini mungkin terdengar sangat manis, seperti kata-kata dalam pidato seorang Miss Universe yang berharap dunia damai tanpa konflik.
Namun, para pakar politik melihat hal ini sebagai sinyal dari niat Prabowo untuk menyatukan semua kekuatan politik di bawah kendali yang sama. Kolaborasi di sini mungkin berarti bahwa siapa pun yang mengkritik kebijakan pemerintah akan diajak “bersatu” dalam satu barisan. Dengan kata lain, tidak ada lagi oposisi yang vokal, hanya sebuah “kolaborasi searah.”
Pakar politik bisa memberikan pandangan berbeda tentang “demokrasi khas Indonesia” ala Prabowo. Beberapa menganggapnya sebagai langkah pragmatis yang mengakui kompleksitas politik Tanah Air, di mana konsensus dan “musyawarah mufakat” selalu menjadi nilai tradisional. Namun, ada pula yang skeptis, menyebut bahwa ini hanyalah retorika yang bertujuan meredam perbedaan pendapat dan mempertahankan status quo.
Misalnya, ada pengamat politik yang menyatakan bahwa gagasan demokrasi sejuk ini bisa berbahaya jika diterapkan dengan terlalu ketat. “Jika kritik terhadap pemerintah dilihat sebagai bentuk permusuhan, maka itu bisa membuka pintu bagi pembungkaman suara-suara oposisi,” kata dosen senior politik tersebut.
Sementara itu, pengamat lainnya menggarisbawahi potensi kontradiksi dalam pernyataan Prabowo tentang “bertanding tanpa curang.” “Apakah ini artinya beliau telah belajar dari pengalamannya di masa lalu?” tanya seorang profesor dari Yogya. “Ataukah ini hanyalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa kali ini, curang tidak boleh dilakukan oleh pihak lain?”
Salah satu bagian yang paling menarik dari pidato Prabowo adalah ketika ia menegaskan bahwa demokrasi Indonesia harus menghindari kemunafikan. Wah, ini pernyataan berat. Apakah itu artinya kita harus berhenti pura-pura berkolaborasi ketika sebenarnya bersiap menikam dari belakang? Ataukah kita harus jujur bahwa kolaborasi dan persatuan hanya bisa terjadi ketika semua pihak sepakat untuk tunduk pada satu kekuatan dominan?
Mungkin Prabowo, yang memiliki pengalaman panjang di dunia militer, paham bahwa dalam dunia politik, kemunafikan terkadang menjadi alat penting untuk bertahan hidup. Namun, ketika ia menyerukan agar kemunafikan dihapuskan dari demokrasi, kita hanya bisa tersenyum dan bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang dimaksud beliau?
Pada akhirnya, pidato Prabowo ini menyisakan banyak tanda tanya tentang seperti apa demokrasi Indonesia akan berkembang di bawah kepemimpinannya. Apakah ini benar-benar bentuk demokrasi baru yang sejuk, lebih santun, damai, dan berkolaborasi? Ataukah ini hanyalah cara halus untuk menciptakan sebuah oligarki yang terbuka, di mana semua pihak seolah-olah bekerjasama, tetapi pada akhirnya hanya satu pihak yang benar-benar memegang kendali?
Dalam demokrasi “sejuk” ala Prabowo, kita sepertinya akan mengalami lebih banyak perdebatan tentang apa arti sebenarnya dari kebersamaan dan kolaborasi. Yang pasti, demokrasi khas Prabowo ini akan menjadi babak baru yang menarik untuk ditonton, meskipun kita masih harus melihat apakah semua ini hanyalah sebuah pertunjukan atau benar-benar membawa perubahan.
Selamat datang di Indonesia Raya baru, di mana kita bertarung tanpa curang, tetapi entah bagaimana selalu ada yang menang dengan skor telak, bahkan dengan mengakali konstitusi!*
Jakarta, 20.10.2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995