Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
PRESIDEN Prabowo Subianto baru saja duduk di kursi panas kepresidenan, dan seperti pemimpin sebelumnya, kini ia harus menjawab pertanyaan besar: di mana dashboard pemerintahannya? Apakah di era informasi maju seperti sekarang kita masih akan disuguhi sistem pengawasan dan laporan jalannya pemerintahan yang jadul, ataukah yang canggih dan tegas?
Masih ingat UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) di era SBY? Lembaga yang hanya berupa “unit” ini dulu bak waze pemerintahan, dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto yang, dalam batas tertentu, memastikan bahwa setiap menteri bergerak sesuai peta jalan pembangunan. Kuntoro diback-up banyak anak buah yang ahli dan berdedikasi.
Saat ada program pemerintah macet, yang diketahuinya dari layar dashboard canggih, Kuntoro akan langsung turun tangan. Ia tak ragu menarik para pejabat, mengajak mereka berkumpul di ruangan yang terasa lebih seperti ruang interogasi ketimbang rapat kabinet. Dan boom! Proyek yang tadinya stuck mulai bergulir lagi. Inilah dashboard SBY yang nyata, yang menjadi pengendali jalannya seluruh program pemerintahan.
Namun, ketika Jokowi menggantikan SBY, UKP4 ditiadakan. Sebagai gantinya, mantan tukang kayu ini membentuk Kantor Staf Presiden (KSP) yang pada awalnya tampak menjanjikan. Di bawah Luhut Binsar Pandjaitan, KSP berfungsi baik. Namun, KSP kemudian berubah lebih politis. Alih-alih mengawasi program pemerintah, ia menjadi forum relawan, seolah-olah mereka sedang berada di warung kopi, bukan pusat pemerintahan.
Banyak teknokrat dan pengamat, seperti Yanuar Nugroho —mantan deputi di UKP4 yang kini kembali ke dunia akademik— juga mengkritik bagaimana KSP kehilangan taji dalam hal fungsi evaluasi kebijakan. Jika UKP4 di era SBY adalah dashboard yang bisa memantau dan menindak langsung kemacetan program, KSP di era Jokowi lebih sering terjebak dalam peran politik, dan bahkan melibatkan banyak relawan Jokowi yang lebih akrab dengan politik daripada teknokratik.
Ini bisa jadi salah satu penyebab mengapa, di periode kedua pemerintahannya, Jokowi gagal memenuhi berbagai janji kampanyenya. Pengawasan program-programnya menjadi kabur, sehingga apa yang seharusnya menjadi rencana konkret lebih sering berakhir pada kekacauan birokrasi. Tampaknya, dengan membentuk KSP, Jokowi sejak awal tak menginginkan dashboard, membuat kapal pemerintahannya bergerak kurang terarah.
Prabowo yang baru memulai roda pemerintahan tampaknya menyadari risiko kegagalan tanpa adanya dashboard pengawasan yang tegas. Maka, ia segera membentuk Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus —terdengar keren, bukan? Dengan nama yang tampaknya diambil dari kombinasi acara detektif dan jargon birokrasi, lembaga ini dibentuk dengan misi mengawasi proyek pemerintah, memastikan semua sesuai jalur.
Namun, pertanyaannya tetap sama: apakah ini akan menjadi dashboard canggih dan transparan, atau hanya GPS lama yang sering salah arah? Lembaga ini dipimpin oleh Aries Marsudiyanto, yang sebelumnya sukses membawa Prabowo meraih kemenangan di Jawa Barat dengan perolehan suara 16,8 juta. Dengan demikian, peran teknokratik yang diharapkan mungkin lebih politis daripada yang diinginkan.
Prabowo sudah menyebut sejumlah program pemerintahannya dalam pidato pertamanya di depan Majelis Permuswaratan Rakyat (MPR). Di rapat perdana kabinet, ia kembali menekankan program-program prioritasnya, seperti swasembada pangan dan energi, program makan siang gratis bergizi, serta pemberantasan korupsi. Ia begitu serius, sampai menyilahkan bawahannya yang tak mendukung program ini keluar dari kabinetnya sekarang juga.
Tentu, kita semua berharap Prabowo kali ini bisa melakukan lebih dari sekadar menodongkan ancaman verbal. Kita paham, tanpa pengawasan yang tegas, semua program ambisiusnya berisiko berakhir seperti proyek mercusuar, misalnya proyek food estate-nya ditumbuhi singkong, bukan padi. Akankah Badan Pengendalian yang baru ini benar-benar bekerja, atau hanya jadi ajang bagi-bagi kekuasaan bagi relawan?
Tim Prabowo perlu belajar dari negara-negara yang telah mengembangkan dashboard pemerintahan yang canggih dan transparan untuk memantau kinerja pemerintah. Beberapa contohnya termasuk Estonia, Singapura, dan Korea Selatan, yang berhasil memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah mereka. Ini meningkatkan kepercayaan warga terhadap pemerintah, dan mampu menekan korupsi.
Estonia dikenal dengan sistem dashboard digital pemerintahannya yang paling maju. Dikenal sebagai e-Estonia, negara ini memanfaatkan teknologi untuk menciptakan transparansi dan efisiensi dalam pemerintahan. Sistem ini memungkinkan warga negara memantau kebijakan, anggaran publik, serta pelaksanaan program pemerintah secara real-time, sekaligus turut mengawasi kemungkinan terjadinya korupsi.
Korea Selatan juga menggunakan dashboard canggih dalam pengawasan anggaran negara dan memastikan semua pengeluaran serta proyek infrastruktur berjalan sesuai rencana. Pemerintah Singapura memiliki dashboard yang memantau berbagai indikator ekonomi, sosial, dan kebijakan publik. Semua proses pengambilan keputusan didokumentasikan secara terbuka dan mudah diakses, mencegah potensi penyalahgunaan.
Ketiga negara menunjukkan bahwa transparansi melalui teknologi dan dashboard pemerintahan berperan signifikan dalam menekan korupsi dan meningkatkan akuntabilitas. Estonia dan Singapura dikenal sebagai negara dengan tingkat korupsi yang rendah menurut indeks transparansi global. Keberhasilan mereka mengintegrasikan teknologi dengan pemerintahan menciptakan lingkungan yang mencegah korupsi berkembang.
Jadi, seperti penonton bioskop yang mengunyah popcorn menunggu klimaks film, kita tunggu: apakah pemerintahan Prabowo segera membentuk tim membangun dashboard canggih dan transparan seperti yang dimiliki ketiga negara, untuk pemerintahannya. Atau, kita hanya akan tersesat di jalan yang sama dengan menteri-menterinya yang kebingungan mencari arah, tak tahu mana program yang macet dan butuh gebrakan?*
Pesantren Tadabbur al-Qur’an, 24/10/2024.
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995