Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
PRABOWO Subianto baru saja dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia ke-8, dan dalam pidato perdananya yang menggelegar di Gedung MPR/DPR Senayan, ia mengutip sebuah kalimat yang Islami: Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Sebuah konsep yang indah tentang negeri yang diberkahi, sejahtera, dan penuh ampunan dari Allah, Sang Pencipta.
Namun, di balik keindahan frasa ini, satu sosok yang duduk di kursi RI-2, Gibran Rakabuming Raka, langsung membuat kening Amien Rais berkerut tajam. Saat itu, sebagaimana para mantan ketua MPR lainnya, tokoh reformasi ini diundang menghadiri acara pelantikan. Ia mencatat ulah Gibran yang diteriaki hadirin.
Ya, Amien Rais, politisi senior yang dikenal gemar memberikan kritik pedas nan tajam, langsung memberikan warning kepada Prabowo. Menurutnya, impian Prabowo tentang baldatun thayyibatun itu hanya akan menjadi angan-angan belaka selama Gibran masih nongkrong sebagai wakil presiden.
Bahkan, Amien dengan lantang mengatakan bahwa Allah SWT bisa saja murka jika Gibran tetap mendampingi Prabowo. Dosa Gibran dengan aksi Fufufafanya seolah tak terampuni. Wah, sepertinya bukan hanya nasib bangsa yang diambang, tetapi juga kesejahteraan surgawi kita, kawan-kawan!
Mari kita bongkar lebih dalam. Amien Rais tampak tidak terlalu terkesan dengan sosok Gibran yang, menurutnya, belum memiliki kompetensi untuk menduduki posisi sebagai orang nomor dua di negeri ini. Dalam acara yang sangat “halus” bertajuk “Syukuran Indonesia Tanpa Jokowi” (ini acara serius, loh!), Amien menyindir Gibran dengan kalimat pedas: “bocah cilik yang nggak pernah baca, nggak pernah mengisi otaknya, hanya berpikir kemewahan, sex, and sex, and sex again”. Wah, ini pidato atau skrip sinetron?
Tentu saja, semua ini menjadi menarik ketika kita membandingkan antara idealisme baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur Prabowo dengan realitas politik yang dihadapi: Gibran, yang diduga bisa maju sebagai wapres berkat pencurangan undang-undang lewat keputusan MK yang dipimpin oleh kerabat Jokowi, ayahnya. Apakah ini kebetulan atau “rekayasa langit” yang sudah diatur oleh skenario politik lebih besar?
Menurut Amien Rais, yang merasa diri penjaga gerbang moralitas bangsa, kekuasaan adalah rezeki dari Allah Swt, tetapi hanya akan menjadi berkah jika digunakan dengan benar. Dan, sayangnya, selama Gibran masih ada di kursi wapres, menurut Amien, berkah itu tidak akan turun.
Ini bukan hanya soal politik, kata Amien, tapi juga soal “petaka ilahi” yang siap menyambar kapan saja. Sudah banyak negeri hancur akibat murka Tuhan. Sepertinya Amien sedang menulis ulang tafsir politik dari kitab suci dengan gaya kritik presiden yang kental nuansa kiamat kecilnya.
Namun, lucunya, Amien hanya memberi tenggat waktu tiga bulan kepada Prabowo untuk mengganti Gibran. Apakah ini semacam “periode tenggang” sebelum petaka mulai menimpa? Atau mungkin Amien sedang menguji kesabaran politik Prabowo, sembari mengingatkan kita semua bahwa politik Indonesia tak pernah jauh dari drama kolosal yang penuh intrik dan peringatan ala sin sin sin!
Nah, di tengah semua kritik ini, kita harus ingat bahwa Prabowo dikenal sebagai sosok yang tak mudah goyah. Dia telah dan akan terus berbicara tentang negeri yang berkah dengan segala keyakinannya, meski di belakang layar ada yang terus merongrongnya. Pertanyaannya sekarang, apakah Prabowo benar-benar bisa menegakkan baldatun thayyibatun dengan Gibran sebagai wakilnya, atau apakah ia harus segera mencari wakil lain seperti yang diusulkan Amien?
Sebagai penonton, kita mungkin hanya bisa berspekulasi. Tapi, satu hal yang pasti, pentas politik Indonesia tak pernah kekurangan bumbu drama. Gibran yang dianggap sebagai sosok “bocah cilik” oleh Amien mungkin saja bisa menjadi kuda hitam dalam pemerintahan Prabowo, atau mungkin ia benar-benar akan menjadi alasan mengapa “berkah” yang dijanjikan tak kunjung turun. Kita tunggu saja bagaimana episode berikutnya dari sinetron politik ini berlanjut.
Mungkinkah Prabowo bisa merealisasikan mimpi baldatun thayyibatun ini? Tentu bisa, jika Prabowo dan kita semua mau, dengan segala kompleksitas politik, meski kita tak boleh meremehkan tantangan yang ada di depan mata. Dalam politik, segala sesuatu bisa berubah secepat janji-janji yang dijajakan dalam pidato-pidato kampanye.
Tapi, satu hal yang pasti: selamat datang di Negeri Berkah versi Prabowo, di mana berkah itu mungkin saja terancam oleh keputusan-keputusan hukum, nepotisme, kolusi dan korupsi, selain —tentu saja— kritik tak berujung dari para politisi senior yang tak pernah kehabisan kata-kata.*
Pesantren Tadabbur al-Qur’an, 25/10/2025.
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995